Writing
Competition : “Letter Of Happiness”
With
: @Thebaybali and @nulisbuku
Repost
From : Untaian Cinta di Nusa Dua
Semilir angin menerbangkan rambut
panjang Lilian yang hitam lurus. Dari kejauhan
terdengar suara debur ombak yang berkejar-kejaran dan suara kicau burung
di pantai yang indah itu. Nusa Dua, tempat yang memberikannya banyak sekali
kenangan indah tapi juga tempat dimana dia harus membuang semua mimpi dan
cintanya. Berdiri di atas tebing seraya memandang kosong ke arah matahari
terbit yang baru saja menampakkan sinarnya, gadis itu tenggelam dalam
lamunannya hingga tak sadar ada seseorang yang perlahan mendekatinya.
“Kami mencarimu kemana-mana, apa
yang kau lakukan disini pagi-pagi begini?” Seorang pria muda berjalan
mendekatinya dan kemudian berdiri di sampingnya.
“Apa kalian berpikir aku akan
melompat dari sini?” tanya gadis itu datar dan tanpa ekspresi.
“Belum terlambat untuk
membatalkan semuanya. Jika kau berkata tidak, aku akan membatalkan pernikahan
ini dan kembali padamu. Kita bisa pergi ke tempat dimana tak seorangpun
mengenal kita.” ujar pria muda itu. Gadis itu terdiam dan menarik napas berat,
sambil tetap memandang kosong ke depan.
“Kau ingat bagaimana kita pertama
kali bertemu?” tanya gadis muda itu.
“Kau menuduhku sebagai pencopet
dan walau kau tak menemukan bukti apapun, kau tetap bersikeras akulah yang
mencopet tasmu. Akhirnya, warga pun beramai-ramai menyeretku ke kantor polisi.”
kenang pria itu sambil tersenyum
mengenang.
“Dan sejak saat itu, kita pun
semakin dekat. Mungkin jika aku tak datang ke Bali, aku tak mungkin bertemu
denganmu.” ujar si gadis lagi.
“Benar. Kurasa Tuhan memang
mentakdirkan kita untuk bertemu dan saling mencintai.” jawab si pria.
“Ditakdirkan untuk bertemu dan
saling mencintai tapi tidak untuk bersama. Dan entah sejak kapan, jodoh kita
sudah berakhir sejak lama.” jawab si gadis pahit.
“Lilian, kenapa kita tidak memperjuangkan
cinta kita? Kita saling mencintai, tapi kenapa kau justru menyuruhku menikah dengan
kakakmu? Ini gila. Katakan padaku ini hanya kesalahan. Kau tak tau apa yang kau
inginkan sebenarnya. Semuanya belum terlambat. Katakan padaku jangan pergi dan
aku pasti akan kembali padamu, takkan ada pernikahan lagi.” pinta pria muda
itu, seraya memegang erat pundak gadis itu.
“Lalu, setelah itu aku akan
membuat kakakku meninggal karena shock? Dia sakit. Dia membutuhkanmu. Tanpamu,
aku masih bisa hidup. Tapi kakak, tidak bisa. Waktu. Itulah yang tidak dia
miliki sekarang. Kembalilah padanya. Bukankah masih banyak yang harus
dipersiapkan sebelum pernikahan kalian?” jawab gadis itu dingin seraya menampik
tangan pria itu yang memegang pundaknya.
“Aku tidak percaya kau bisa
bicara seperti itu. Bahkan sampai akhir, kau tetap bersikeras melepaskan aku.
Apa salahku?” tanya si pria tak percaya.
“Kau tak bersalah. Tidak ada
seorangpun diantara kita yang bersalah. Keadaanlah yang membuat kita seperti
ini. Aku tak punya pilihan. Kakakku sedang sekarat, dia membutuhkanmu, lebih
daripada aku. Aku tak boleh egois mengikatmu sedangkan dia disana sangat mengharapkanmu.Aku
hanya ingin kakakku bahagia. Hanya itu.”
“Dan bagaimana dengan
kebahagiaanmu sendiri? Kau ingin kakakmu bahagia dengan menyuruhku menikahinya,
lalu bagaimana dengan kebahagiaanmu sendiri? Tatap mataku dan katakan langsung
di hadapanku,benarkah ini yang kau inginkan? Apa kau akan bahagia jika aku
menikahinya?” pria muda itu kembali memegang erat pundak gadis muda itu dan
menatap tajam matanya. Untuk sesaat, gadis itu tampak ragu-ragu, matanya
berkaca-kaca saat dia memandang pria muda itu.
“Bagiku, kebahagiaan itu adalah
bila melihat orang yang ku sayangi bahagia. Asalkan kakakku bahagia, aku akan
bahagia. Jodoh kita sudah berakhir. Mulai sekarang, tak ada apa-apa lagi
diantara kita, semua yang pernah terjadi di antara kita sudah menghilang, Aku
memang mencintaimu, tapi itu dulu. Mulai hari ini, aku akan membuang semua
perasaanku padamu. Pergilah. Semoga kalian bahagia.” jawab si gadis dengan
dingin, walau matanya berkaca-kaca menahan tangisnya.
“Baiklah. Jika itu yang kau
inginkan. Kau mungkin bisa memaksaku menikahinya, tapi kau tak bisa memaksaku
untuk mencintainya. Aku menikahinya karena kau yang memintaku, karena aku
mencintaimu, jadi aku akan lakukan apapun untukmu. Berjanjilah padaku, jika di
kehidupan ini kita tak bisa bersama, maka di kehidupan berikutnya, apapun yang
terjadi, kau tak boleh melepaskan aku.” jawab pria muda itu akhirnya, dengan perlahan
dia menghapus airmata yang menetes di pipinya.
“Rafael, maafkan aku.” ujar si
gadis lirih.
“Nusa Dua. Tempat kita bertemu
pertama kali, tempat cinta kita bersemi, tapi tidak ku sangka akan menjadi
saksi perpisahan kita saat ini. Untuk yang terakhir kalinya, bolehkah aku
memelukmu?” pinta si pria mengiba. Gadis itu menatapnya ragu-ragu tapi kemudian
mengangguk pelan. Perlahan tapi pasti Rafael mendekati gadis itu dan mereka
berpelukan untuk yang terakhir kalinya di iringi suara debur ombak yang berkejar-kejaran
dan kicau burung yang bersahut-sahutan.
“Selamat tinggal, Rafael. Semoga
bahagia.” ujar Lilian sesaat setelah pelukan itu terpisah, dengan senyum yang
dipaksakan dia berlalu meninggalkan cinta pertamanya dan berjalan dengan
langkah gontai menuju arah restoran yang tak jauh dari sana.
“Sampai kapan kau akan memandangi
Bebek itu?” tanya seorang pria muda lain padanya. Lilian seolah baru terbangun
dari lamunannya dan tersadar bahwa dia sama sekali belum menyentuh makanannya.
“Bukankah kau bilang kau ingin
makan Bebek Bengil?” tanya pria muda itu lagi.
“Alex, selera makanku tiba-tiba
menghilang. Jika kau masih ingin makan, makan saja. Tapi aku ingin kembali ke
kamar sekarang” ujar Lilian seraya mengambil satu sendok nasi sebagai
syarat lalu berjalan pergi dari sana.
“Apa?Ini kan enak.” gumam pemuda
yang dipanggil Alex itu lalu segera berlari menyusul Lilian. Mereka berjalan
berdampingan di tepi pantai sambil terdiam.
“Aku mengerti perasaanmu.Pasti
rasanya sakit sekali, benarkan? Melepaskan orang yang kau cintai untuk menikah
dengan kakakmu sendiri.Apa yang harus ku lakukan untuk menghiburmu?” tanya Alex
mengerti.Gadis itu berhenti dan menoleh lalu tersenyum berterima kasih padanya.
“Kau memang temanku yang paling
baik.Kalau tak ada kau, mungkin aku akan lebih hancur lagi dari sekarang.
Terima kasih, Alex.” ujar Lilian tulus. Alex hanya memandangnya dengan senyum
yang dipaksakan.
“Hanya teman?Bagimu aku hanya
teman kan? Selamanya hanya teman terbaik.Tahukah kau kalau akulah yang paling
sakit saat melihatmu seperti ini?” ujar Alex tiba-tiba, mendadak menjadi sangat
serius.
“Apa?” Lilian tampak tak
mengerti.
“Kita sudah saling mengenal sejak
kecil.Aku tahu semua tentangmu lebih dari yang lain, bahkan lebih dari Rafael
mengenalmu.Tapi kau tak pernah melihatku.Walau aku selalu ada disisimu,
menemanimu, menghiburmu,melindungimu dan menjagamu, kau tak pernah melihat hal
itu.Apa kau tahu itu sangat menyakitkan?” ujarnya dengan ekspresi tak terbaca.
“Aku tidak tahu apa maksudmu
Alex.” Lilian masih tampak shock dengan perkataan sahabatnya.
“Aku mencintaimu.Entah sejak
kapan.Hanya saja kau tak pernah melihatku.Aku selalu melihatmu, tapi kau selalu
melihat kearah yang lain.Aku mencoba berlapang dada dan berpikir bahwa cinta
tak selalu harus memiliki.Bagiku asalkan kau bahagia, maka aku juga bahagia.
Aku mengalah saat kau memilihnya, kupikir dia bisa membuatmu bahagia, tapi
ternyata dia hanya membuatmu menderita. Lupakan dia dan lihatlah aku, Lilian!!
Akulah yang ada disisimu dalam suka dan duka, tidak bisakah kau berikan aku
satu kesempatan?” ujar Alex memohon. Lilian hanya menatapnya tak percaya.
“Alex, kau mencintaiku?” tanyanya
lagi, seolah memastikan telinganya tak salah mendengar.
“Ya.” Jawabnya singkat. “Tapi kau
sahabatku.Tak pernah terpikirkan olehku kau akan mencintaiku.” ujar Lilian
masih bingung.
“Aku memang sahabatmu, tapi aku
juga yang dengan tulus mencintaimu.” jawab Alex tegas dan dalam. “Tapi
sayangnya tak pernah ada aku di matamu. Bagimu, aku hanyalah bayang-bayang.” lanjutnya
sedih lalu tanpa berkata apa-apa berjalan meninggalkan Lilian sendirian.
Sepanjang siang Lilian hanya
berdiri termenung memandang ombak di pantai seraya mengenang pengakuan Alex
padanya. Alex adalah sahabatnya sejak kecil, mereka bertetangga sejak umur 9
tahun.Mereka juga teman sekolah sejak SD, SMP, SMU bahkan saat kuliahpun mereka
mendaftar di kampus yang sama meskipun di jurusan yang berbeda. Alex lah yang
selalu melindungi dan menjaganya setiap kali Lilian di ganggu orang. Perlahan
tapi pasti bagaikan potongan film, semua kenangannya bersama Alex muncul dalam
ingatannya, saat dia tertawa atau menangis, Alex lah yang selalu ada disisinya,
bukan Rafael. Kenapa dia begitu buta? Kenapa dia selalu melihat kearah yang
lain jika kebahagiaan yang sebenarnya sudah ada disampingnya sejak lama? Lilian
akhirnya tersadar. Dia dan Rafael memang tak berjodoh sejak awal, mereka
ditakdirkan untuk bertemu tapi tidak untuk bersama, tapi dengan Alex berbeda.
Jodohnya dengan Alex sudah dimulai bahkan sejak mereka masih sangat muda.
“Tanpa Alex, aku bukan
siapa-siapa.Kenapa aku begitu bodoh dan tidak menyadarinya?” Lilian tersadar
dan segera mencari Alex di kamarnya. Hari sudah menjelang sore, 2 jam lagi
pesta pernikahan kakaknya dan Rafael akan di mulai, tapi Lilian tak peduli,
selama ini dia selalu berjuang demi kebahagiaan orang lain, sekarang saatnya
dia berjuang untuk kebahagiaannya sendiri. Setelah mencari kesana kemari
akhirnya dia melihat Alex sedang duduk di atas pasir seraya memandang matahari
senja yang begitu indah. Lilian tersenyum lalu diam-diam duduk di sampingnya.
“Matahari senja terlihat sangat
indah, benarkan?” ujarnya sambil tersenyum manis dan duduk di sampingnya. Alex
memandangnya dengan heran.
“Apa yang kau lakukan disini?
Bukankah seharusnya kau ada di tempat pesta?” tanya Alex canggung.
“Pesta pernikahan itu akan
baik-baik saja walau tanpa aku. Aku ingin disini bersamamu. Kau sendiri? Kenapa
ada di sini?” tanya Lilian mencoba mencairkan kecanggungan.
“Memandang matahari senja sambil
menunggu Polaris muncul di langit utara.” Jawabnya sambil menerawang menatap
langit yang perlahan menjadi gelap. Semburat jingga di ufuk cakrawala mulai
menghilang dan tergantikan oleh bintang-bintang yang bertaburan di angkasa.
“Terima kasih Alex.” ujar Lilian
membuka percakapan.
“Untuk apa?” tanyanya canggung.
“Untuk semua yang sudah kau
berikan untukku. Terima kasih sudah hadir dalam hidupku, terima kasih untuk
cintamu, terima kasih karena kau tak pernah menyerah hingga akhir.” jawab
Lilian tulus.
“Kau ingin menghiburku?” tanya
Alex setengah bercanda.
“Eh, bukankah itu Polaris?” ujar
Lilian tiba-tiba seraya menunjuk ke arah langit utara. Alex menatap ke arah
yang di tunjuknya lalu menjawab dengan riang.
“Benar. Itu Polaris. Sang Bintang
Utara yang melambangkan Harapan.Diantara jutaan bintang yang bersinar di Langit
Utara. Hanya ada 1 bintang yang bersinar sangat terang melebihi jutaan bintang
lainnya. POLARIS, sang Bintang Utara
yang melambangkan harapan dan keinginan yang kuat. Saat kau sedang sedih
dan putus asa, pandanglah bintang itu maka kau akan merasa harapanmu akan
kembali muncul.” jawab Alex sambil tersenyum manis. Alex menyukai antariksa, Lilian tahu hal itu. Dia
sangat mengenal Alex sama seperti Alex sangat mengenalnya.
“Polaris takkan menghilang,
benarkan? Tidak peduli walau bumi berputar dan bintang-bintang lainnya akan
menghilang seiring perputaran bumi terhadap matahari, tapi Polaris tetap akan
diam di tempatnya. Dia akan tetap ada disana. Sama sepertimu. Kau yang selalu
ada di sisiku apapun yang terjadi, bagaikan Polaris yang takkan pernah pergi.
Sekarang baru kusadari betapa kau sangat berarti.” Jawab Lilian, mengungkapkan
perasaannya.
“Lilian,
kau ini bicara apa?” Alex mendadak menjadi bingung.
“Saat aku tersesat, saat aku
tidak tau kemana harus melangkah, kau datang dan membukakan jalan. Saat aku
berjalan dalam kegelapan, kau datang membawa seberkas cahaya lilin dan
menemaniku mencari cahaya terang. Saat aku bersedih dan ingin menangis, kau
membuka tanganmu dan membiarkan aku menangis di pundakmu. Saat aku jatuh, kaulah
yang membuatku bangkit. Kaulah Polarisku, kau bintang harapanku. Maafkan aku
yang terlambat menyadari ini. Sekarang aku baru mengerti apa arti kebahagiaan
yang sesungguhnya, andai aku mau menoleh sedikit saja, kebahagiaan yang
sebenarnya sudah ada di sampingku sejak lama. Alex, bisakah kita mulai semuanya
dari awal? Bukankah kau bilang kau mencintaiku? Aku ingin memulai dari awal
denganmu. Nusa Dua, akan menjadi saksi cinta kita.” ujar Lilian dengan mata
berkaca-kaca penuh harap. Alex hanya menatapnya tak percaya.
“Kau tak sedang bercanda kan? Ini
tak lucu Lilian.” ujarnya tak percaya.
“Bukankah kau sangat mengenalku?
Apa sekarang aku terlihat sedang bercanda?” Lilian balik bertanya dengan wajah
serius. Untuk sesaat Alex mengamati wajah gadis di sampingnya dengan lekat, matanya
memancarkan kejujuran dan kepolosan, tak ada tanda-tanda kebohongan.
“Terima kasih, sudah memberiku
kesempatan.” ujar Alex lalu menarik gadis itu dalam pelukannya, mereka
berpelukan di atas pasir dan di bawah sinar bulan dan kelap-kelip bintang di angkasa.
“Aku yang seharusnya berterima
kasih dan aku lah yang seharusnya meminta kesempatan itu. Mulai hari ini, aku
hanya akan melihatmu. Kau, sahabatku tapi kau juga yang dengan tulus
mencintaiku.” jawab Lilian sambil membalas pelukan Alex, tanpa terasa hatinya
menjadi sangat ringan, kehangatan menyeruak ke dalam lubuk hatinya. Setelah
sekian menit berpelukan, akhirnya perutnya melontarkan protes keras.Mereka
berdua pun tertawa canggung.
“Siapa suruh kau tak habiskan
Bebeknya.Sekarang kau kelaparan kan?” goda Alex lalu berdiri sambil menarik
tangan Lilian. “Ayo kita makan. Aku juga sudah lapar. Bebek Krispi dengan
sambal matah kelihatannya sangat enak.” usul Alex dan mereka berdua pun
berjalan bergandengan tangan di sepanjang pantai menuju Restoran The Bay Bali
yang terletak di kawasan Nusa Dua, Bali tak jauh dari pantai tempat mereka
berada saat ini.
“Bagiku, kebahagiaan itu adalah
saat melihat orang yang ku sayangi juga bahagia. Dan andaikan aku mau menoleh
sedikit saja kebahagiaan yang sebenarnya sudah ada di sampingku sejak lama.” ujar
Lilian dalam hatinya sambil menyandarkan kepalanya dengan manja di lengan Alex
saat mereka berjalan menyusuri Pantai Nusa Dua.
*) Blog post ini dibuat dalam
rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with
The Bay Bali & Get discovered! (dengan tulisan The Bay Bali yang di link ke
website: http://www.thebaybali.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar