Minggu, 27 April 2014

Untaian Cinta di Nusa Dua (Writing Competition)



Writing Competition : “Letter Of Happiness” 
With : @Thebaybali and @nulisbuku 






Semilir angin menerbangkan rambut panjang Lilian yang hitam lurus. Dari kejauhan  terdengar suara debur ombak yang berkejar-kejaran dan suara kicau burung di pantai yang indah itu. Nusa Dua, tempat yang memberikannya banyak sekali kenangan indah tapi juga tempat dimana dia harus membuang semua mimpi dan cintanya. Berdiri di atas tebing seraya memandang kosong ke arah matahari terbit yang baru saja menampakkan sinarnya, gadis itu tenggelam dalam lamunannya hingga tak sadar ada seseorang yang perlahan mendekatinya.


“Kami mencarimu kemana-mana, apa yang kau lakukan disini pagi-pagi begini?” Seorang pria muda berjalan mendekatinya dan kemudian berdiri di sampingnya.

“Apa kalian berpikir aku akan melompat dari sini?” tanya gadis itu datar dan tanpa ekspresi.


“Belum terlambat untuk membatalkan semuanya. Jika kau berkata tidak, aku akan membatalkan pernikahan ini dan kembali padamu. Kita bisa pergi ke tempat dimana tak seorangpun mengenal kita.” ujar pria muda itu. Gadis itu terdiam dan menarik napas berat, sambil tetap memandang kosong ke depan.


“Kau ingat bagaimana kita pertama kali bertemu?” tanya gadis muda itu.

“Kau menuduhku sebagai pencopet dan walau kau tak menemukan bukti apapun, kau tetap bersikeras akulah yang mencopet tasmu. Akhirnya, warga pun beramai-ramai menyeretku ke kantor polisi.” kenang  pria itu sambil tersenyum mengenang.


“Dan sejak saat itu, kita pun semakin dekat. Mungkin jika aku tak datang ke Bali, aku tak mungkin bertemu denganmu.” ujar si gadis lagi.

“Benar. Kurasa Tuhan memang mentakdirkan kita untuk bertemu dan saling mencintai.” jawab si pria.


“Ditakdirkan untuk bertemu dan saling mencintai tapi tidak untuk bersama. Dan entah sejak kapan, jodoh kita sudah berakhir sejak lama.” jawab si gadis pahit.


“Lilian, kenapa kita tidak memperjuangkan cinta kita? Kita saling mencintai, tapi kenapa kau justru menyuruhku menikah dengan kakakmu? Ini gila. Katakan padaku ini hanya kesalahan. Kau tak tau apa yang kau inginkan sebenarnya. Semuanya belum terlambat. Katakan padaku jangan pergi dan aku pasti akan kembali padamu, takkan ada pernikahan lagi.” pinta pria muda itu, seraya memegang erat pundak gadis itu.


“Lalu, setelah itu aku akan membuat kakakku meninggal karena shock? Dia sakit. Dia membutuhkanmu. Tanpamu, aku masih bisa hidup. Tapi kakak, tidak bisa. Waktu. Itulah yang tidak dia miliki sekarang. Kembalilah padanya. Bukankah masih banyak yang harus dipersiapkan sebelum pernikahan kalian?” jawab gadis itu dingin seraya menampik tangan pria itu yang memegang pundaknya.


“Aku tidak percaya kau bisa bicara seperti itu. Bahkan sampai akhir, kau tetap bersikeras melepaskan aku. Apa salahku?” tanya si pria tak percaya.


“Kau tak bersalah. Tidak ada seorangpun diantara kita yang bersalah. Keadaanlah yang membuat kita seperti ini. Aku tak punya pilihan. Kakakku sedang sekarat, dia membutuhkanmu, lebih daripada aku. Aku tak boleh egois mengikatmu sedangkan dia disana sangat mengharapkanmu.Aku hanya ingin kakakku bahagia. Hanya itu.”


“Dan bagaimana dengan kebahagiaanmu sendiri? Kau ingin kakakmu bahagia dengan menyuruhku menikahinya, lalu bagaimana dengan kebahagiaanmu sendiri? Tatap mataku dan katakan langsung di hadapanku,benarkah ini yang kau inginkan? Apa kau akan bahagia jika aku menikahinya?” pria muda itu kembali memegang erat pundak gadis muda itu dan menatap tajam matanya. Untuk sesaat, gadis itu tampak ragu-ragu, matanya berkaca-kaca saat dia memandang pria muda itu.


“Bagiku, kebahagiaan itu adalah bila melihat orang yang ku sayangi bahagia. Asalkan kakakku bahagia, aku akan bahagia. Jodoh kita sudah berakhir. Mulai sekarang, tak ada apa-apa lagi diantara kita, semua yang pernah terjadi di antara kita sudah menghilang, Aku memang mencintaimu, tapi itu dulu. Mulai hari ini, aku akan membuang semua perasaanku padamu. Pergilah. Semoga kalian bahagia.” jawab si gadis dengan dingin, walau matanya berkaca-kaca menahan tangisnya.


“Baiklah. Jika itu yang kau inginkan. Kau mungkin bisa memaksaku menikahinya, tapi kau tak bisa memaksaku untuk mencintainya. Aku menikahinya karena kau yang memintaku, karena aku mencintaimu, jadi aku akan lakukan apapun untukmu. Berjanjilah padaku, jika di kehidupan ini kita tak bisa bersama, maka di kehidupan berikutnya, apapun yang terjadi, kau tak boleh melepaskan aku.” jawab pria muda itu akhirnya, dengan perlahan dia menghapus airmata yang menetes di pipinya.


“Rafael, maafkan aku.” ujar si gadis lirih.

“Nusa Dua. Tempat kita bertemu pertama kali, tempat cinta kita bersemi, tapi tidak ku sangka akan menjadi saksi perpisahan kita saat ini. Untuk yang terakhir kalinya, bolehkah aku memelukmu?” pinta si pria mengiba. Gadis itu menatapnya ragu-ragu tapi kemudian mengangguk pelan. Perlahan tapi pasti Rafael mendekati gadis itu dan mereka berpelukan untuk yang terakhir kalinya di iringi suara debur ombak yang berkejar-kejaran dan kicau burung yang bersahut-sahutan.


“Selamat tinggal, Rafael. Semoga bahagia.” ujar Lilian sesaat setelah pelukan itu terpisah, dengan senyum yang dipaksakan dia berlalu meninggalkan cinta pertamanya dan berjalan dengan langkah gontai menuju arah restoran yang tak jauh dari sana.


“Sampai kapan kau akan memandangi Bebek itu?” tanya seorang pria muda lain padanya. Lilian seolah baru terbangun dari lamunannya dan tersadar bahwa dia sama sekali belum menyentuh makanannya.


“Bukankah kau bilang kau ingin makan Bebek Bengil?” tanya pria muda itu lagi.

“Alex, selera makanku tiba-tiba menghilang. Jika kau masih ingin makan, makan saja. Tapi aku ingin kembali ke kamar sekarang” ujar Lilian seraya mengambil satu sendok nasi sebagai syarat lalu berjalan pergi dari sana.


“Apa?Ini kan enak.” gumam pemuda yang dipanggil Alex itu lalu segera berlari menyusul Lilian. Mereka berjalan berdampingan di tepi pantai sambil terdiam.


“Aku mengerti perasaanmu.Pasti rasanya sakit sekali, benarkan? Melepaskan orang yang kau cintai untuk menikah dengan kakakmu sendiri.Apa yang harus ku lakukan untuk menghiburmu?” tanya Alex mengerti.Gadis itu berhenti dan menoleh lalu tersenyum berterima kasih padanya.


“Kau memang temanku yang paling baik.Kalau tak ada kau, mungkin aku akan lebih hancur lagi dari sekarang. Terima kasih, Alex.” ujar Lilian tulus. Alex hanya memandangnya dengan senyum yang dipaksakan.


“Hanya teman?Bagimu aku hanya teman kan? Selamanya hanya teman terbaik.Tahukah kau kalau akulah yang paling sakit saat melihatmu seperti ini?” ujar Alex tiba-tiba, mendadak menjadi sangat serius.


“Apa?” Lilian tampak tak mengerti.

“Kita sudah saling mengenal sejak kecil.Aku tahu semua tentangmu lebih dari yang lain, bahkan lebih dari Rafael mengenalmu.Tapi kau tak pernah melihatku.Walau aku selalu ada disisimu, menemanimu, menghiburmu,melindungimu dan menjagamu, kau tak pernah melihat hal itu.Apa kau tahu itu sangat menyakitkan?” ujarnya dengan ekspresi tak terbaca.

“Aku tidak tahu apa maksudmu Alex.” Lilian masih tampak shock dengan perkataan sahabatnya.


“Aku mencintaimu.Entah sejak kapan.Hanya saja kau tak pernah melihatku.Aku selalu melihatmu, tapi kau selalu melihat kearah yang lain.Aku mencoba berlapang dada dan berpikir bahwa cinta tak selalu harus memiliki.Bagiku asalkan kau bahagia, maka aku juga bahagia. Aku mengalah saat kau memilihnya, kupikir dia bisa membuatmu bahagia, tapi ternyata dia hanya membuatmu menderita. Lupakan dia dan lihatlah aku, Lilian!! Akulah yang ada disisimu dalam suka dan duka, tidak bisakah kau berikan aku satu kesempatan?” ujar Alex memohon. Lilian hanya menatapnya tak percaya.


“Alex, kau mencintaiku?” tanyanya lagi, seolah memastikan telinganya tak salah mendengar.

“Ya.” Jawabnya singkat. “Tapi kau sahabatku.Tak pernah terpikirkan olehku kau akan mencintaiku.” ujar Lilian masih bingung.


“Aku memang sahabatmu, tapi aku juga yang dengan tulus mencintaimu.” jawab Alex tegas dan dalam. “Tapi sayangnya tak pernah ada aku di matamu. Bagimu, aku hanyalah bayang-bayang.” lanjutnya sedih lalu tanpa berkata apa-apa berjalan meninggalkan Lilian sendirian.

Sepanjang siang Lilian hanya berdiri termenung memandang ombak di pantai seraya mengenang pengakuan Alex padanya. Alex adalah sahabatnya sejak kecil, mereka bertetangga sejak umur 9 tahun.Mereka juga teman sekolah sejak SD, SMP, SMU bahkan saat kuliahpun mereka mendaftar di kampus yang sama meskipun di jurusan yang berbeda. Alex lah yang selalu melindungi dan menjaganya setiap kali Lilian di ganggu orang. Perlahan tapi pasti bagaikan potongan film, semua kenangannya bersama Alex muncul dalam ingatannya, saat dia tertawa atau menangis, Alex lah yang selalu ada disisinya, bukan Rafael. Kenapa dia begitu buta? Kenapa dia selalu melihat kearah yang lain jika kebahagiaan yang sebenarnya sudah ada disampingnya sejak lama? Lilian akhirnya tersadar. Dia dan Rafael memang tak berjodoh sejak awal, mereka ditakdirkan untuk bertemu tapi tidak untuk bersama, tapi dengan Alex berbeda. Jodohnya dengan Alex sudah dimulai bahkan sejak mereka masih sangat muda. 


“Tanpa Alex, aku bukan siapa-siapa.Kenapa aku begitu bodoh dan tidak menyadarinya?” Lilian tersadar dan segera mencari Alex di kamarnya. Hari sudah menjelang sore, 2 jam lagi pesta pernikahan kakaknya dan Rafael akan di mulai, tapi Lilian tak peduli, selama ini dia selalu berjuang demi kebahagiaan orang lain, sekarang saatnya dia berjuang untuk kebahagiaannya sendiri. Setelah mencari kesana kemari akhirnya dia melihat Alex sedang duduk di atas pasir seraya memandang matahari senja yang begitu indah. Lilian tersenyum lalu diam-diam duduk di sampingnya.


“Matahari senja terlihat sangat indah, benarkan?” ujarnya sambil tersenyum manis dan duduk di sampingnya. Alex memandangnya dengan heran.

“Apa yang kau lakukan disini? Bukankah seharusnya kau ada di tempat pesta?” tanya Alex canggung.


“Pesta pernikahan itu akan baik-baik saja walau tanpa aku. Aku ingin disini bersamamu. Kau sendiri? Kenapa ada di sini?” tanya Lilian mencoba mencairkan kecanggungan.

“Memandang matahari senja sambil menunggu Polaris muncul di langit utara.” Jawabnya sambil menerawang menatap langit yang perlahan menjadi gelap. Semburat jingga di ufuk cakrawala mulai menghilang dan tergantikan oleh bintang-bintang yang bertaburan di angkasa.


“Terima kasih Alex.” ujar Lilian membuka percakapan.

“Untuk apa?” tanyanya canggung.

“Untuk semua yang sudah kau berikan untukku. Terima kasih sudah hadir dalam hidupku, terima kasih untuk cintamu, terima kasih karena kau tak pernah menyerah hingga akhir.” jawab Lilian tulus.


“Kau ingin menghiburku?” tanya Alex setengah bercanda.

“Eh, bukankah itu Polaris?” ujar Lilian tiba-tiba seraya menunjuk ke arah langit utara. Alex menatap ke arah yang di tunjuknya lalu menjawab dengan riang.


“Benar. Itu Polaris. Sang Bintang Utara yang melambangkan Harapan.Diantara jutaan bintang yang bersinar di Langit Utara. Hanya ada 1 bintang yang bersinar sangat terang melebihi jutaan bintang lainnya. POLARIS, sang Bintang Utara yang melambangkan harapan dan keinginan yang kuat. Saat kau sedang sedih dan putus asa, pandanglah bintang itu maka kau akan merasa harapanmu akan kembali muncul.” jawab Alex sambil tersenyum manis. Alex  menyukai antariksa, Lilian tahu hal itu. Dia sangat mengenal Alex sama seperti Alex sangat mengenalnya.


“Polaris takkan menghilang, benarkan? Tidak peduli walau bumi berputar dan bintang-bintang lainnya akan menghilang seiring perputaran bumi terhadap matahari, tapi Polaris tetap akan diam di tempatnya. Dia akan tetap ada disana. Sama sepertimu. Kau yang selalu ada di sisiku apapun yang terjadi, bagaikan Polaris yang takkan pernah pergi. Sekarang baru kusadari betapa kau sangat berarti.” Jawab Lilian, mengungkapkan perasaannya.


“Lilian, kau ini bicara apa?” Alex mendadak menjadi bingung.

“Saat aku tersesat, saat aku tidak tau kemana harus melangkah, kau datang dan membukakan jalan. Saat aku berjalan dalam kegelapan, kau datang membawa seberkas cahaya lilin dan menemaniku mencari cahaya terang. Saat aku bersedih dan ingin menangis, kau membuka tanganmu dan membiarkan aku menangis di pundakmu. Saat aku jatuh, kaulah yang membuatku bangkit. Kaulah Polarisku, kau bintang harapanku. Maafkan aku yang terlambat menyadari ini. Sekarang aku baru mengerti apa arti kebahagiaan yang sesungguhnya, andai aku mau menoleh sedikit saja, kebahagiaan yang sebenarnya sudah ada di sampingku sejak lama. Alex, bisakah kita mulai semuanya dari awal? Bukankah kau bilang kau mencintaiku? Aku ingin memulai dari awal denganmu. Nusa Dua, akan menjadi saksi cinta kita.” ujar Lilian dengan mata berkaca-kaca penuh harap. Alex hanya menatapnya tak percaya.


“Kau tak sedang bercanda kan? Ini tak lucu Lilian.” ujarnya tak percaya.

“Bukankah kau sangat mengenalku? Apa sekarang aku terlihat sedang bercanda?” Lilian balik bertanya dengan wajah serius. Untuk sesaat Alex mengamati wajah gadis di sampingnya dengan lekat, matanya memancarkan kejujuran dan kepolosan, tak ada tanda-tanda kebohongan.


“Terima kasih, sudah memberiku kesempatan.” ujar Alex lalu menarik gadis itu dalam pelukannya, mereka berpelukan di atas pasir dan di bawah sinar bulan dan kelap-kelip bintang di angkasa.


“Aku yang seharusnya berterima kasih dan aku lah yang seharusnya meminta kesempatan itu. Mulai hari ini, aku hanya akan melihatmu. Kau, sahabatku tapi kau juga yang dengan tulus mencintaiku.” jawab Lilian sambil membalas pelukan Alex, tanpa terasa hatinya menjadi sangat ringan, kehangatan menyeruak ke dalam lubuk hatinya. Setelah sekian menit berpelukan, akhirnya perutnya melontarkan protes keras.Mereka berdua pun tertawa canggung.


“Siapa suruh kau tak habiskan Bebeknya.Sekarang kau kelaparan kan?” goda Alex lalu berdiri sambil menarik tangan Lilian. “Ayo kita makan. Aku juga sudah lapar. Bebek Krispi dengan sambal matah kelihatannya sangat enak.” usul Alex dan mereka berdua pun berjalan bergandengan tangan di sepanjang pantai menuju Restoran The Bay Bali yang terletak di kawasan Nusa Dua, Bali tak jauh dari pantai tempat mereka berada saat ini.


“Bagiku, kebahagiaan itu adalah saat melihat orang yang ku sayangi juga bahagia. Dan andaikan aku mau menoleh sedikit saja kebahagiaan yang sebenarnya sudah ada di sampingku sejak lama.” ujar Lilian dalam hatinya sambil menyandarkan kepalanya dengan manja di lengan Alex saat mereka berjalan menyusuri Pantai Nusa Dua.



*) Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered! (dengan tulisan The Bay Bali yang di link ke website: http://www.thebaybali.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar