Selasa, 12 Mei 2015

Senja Terakhir di Pantai Kuta

Writing Competition : “Friendship Never Ends”
With :  Tiket.com dan Nulis Buku 


Senja Terakhir di Pantai Kuta





Seorang gadis muda berdiri menatap kosong hamparan laut di hadapannya. Matanya menerawang menatap matahari senja yang baru saja tenggelam ke peraduannya, Pantai Kuta, pantai matahari terbenam, begitu semua orang menyebutnya, matahari senja di Pantai Kuta tampak begitu indah, Di Pantai Kuta, malam datang agak terlambat. Cahaya merah bercampur kuning berkilauan dan debur ombak yang berkejar-kejaran tampak bagai sebuah pertunjukan tanpa naskah. Pantai pasir yang lembut dan sisa basah sapuan ombak tampak mengkilat seperti kaca. Diatas pasir, gadis itu menulis sebuah nama. Enam huruf. Dia berharap angin bisa menyampaikan padanya betapa dia merindukannya. Kini dan nanti. Tapi berkali-kali gadis itu menulisnya, berkali-kali pula ombak menghempasnya.

Akhirnya dia hanya bisa pasrah dan kembali memandang kosong kearah lautan yang perlahan menjadi gelap. Kicauan burung camar terdengar bersahut-sahutan, angin malam mulai menghembus tubuh rampingnya yang hanya terbalut sebuah cardigan tipis berwarna jingga, rambut panjangnya berkibaran menerpa wajahnya karena hembusan angin malam yang dingin menerpa.

Samar-samar  terdengar  suara lembut alunan lagu yang berasal dari arah ponselnya. 
“Menatap lembayung di langit Bali dan kusadari betapa berharga kenanganmu.” 
Dengan enggan gadis itu meraih ponselnya dan menjawab lirih “Hallo.”  ujarnya tak bersemangat.

“Aku tahu.Aku akan segera kembali.” jawabnya pada si penelepon seraya memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celananya.

“Tunggulah aku. Tak lama lagi, kita akan kembali bertemu. Kau masih menungguku kan?” gumamnya seraya menatap langit Bali yang bertabur bintang dengan berkaca-kaca seraya menyentuh dadanya dengan sebelah tangannya. Gadis itu berbalik dan berniat pergi saat tiba-tiba tubuhnya jatuh tersungkur kearah pasir dan jatuh berlutut, bercak merah darah memercik mengenai butiran pasir di pantai itu.

“Aarrgghh.”  erang gadis muda itu seraya memegangi dadanya menahan sakit.
“Intan.” panggil seseorang seraya berlari mendekatinya dan menatapnya cemas. Gadis itu hanya tersenyum menenangkan seraya berkata lirih “Aku baik-baik saja. Kurasa Gilang tak sabar ingin segera bertemu denganku.” jawabnya dengan mata berkaca-kaca.

“Bicara apa kau ini?” ujar gadis muda yang lain, jelas terlihat dia berusaha menahan tangisnya.

“Masih ada harapan. Bukankah Dokter bilang kau masih bisa disembuhkan?” ujar gadis itu memberi harapan. Tapi Intan hanya menggeleng pelan.

“Sudah selesai. Waktuku sudah habis. Kemoterapi dan radiasi sudah tak ada artinya lagi. Hanya cangkok sumsum tulang belakang yang bisa menyelamatkan aku, tapi anak yatim piatu seperti kita tak punya keluarga, darimana aku dapatkan cangkok sumsum itu? Aku sudah memenuhi janjiku pada Gilang, sekarang saatnya aku melepaskan semuanya dan pergi dari dunia ini.” jawab Intan seraya meraih saputangan dari saku celananya dan mengelap bibirnya yang bersimbah darah.

“Aku tak suka kau bicara seperti itu. Kau bukan akan mati besok pagi,” serunya marah, seraya membantu Intan berdiri.

“Jangan menangis Dini. Kau harus hidup tanpa menangis.” hibur Intan tulus seraya mengusap airmata sahabatnya.

“Setelah aku tak ada, berjanjilah kau akan hidup demi dirimu sendiri. Selama ini demi aku, kau tak pernah pikirkan dirimu sendiri, kau setia merawatku, mendampingiku menjalani semua pengobatan ini, tanpa kau, mungkin aku sudah menyerah sejak dulu. Terima kasih, teman. Aku beruntung bisa mengenalmu.” jawab Intan tulus.
“Kau belum memenuhi janjimu pada Gilang. Kau bilang kau tidak akan menyerah sebelum impianmu terwujud.”  ujar Dini tak terima.

“Aku sudah penuhi janjiku. Apa kau tidak lihat bahwa semua novelku ada di jajaran Best Seller?” jawab Intan seraya berjalan perlahan dengan Dini memapahnya.

“Itu belum cukup, Tan.Hanya tiga yang sudah kau terbitkan. Gilang ingin kau membuat lebih banyak.” ujar Dini berusaha menyemangati teman baiknya.

“Gilang pasti mengerti. Aku sudah tak sanggup lagi. Selama ini aku bertahan hanya demi memenuhi janjiku padanya, janji bahwa aku harus mengejar impianku tidak peduli walaupun aku harus terjatuh berulang kali.” jawab Intan dengan ekspresi sedih, seraya berjalan beriringan di sepanjang Pantai Kuta, Bali.

======== 

“Menatap lembayung di langit Bali dan ku sadari betapa berharga kenanganmu..Bilakah kuhentikan pasir waktu, tak terbangun dari khayal, keajaiban ini, Mimpi.”  Terdengar suara alunan lembut Sarasdewi – Lembayung Bali. Lagu Favorit Gilang saat dia masih hidup. Intan menarik napas dan kembali menatap kosong langit malam, tanpa sadar kenangannya membawanya kembali ke masa-masa dimana Gilang masih ada.

“Waktu. Andai aku bisa menghentikan pasir waktu, aku ingin lebih lama bersamamu.” ujar Intan dalam hati.

Flashback.
“Kenapa kau tak pernah mengatakan padaku kalau kau mengidap penyakit ini? Kenapa kau selalu menanggung semuanya sendiri?” Intan berseru marah pada pria yang kini terbaring tak berdaya di hadapannya.
“Aku tidak apa-apa. Ini hanya Kanker Darah, bukan sesuatu yang besar.” Jawab Gilang setengah bercanda.

“Hanya kanker darah? Apa kau pikir ini sesuatu yang lucu? Kenapa kau begitu tenang?” Intan berteriak marah. Marah pada dirinya karena tak mengetahui ini semua, marah pada takdir, marah pada hidup yang seolah tak adil. 

Mereka bertiga, Intan, Gilang dan Dini adalah teman baik yang tumbuh bersama di Panti Asuhan. Selama ini mereka selalu bersama-sama kemana-mana. Mereka sama-sama dibuang dan dicampakkan oleh orang tua kandung mereka sejak masih bayi, dibesarkan di Panti Asuhan dengan segala kekurangan, membuat mereka bertiga tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan selalu berjuang meraih mimpi demi kehidupan yang lebih baik. Saat mereka sudah dewasa dan sudah saatnya meninggalkan Panti Asuhan itu, mereka bekerja keras agar dapat bertahan hidup. Tidak peduli sesulit apapun, mereka selalu saling membantu. Tahun lalu, sebuah penyataan cinta dari Gilang pada Intan spontan mengubah hubungan persahabatan mereka. Semuanya terasa indah pada awalnya, tapi ternyata takdir tidak mengizinkan mereka bersama saat sebuah kenyataan pahit menghampiri Gilang. Sebuah penyakit ganas diam-diam menggerogoti tubuhnya. Tak ingin kekasihnya menjadi sedih, dia menyimpan semuanya sendiri, hingga pada akhirnya dia tak sanggup lagi menyembunyikan semua ini.

“Aku tahu kau akan bereaksi seperti ini jika tahu yang sebenarnya, itu sebabnya aku memilih tak mengatakan apa-apa. Jika aku tak ada lagi disisimu, berjanjilah kau akan tetap hidup dengan baik.  Tetaplah mengejar mimpimu, tak peduli sesulit apapun itu.Aku tahu kau gadis yang kuat, jadi kau pasti akan berhasil karena kau punya semangat.” Pesannya lirih.

“Aku tak bisa. Aku kuat karena kau ada bersamaku. Kau yang selalu memberiku semangat. Kau yang selalu mendukungku saat aku jatuh, Kau orang pertama yang selalu ada untuk menghiburku. Jika tak ada kau, aku tak tahu apakah aku..” kata-kata Intan terhenti karena Gilang memotongnya lebih dulu.

“Intan, kau tak boleh menyerah dalam mengejar mimpimu. Tak peduli walau harus berkali-kali terjatuh dan gagal, selama masih ada kesempatan, kau harus tetap mencoba. Mengirim dan mengirim lagi, berulang-ulang sampai dapat diterima. Itulah yang namanya impian. Harus dikejar dan terus dikejar. Kau mengerti kan? Jangan menyerah Intan.” ujar Gilang memberi semangat walau dia sudah terlihat sangat lemah.

“Tapi tanpamu...” lagi-lagi kalimat Intan terputus.
“Kau tahu apa yang kusukai darimu?” tanya Gilang sambil tersenyum tulus. Intan menggeleng pelan, berusaha menahan airmatanya.

“Semangatmu itu.Itulah yang kusukai darimu. Aku sungguh berharap kita berdua bisa meraih mimpi bersama. Kau dan aku, kita berdua, pasti bisa membuat sebuah karya hebat dengan aku sebagai Sutradaranya dan kau penulis skenarionya. Tapi sayangnya aku tak punya banyak waktu lagi, Jadi aku ingin, kau menggantikan aku meraih mimpi itu. Jangan menyerah. Aku ingin kau bisa mengembangkan bakatmu dan menghasilkan karya hebat. Aku akan selalu mengawasimu dari Surga.” ujar Gilang tulus.

“Jangan bicara seperti itu. Kau bukan akan mati besok pagi.” Ujar Intan sambil menangis.
“Minimal tiga Novel. Aku ingin kau bisa menerbitkan minimal tiga novel. Aku tahu kau sangat ingin karyamu bisa dibaca dan disukai banyak orang, jadi inilah saatnya. Berjuanglah! Jangan menyerah walau harus terjatuh berulang kali. Bukankah kau pernah bilang padaku bahwa tak ada seorangpun yang bisa mengajarimu untuk menyerah? Buktikan padaku! Teruslah maju dan kejarlah mimpimu. Demi aku, demi dirimu, demi impian kita. Waktu, itulah yang tak kumiliki sekarang.” ujar Gilang lagi, dengan mata berkaca-kaca.

“Gilang...” Intan bahkan tak sanggup bicara.
“Berjanjilah padaku, Intan. Atau aku takkan mau melihatmu lagi.” Ujar Gilang dengan nada mengancam.
“Aku berjanji.” akhirnya dengan berat hati, Intan menyanggupi permintaan terakhir Gilang.

Gilang tahu waktunya tak lama lagi, dia meminta Intan menemaninya berlibur ke Pulau Bali. Pantai Kuta, adalah tempat terakhir mereka berbagi kenangan indah. Bermain pasir bersama, melihat matahari terbit dan terbenam, membangun istana pasir, memandang bintang  dan membakar ikan di tepi pantai seraya melihat ombak berkejar-kejaran di laut yang terhampar indah di hadapan mereka.

“Aku suka lagu ini.” Ujar Gilang saat mereka sedang menikmati makan malam di sebuah restoran mewah malam itu. Makan malam terakhir mereka.

“Lembayung Bali?” tanya Intan saat restoran itu memutar Lembayung Bali-nya Sarasdewi. 
“Menatap lembayung di langit Bali dan kusadari betapa berharga kenanganmu... Hingga masih bisa kurangkul kalian, sosok yang mengaliri cawan hidupku. Bilakah kita menangis bersama, tegar melawan tempaan, semangatmu itu. Bukankah lagu ini sangat pas untuk situasi kita sekarang?” ujar Gilang mengucapkan sebait lirik dari lagu itu. Intan mengangguk pilu.

“Karena kau dan Dini, aku tak merasa kesepian walau orang tuaku sudah membuangku. Terima kasih untuk semuanya, khususnya kau, Permataku. Aku mencintaimu.” ujar Gilang lembut.

“Aku juga mencintaimu. Terima kasih karena sudah menyukaiku.” Ujar Intan sambil menghapus airmatanya.
“Kau ini cengeng sekali. Bagaimana bisa aku meninggalkanmu sendiri?” Gilang menarik Intan dan memeluk serta membelai rambutnya lembut.

“Apa kau tahu kenapa aku suka dengan Batu Intan?” tanya Gilang setelah pelukannya terlepas. Intan mengangguk pelan.
“Karena itu adalah namaku, benarkan?” jawab Intan bangga. Gilang tersenyum mendengarnya.

“Ya dan tidak. Intan, nama lain dari Berlian adalah batu permata yang terindah, termahal dan terkuat dimuka bumi. Intan dalam bahasa Yunani artinya tak tertaklukkan,” ujar Gilang dengan berseri-seri menjelaskan tentang batu favoritnya.

“Aku ingin kau menjadi seperti namamu, tetap kuat, berjuang terus tanpa menyerah,” jawab Gilang, tetap memberi semangat di saat-saat terakhir hidupnya. Intan hanya mampu meneteskan airmata tanpa bisa mengatakan apa-apa. 

“Selamat tinggal, Intan. Batu permataku yang paling indah, kejarlah mimpimu dan jangan menyerah.” Ujar Gilang dalam hatinya. Dan seminggu setelah kencan mereka di Pantai Kuta, Gilang menghembuskan napasnya yang terakhir. Intan  hampir saja kehilangan semangat hidupnya andai saja dia tidak teringat janjinya pada Gilang.

“Tetaplah hidup tanpa menangis, Intan. Kejarlah mimpimu dan jangan menyerah. Gantikan aku meraih mimpi yang belum sempat kuwujudkan.” Itulah pesan terakhir Gilang yang dijadikannya sebagai pegangan hidup.

End Of Flashback.

Sejak itu Intan tak menyerah. Berbagai kompetisi menulis dia ikuti. Tak peduli walau harus gagal berkali-kali, hingga akhirnya setelah hampir tujuh tahun mencoba, satu karyanya berhasil memenangkan Novel Fiksi terbaik. Satu kesuksesan membawanya pada kesuksesan yang lain. Tiga Novelnya berhasil menjadi Best Seller dan membuatnya meraih banyak sekali penghargaan. Bahkan sebuah stasiun televisi swasta berniat mengangkat novelnya ke dalam film. Royalti yang diterimanya cukup membuat hidupnya menjadi lebih baik. Secara finansial, Intan tak perlu diragukan lagi, tapi semua itu tak membuatnya bahagia. Hingga akhirnya sekitar setahun yang lalu, dia mengetahui bahwa dia juga menderita penyakit yang dulu merenggut nyawa Gilang, cinta pertamanya. Kemoterapi dan radiasi dia jalani, tapi semuanya tak kunjung membaik. Intan merasa waktunya tak lama lagi.

“Jika seandainya aku pergi, aku ingin 70% royaltiku kau sumbangkan pada Yayasan Kanker dan Panti Asuhan. Sisanya aku ingin kau gunakan sebagai modal untuk meraih mimpimu. Bukankah kau ingin kuliah desain di luar negeri dan menjadi desainer kelas dunia? Gunakan uangku untuk meraih mimpimu. Dini, terima kasih banyak. Maaf, aku tak bisa menemanimu lagi. Gilang sudah menungguku di sana.” tulis Intan di surat wasiatnya.

Dia merasakan sakit itu kembali menyerangnya, dengan napas tersengal-sengal, Intan berjalan kearah balkon kamar hotelnya di Pantai Kuta, untuk yang terakhir kalinya memandang lepas kearah langit malam yang bertabur bintang.

“Andai ada satu cara, untuk kembali menatap agung suryamu.” ujarnya dalam hati  seraya memeluk foto Gilang didadanya, cairan merah yang keluar dari hidung dan mulutnya menjadi penanda bahwa hidupnya takkan lama. Dengan senyuman tersungging dibibirnya, Intan dudu dikursi balkon itu seraya menatap kelangit malam yang bertabur bintang.

“Sudah selesai.” Batinnya seraya perlahan memejamkan matanya. Tertidur untuk selamanya.

==========

“Terima kasih untuk semua sumbangan ini. Intan Permata penulis yang hebat, sayang sekali dia harus meninggal di usia  muda. Kudengar dia adalah gadis yang baik dan penulis yang berbakat. Aku percaya dia pasti bahagia bisa berada disisi Tuhan di Surga.” Ujar Dokter Kepala Yayasan Kanker saat Dini menyerahkan uang sumbangan hasil royalti Intan pada Rumah Sakit itu sesuai permintaan terakhir Intan.

Dini menghapus airmatanya dan mengucapkan “Sama-sama. Aku senang bisa membantu. Temanku berharap bisa membantu semua anak-anak itu agar mereka bisa hidup lebih lama dan mengejar mimpi mereka.” Ujarnya dengan airmata menetes pelan. Beberapa hari ini dia sibuk membagikan sumbangan ke beberapa Rumah Sakit Kanker dan Panti Asuhan untuk memenuhi wasiat terakhir Intan, walau sulit melepas kepergian temannya, tapi dia tahu inilah yang terbaik untuknya.

“Gilang, Intan, sekarang kalian sudah bersama di Surga. Kalian pasti sangat bahagia kan? Tunggulah aku. Akan tiba saatnya aku akan menyusul kalian, dan selama menunggu saat itu tiba, aku akan berjuang meraih impianku dan aku takkan pernah mengecewakanmu, sahabat. Aku takkan menyerah. Selamat tinggal, teman terbaikku. Aku menyayangimu, Intan, Batu Permataku.” Ujar Dini seraya berdiri menatap kosong hamparan laut di hadapannya dan merentangkan tangannya ke arah lautan menaburkan abu Intan disana, lalu berjalan meninggalkan Pantai Kuta seraya menggenggam sebuah buku di tangannya, karya terakhir Intan.

Senja mulai muncul di Pantai Kuta, sore sudah menjelang dan malam perlahan akan datang. Dari kejauhan gadis itu melihat beberapa orang begitu asyik menyisir ombak-ombak dengan sebuah papan. Deru ombak seperti orkestra yang menghentak-hentakan kenangan. Perasaan itu mulai muncul dan membuatnya tak mampu merasakan apapun. 

“Kita terlahir untuk mati. Jadi tak perlu bersedih lagi. Semua impianmu bisa menjadi kenyataan bila kau memiliki kemauan untuk mengejarnya. Segalanya akan menjadi mungkin bila kau percaya. Jadi, janganlah menyerah!” Dini mengingat surat wasiat yang ditulis Intan untuknya, dalam hati dia bersumpah tidak akan menyerah untuk mengejar impiannya, walau saat ini dia harus melangkah sendirian.

==========

Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen dari Tiket.com dan Nulis Buku #FriendshipNeverEnds #TiketBelitungGratis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar