Sabtu, 20 Agustus 2016

Shooting Star : Chapter 4 [Dream High 2 Fanfiction]

Chapter 4...It's mean that this is the last chapter on blog. Chapter terakhir yang saya posting dalam blog karena sisanya bisa Anda nikmati di Wattpad. Silakan buat akun Wattpad terlebih dahulu bagi yang belum punya dan FOLLOW Akun : @LilianaTan1708 baru Anda bisa membawa ceritanya lengkap. Karena jika Anda hanya bikin akun wattpad tanpa memfollow penulis, well, mungkin ada beberapa chapter yang hilang hehehe =) Kan uda dibilangin kalau cerita ini memang HANYA UNTUK FOLLOWERS hehehe =) So, bagi yang penasaran silakan capcus aja ke sana, okay? Ditunggu ya...Nggak pun nggak papa sih, cuma info aja. See you on Wattpad *lambai tangan* Jangan lupa kalau member GOT7 juga muncul lengkap di pertengahan episode. So dont miss it, Ahgase =)

“Shooting Star : Chapter 4 [Dream High 2 Fanfiction]”






“Chapter 4 : Finally I Found You”



Seorang gadis bermantel merah berlari masuk ke gedung sekolah Kirin dengan tergesa-gesa di tengah malam, untung saja dia masih memiliki kunci cadangan yang masih disimpannya saat dulu dia sempat menjadi Ketua Asrama. Gedung sekolah itu telah sepi, tak ada seorangpun di sana. Menerobos hujan yang turun dengan deras, gadis itu berlari menuju aula utama tempat acara perayaan ulang tahun ke-17 SMU Kirin diadakan, tempat di mana seorang gadis muda yang merupakan adik kelasnya menabraknya tadi siang.

“Mungkin di sini,” gumamnya berharap. Lalu mulai mencari di semua sudut aula, di bawah kaki kursi para penonton, di bawah panggung, di belakang panggung, hingga bahkan ke tempat sampah yang ada di samping pintu masuk, berharap mungkin penjaga sekolah yang menemukannya membuangnya ke sana. Tapi nihil. Sumpit itu tak ditemukannya di mana-mana.

Hye Sung terduduk lesu di lantai aula. Menangis terisak. “Hilang. Sumpitku hilang. Apa ini berarti semuanya telah berakhir?” ujarnya terisak seraya menangis sedih di tengah aula, terduduk lesu di bawah panggung.

“Dasar bodoh! Shin Hye Sung kau memang bodoh. Menjaga sepasang sumpit saja kau tak mampu, bagaimana kau bisa menjaga cintamu?” makinya pada dirinya sendiri seraya menghapus airmatanya.

“Mungkin semuanya memang sudah berakhir. Mungkin sekarang saatnya aku melupakan cintaku. Cinta yang tak seharusnya aku miliki. Bahkan simbol cinta kami sudah hilang, sekarang tak ada lagi kenangan yang tersisa. Aku benar-benar telah kehilangan semuanya,” lanjutnya sedih lalu beranjak bangkit, ingin menyerah, tapi hatinya masih menolak.

“Tidak. Mungkin bukan di sini aku menjatuhkannya. Aku harus tetap mencarinya sampai dapat. Aku tidak akan menyerah. Sudah terlambat untuk menyerah sekarang. Aku belum rela menyerah. Jika aku menemukan sumpit itu, berarti aku masih memiliki harapan untuk cintaku. Aku akan datang padamu dan memohon kesempatan kedua. Tapi jika aku benar-benar tak bisa menemukan sumpit itu maka aku akan melepaskan semuanya. Benar. Harus berusaha dulu baru benar, walau gagal setidaknya aku sudah berusaha kan?” Hye Sung menyemangati dirinya sendiri lalu dengan penuh semangat kembali mencari.

Dia berlari keluar dari aula dan berencana untuk mencarinya di tempat lain. Tidak rela untuk menyerah begitu saja.

=====

“Sepertinya itu Shin Hye Sung. Tapi untuk apa dia ke sekolah malam-malam begini?”, ujar seorang gadis muda berambut coklat berombak saat berada di dalam taksi, berniat untuk pulang saat tiba-tiba dia melihat seorang gadis muda mirip Hye Sung berlari masuk ke dalam gedung sekolah. Karena tergesa-gesa ingin secepatnya pulang untuk melihat ibunya yang tiba-tiba sakit, dia tidak bisa berhenti dan mengecek kebenarannya.

Gadis muda itu teringat dia meninggalkan tas tangannya di toilet aula lalu kembali ke sekolah itu mengambilnya setelah acara reuni itu berakhir. Acara reuni yang dihadiri oleh semua alumni Kirin kecuali sepasang ‘kekasih’ JB dan Hye Sung.  

Penasaran dan tidak tenang, akhirnya gadis itu memutuskan untuk memberitahu seseorang. 
“Yeoboseyo JB (Hallo JB),” ujarnya di telepon. 
“Hallo...Soon Dong, ada apa?” jawab seorang pria dari seberang saluran. 

“Aku melihat seorang gadis seperti Hye Sung berlari masuk ke dalam sekolah. Aku tak bisa kembali dan mengeceknya karena aku harus segera pulang ke rumah, ibuku sedang sakit. Aku sangat tidak tenang karena sepertinya dia berlari sambil menangis. Bisakah kau datang kemari dan mengeceknya? Mungkin saja itu memang Hye Sung.” Pinta Soon Dong di ponselnya. 

“Arraseo...Gomawo (Aku tahu. Terima kasih),” jawab JB menyanggupi, seraya berdoa dalam hati semoga saja itu memang Hye Sung. 
“Oh ya, jika kau berhasil menemukannya, jangan lupa janjimu padaku. Aku sudah banyak membantumu hari ini,” Soon Dong mengingatkan JB pada janjinya untuk membuatkan sebuah album untuknya.

“Arraseo. Jeongmal gomawo (Aku tahu. Aku sungguh-sungguh berterima kasih),” jawab JB setengah kesal lalu menutup teleponnya dan segera memacu mobilnya kembali ke sekolah mereka.
“Shin Hye Sung, semoga itu memang kau,” doanya dalam hati seraya mencengkeram erat kemudinya.

====

Shin Hye Sung berjalan seorang diri memasuki studio musik Kirin Art High School. Acara drama musikal untuk merayakan ulang tahun ke-17 SMU Kirin telah selesai diadakan. Semua orang sudah pulang meninggalkan sekolah ini dan hanya ada dia seorang diri di tempat ini. Perlahan tapi pasti dia melangkah memasuki sebuah ruangan yang pernah menyimpan kenangan indah dalam hatinya.

Duduk di bangku piano itu, dia mulai memainkan jemarinya di atas tuts piano itu seraya menatap kosong warna tuts piano yang berwarna hitam dan putih seraya bergumam “Mereka adalah pasangan serasi. Hitam dan putih saling melengkapi,” ujarnya berkaca-kaca.  

Semua kenangan yang seharusnya dia lupakan kini kembali lagi bagaikan sebuah gelombang dahsyat tsunami yang memporakporandakan hatinya yang telah beku selama ini. Kenangan itu perlahan mulai kembali.

“Rasanya seperti baru beberapa tahun yang lalu, kau berkata padaku “Aku Mencintaimu” karena aku adalah Fansmu. Seperti baru beberapa bulan yang lalu kau berkata padaku “Jangan menangis” dan membuat sebuah senyuman di wajahku dengan kedua tanganmu. Seperti baru beberapa hari yang lalu, kau bertepuk tangan untukku saat aku berhasil menciptakan lagu pertamaku. Seperti baru beberapa jam yang lalu kita berjanji akan bersama selamanya, tidak akan pernah terpisahkan bagaikan sumpit dan sendok. Seperti baru beberapa menit yang lalu saat seluruh dunia berdiri menentang kita. Seperti baru beberapa detik yang lalu aku menyadari kita tidak ditakdirkan untuk bersama. Tapi kenyataannya sudah 8 tahun berlalu sejak aku meninggalkanmu seorang diri. Waktu seolah berhenti saat aku berjalan pergi darimu. Sekarang aku kembali, apa kau masih mencintaiku seperti dulu? Aku merindukanmu...Andai aku memiliki keberanian untuk mengatakan semua itu...” Shin Hye Sung bicara pada dirinya sendiri seraya memainkan sebuah nada lembut dan terdengar sedih di piano itu.

Shin Hye Sung terlalu tenggelam dalam kenangannya sendiri hingga tidak menyadari dia tidak sendirian di tempat itu. Di sana, di depan pintu yang sedikit terbuka, ada seseorang yang mengamatinya dalam diam, mendengar semua ucapannya dan tersenyum sedih seraya menatapnya tanpa kata.

Plok plok plok. Terdengar tepuk tangan yang berkumandang di dalam ruangan yang sepi dan suram, perlahan Hye Sung menoleh ke arah sumber suara yang mengagetkannya. Dan Hye Sung melihatnya. Dia, yang selalu ada dalam mimpinya siang dan malam. Dia, seseorang yang selalu dirindukannya. Dia berdiri di sana, dengan senyuman manis di bibirnya. Senyuman yang tak pernah berubah walau 8 tahun telah berlalu dan kehidupan mereka telah berubah.

“Lagu yang indah, Komposer Shin Hye Sung. Apa itu lagu baru ciptaanmu?” Ujarnya dengan tersenyum manis seraya berjalan ke arah Hye Sung yang duduk terdiam dan memandangnya dengan terkejut.

Mereka berdua saling memandang dalam diam, mencoba menenangkan detak jantung masing-masing yang kian berlomba untuk menjadi yang tercepat. Hye Sung memalingkan wajahnya ke arah tuts piano saat airmatanya mulai menetes, basah membasahi tuts piano itu. Airmata yang sepertinya sedang berusaha menyingkirkan semua kenangan indah yang pernah mereka lalui bersama. Kenangan indah yang pernah membuatnya berpikir mereka bisa bersama selamanya hingga maut memisahkan.

Kegelapan ruangan itu tak mampu menyembunyikan airmata Hye Sung dengan baik, karena pada kenyataannya, dia melihatnya. Seseorang yang berdiri di tengah ruangan yang sedari tadi hanya mengamatinya dalam diam, dia melihat airmata gadis itu.

“Kau tidak berubah, Shin Hye Sung. Kau tetap jelek saat menangis,” ujar sosok itu, mencoba menghiburnya.
“Sudah kukatakan padamu, bintang itu hanya terlihat indah bila dipandang dari jauh. Tapi tidak seindah itu saat kita memandangnya dari dekat,” jawab Hye Sung seraya menghapus airmatanya dengan cepat, mencoba bersikap sinis, walau terdengar gagal di telinga orang itu.

“Dan aku juga sudah mengatakan ‘Aku mungkin memang bukan lagi bintang yang bersinar terang di langit malam. Karena demi kau, bintang itu rela jatuh ke bumi dan kehilangan semua cahayanya,’ Sekarang kau harus bertanggung jawab karena membuat semua cahayaku menghilang,” jawabnya pelan dan dalam.

“Apa yang kau lakukan di sini, JB? Sejak kapan kau berdiri di sana?” Hye Sung mengalihkan pembicaraan.
“Harusnya aku yang bertanya apa yang kau lakukan malam-malam sendirian di tempat ini?” JB memberikan pertanyaan yang sama seraya perlahan berjalan mendekatinya.

“Siapa bilang kau boleh mendekat?” Hye Sung tampak gugup melihat JB berjalan mendekatinya. 
“Dan siapa yang bilang kau boleh mengaturku? Aku bisa pergi ke manapun yang aku mau,” jawab JB tak mau kalah.

“Kau datang untuk mengenang atau mencari sesuatu?” tanyanya lagi dengan gaya menyelidiki. 
“Itu bukan urusanmu,” jawab Hye Sung, mencoba bersikap ketus. 
“Kau ingat? Di tempat inilah aku pertama kalinya mendengar lagu ciptaanmu. Hello To My Self, aku yang memberinya judul itu. Di mataku, kau bukanlah gadis yang tidak berbakat. Kau bukanlah itik buruk rupa, sebaliknya, kau adalah angsa yang menawan. Berlian yang tertutup lumpur dan aku beruntung menjadi orang pertama yang menemukan dan menyadari semua itu. Menyadari betapa berharganya Shin Hye Sung,” ujar JB dengan lembut, semakin mendekat. Membuat jantung Hye Sung berpacu semakin cepat.

“Apa maumu sebenarnya?” Hye Sung bertanya gugup. 
“Aku ingin mengembalikan sesuatu padamu, sekaligus mengobrol dengan teman lama. Salahkah itu?” tanya JB dengan seringai nakal di wajahnya.

Dia semakin mendekat lalu duduk di samping Hye Sung dan berbagi bangku piano itu bersama. Spontan Hye Sung bergerak menjauh seraya mengatur debaran jantungnya.

“Kau mencari ini kan?” lanjut JB seraya menyodorkan sepasang sumpit di tangannya pada Hye Sung yang segera meraihnya dan memeluknya sambil menangis keras.

“Sumpitku...Akhirnya aku menemukanmu. Terima kasih,” ujar Hye Sung menangis terisak. JB tersenyum pahit. Hye Sung menangisi sumpitnya yang hilang seolah itu adalah benda pusaka. Terhadap sepasang sumpit yang dia berikan saja Hye Sung begitu mencintai sumpit itu, apalagi pada orang yang memberikannya. Benarkan?

“Benar. Akhirnya aku menemukanmu.” Ujar JB lembut dan tegas namun justru membuat gadis itu semakin gugup.

“Apa kau begitu mencintai sumpit itu? Kau bahkan rela menerobos hujan dan mencarinya sendirian malam-malam begini?” tanya JB lagi penuh selidik.

“Sumpit ini adalah segalanya bagiku. Dia seperti belahan jiwaku,” jawab Hye Sung lirih seraya menghapus airmatanya.

“Benarkah? Lalu bagaimana dengan orang yang memberikan sumpit itu padamu? Apa arti orang itu bagimu?” lanjutnya, dengan nada penuh tekanan dan menatapnya tajam.

“Dia tidak berarti apa-apa bagiku. Tidak lagi!” jawabnya gugup seraya memalingkan wajahnya. 
“BOHONG !! KAU JELAS SEDANG BERBOHONG, SHIN HYE SUNG !!! Apa kau tahu kalau tidak bisa berbohong? Kau artis yang buruk. Tidak seperti itu yang kau tulis di suratmu. Aku tahu kau masih mencintaiku, benarkan?” tanya JB dengan penuh percaya diri. Sampai kapan gadis itu akan menyangkal.

Hye Sung tercekat. Surat. Dia memandang JB dengan shock di matanya. JB tersenyum menang lalu mengeluarkan surat itu dari dalam saku mantelnya dan menunjukkannya di depan Hye Sung.

“Apa arti surat ini, Shin Hye Sung? Sampai kapan kau terus menyangkal perasaanmu? Perlukah aku membacanya keras-keras di hadapanmu?” tanya JB, dengan berusaha menyembunyikan gejolak dalam hatinya. Hye Sung hanya menatapnya dengan airmata menetes pelan. Tahu bahwa JB pasti sudah membaca isinya.

“Aku menunggu penjelasan darimu. Apa kau berencana meninggalkan aku sekali lagi dengan hanya meninggalkan sepucuk surat?” lagi, JB terus mendesak Hye Sung agar memberinya sebuah alasan yang masuk akal.

To be continued... 

Kelanjutan kisahnya bisa anda baca di : Shooting Star [Dream High 2 Fanfiction - JB GOT7]


Shooting Star : Chapter 3 [Dream High 2 Fanfiction]

Chapter 3. It's mean that one more chapter to go. Dari 23 Chapter yang sudah penulis share di Wattpad, yang mana itupun BELUM TAMAT karena direncanakan akan tamat pada Chapter 28, namun dalam blog ini HANYA AKAN diposting 4 Chapter saja. Yuk ah, bagi yang penasaran buat akun wattpad dan FOLLOW Author, karena cerita ini DIKUNCI jadi kalau gak follow gak bisa baca gitu. Bagi yang penasaran aja, bagi yang bersikeras gak mau bikin akun wattpad dan gak mau follow tapi tetep pengen baca, ya udah, Penulis hanya bisa meminta maaf karena hanya mampu Mengshare 4 chapter saja sebagai testing semata. Ditunggu di Wattpad bagi para Ahgase yang penasaran ya...

“Shooting Star : Chapter 3 [Dream High 2 Fanfiction]”



 
“Chapter 3 : The Confession Letter”



Di dalam mobilnya, dengan diiringi tetes hujan yang turun dari langit yang kini membasahi jendela mobilnya seraya mendengar lagu ciptaan Hye Sung, JB mulai membaca surat yang ditulis Hye Sung untuknya.

“Apa dia menangis saat menulis surat ini?” tebak JB lalu mulai membaca suratnya. Hanya bagian pertama saja, sudah mampu membuat berkaca-kaca.

“Dear JB... Aku bertaruh kau pasti takkan pernah tahu betapa tersentuhnya aku saat kau memungut apel yang jatuh ke tanah itu. Maksudku, apel yang jatuh ke tanah itu pasti kotor kan? Tapi demi agar aku berhenti menangis kau tetap memakannya. Aku terjatuh lemas ke tanah, menangis tersedu-sedu, saat itu aku benar-benar ingin menyerah.

Tapi kemudian, tanganmu yang hangat menyentuh pipiku dan menghapus airmataku yang mengalir deras di sana, membuat hatiku yang dingin perlahan menjadi hangat. Kaulah yang berkata padaku “Jangan menangis”, kaulah yang menghapus airmataku dan kau juga yang selalu membimbing jalanku.  

Bagaikan Polaris, Sang Bintang Harapan, yang selalu menjadi petunjuk arah utara agar kita tidak tersesat. Seperti itulah arti kehadiranmu, kau selalu menjadi Bintang Penunjuk jalan bagiku, kaulah yang membawaku keluar dari kegelapan itu.

Di gereja kecil itu, suaramu terdengar sangat indah dan menenangkan. Sangat menyenangkan untuk didengar. Tak pernah sekalipun aku bermimpi akan mendengarmu bernyanyi khusus untukku. Saat itu aku bersandar di bahumu dan berharap agar waktu berhenti berputar walau hanya sesaat saja.

Aku berdoa semoga saat-saat indah itu akan bertahan selamanya, tanpa Fan Girls, tanpa wartawan, tanpa manajer dan bos agensi yang mengekangmu, hanya kita berdua, bahagia selamanya. Tapi sekeras apa pun aku berdoa, semua itu takkan pernah menjadi kenyataan. Kurasa aku memang terlalu naif.

Kupikir asalkan aku mencintaimu dengan tulus, maka yang lain tidaklah penting. Aku dibutakan oleh cintaku padamu hingga tak peduli pada yang lain. Aku bahkan tidak menyadari jika aku telah menghancurkan impianmu seumur hidup. Aku tidak menyadari aku bisa seegois itu. Aku tidak menyadari jika kau hanya berpura-pura tersenyum di hadapanku, hanya untuk menenangkanku. Kau selalu bersikap seolah kau tidak peduli walaupun kau kehilangan kesempatan berdiri di panggung besar. Kau selalu tersenyum padaku, meyakinkan aku bahwa semua baik-baik saja. Kau selalu membuatku berpikir bahwa kau memang baik-baik saja.

Bila saja aku tahu... Kau akan tereliminasi dari audisi itu karena kau ‘melamarku’, aku takkan pernah menerima pengakuan cintamu. Kau juga tidak akan mengalami kecelakaan, jika saja aku tidak lari meninggalkanmu begitu saja. Cinta itu sangat menyakitkan, aku tidak seharusnya jatuh cinta padamu. Seharusnya aku tahu, kau adalah seseorang yang tak boleh kucintai.

Rian benar. Semuanya terjadi karena aku. Karena aku, kau kehilangan panggungmu. Karena aku, kau mengalami kecelakaan itu, hingga membuatmu kehilangan kemampuanmu menari. Karena aku, kau kehilangan kekaguman dan respek semua orang. Ternyata, aku sama sekali tak mampu melindungimu.

Shin Hye Sung, seorang gadis yang bodoh dan tidak berbakat, seorang gadis yang selalu tanpa sadar melakukan kesalahan. Aku adalah orang terakhir yang mengetahui hal-hal yang penting dan selalu mengacaukan segalanya. Tapi sekarang, aku memutuskan untuk memperbaiki semua kesalahanku. Aku ingin membantumu mendapatkan kembali panggung yang seharusnya memang milikmu. Aku ingin membawa kembali JB yang dulu, JB yang dipuja semua orang, JB yang bersinar bagai bintang di angkasa. Aku ingin mengembalikan mimpimu yang sempat hilang.

Maafkan aku.... Karena telah menghancurkan semua mimpimu. Karena telah mengingkari janji kita dan pergi meninggalkanmu. Karena telah berbohong padamu...

Rasanya aku seperti akan mati saat aku berkata bahwa JB yang kucintai adalah JB yang berdiri di atas panggung, JB yang dipuja semua orang, JB yang mempesona semua Fansnya, dan sulit sekali rasanya melihatmu kehilangan popularitasmu, itu sebabnya aku ingin kita putus.

Aku berbohong. Aku sepenuhnya berbohong. Karena sejujurnya, aku mencintaimu seperti apa pun dirimu. Saat itu aku berusaha keras menahan airmataku saat mengucapkan kata-kata yang menyakitkan itu. Saat itu, aku merasa jantungku seakan berhenti berdetak dan rasanya sulit bernapas, saat kau berkata padaku kau akan menjadi JB yang kuinginkan. Saat kau berkata demi aku, kau akan bangkit kembali. Saat kau mengggenggam tanganku, rasanya aku ingin berbalik dan memelukmu dengan erat, melepaskan semua topeng dingin yang sedang kutunjukkan padamu sekarang. Tapi aku tetap bersikap dingin dan mengatakan hal yang lebih menyakitkan.

“A star is great when you see it from afar but when you see it close-up, it is not that great anymore…Bintang itu terlihat sangat indah bila dilihat dari kejauhan, tapi terlihat biasa saja bila kita melihatnya dari dekat,” adalah kata-kata yang kuucapkan dengan kejam saat itu.

Aku berbohong. Di mataku, kau akan selalu menjadi bintang yang bersinar terang di langit malam. Kau akan selalu cemerlang dan bersinar dengan indahnya, bahkan lebih indah dari jutaan bintang lainnya. Sama seperti Polaris yang akan selalu menerangi langit utara, tak pernah berubah dan tetap berdiri dengan tegak di tempatnya, seperti itulah arti dirimu sesungguhnya bagiku.

Tapi kau memilih jatuh ke bumi dan mendarat di sisiku, menjadi Bintang Jatuh yang kuimpikan selama ini. Menyimpanmu di sisiku, kau menjadi bintang yang mulai kehilangan cahayanya sementara aku dengan bodohnya menikmati keberadaanmu di sisiku. Perlahan, cahayamu mulai redup dan semakin redup, dan akhirnya aku memutuskan, sekaranglah saatnya aku mengantarmu pergi, mengembalikanmu ke dunia tempatmu berasal.

Di tengah Galaksi, kau ditakdirkan menjadi bagian dari bintang-bintang yang bersinar dengan terang sementara aku ditakdirkan menjadi butiran debu di tanah. Jalan kita seharusnya tidak perlu bersinggungan, karena kau dan aku memang tidak ditakdirkan untuk bersama. Semuanya harus kembali ke tempat masing-masing dan kau juga harus kembali ke tempatmu berasal, seperti yang diharapkan oleh semua orang.

Dengan sedih aku harus mengakui, hanya “Tuan Putri” yang berhak hidup bahagia selamanya bersama dengan “Sang Pangeran”, tapi aku bukanlah Tuan Putri. Tempatku selamanya hanya akan ada di tengah para penonton. Impian yang pernah kita bagi bersama, hanya akan menjadi bagian dari kenangan yang indah dan tak ada lagi yang lain.

Saat aku menulis surat ini, aku menangis dengan keras, lebih keras dari saat itu, tapi tak ada lagi kau yang menghapus airmataku. Semuanya telah menghilang bersama dengan senyuman manis yang selalu kau tunjukkan padaku, menghilang bersama kehangatan yang kau berikan padaku melalui genggaman tanganmu, dan juga menghilang bersama dengan ciuman manis malam itu, semuanya tak ada lagi bersama cinta yang kumiliki untukmu.

Apa kau mau kuberitahu sebuah rahasia? Aku pernah mengatakan padamu sebelumnya, bahwa setiap saat aku bersamamu rasanya bagaikan mimpi. Sebenarnya, sejak pertemuan pertama kita, setiap detik yang kualami bagaikan sebuah mimpi yang indah. Rasanya bagaikan mimpi yang tidak mungkin saat tiba-tiba kau berkata kau mencintaiku. Aku sangat takut, aku sangat takut untuk terbangun. Takut bila semua mimpi indah ini harus menghilang bila aku membuka mataku. Tapi sekarang, sepertinya sudah saatnya aku terbangun dari mimpi yang indah ini.

JB, terima kasih karena telah memberiku sebuah mimpi yang tak pernah berani kuimpikan sebelumnya. Maafkan aku karena tidak bisa mengatakan padamu secara langsung. Karena setiap kali aku melihatmu, perasaan itu kembali datang. Perasaan yang sudah 8 tahun ini mencoba kulupakan. Tapi aku tak bisa, perasaanku padamu selamanya takkan pernah berubah.

Bagaikan Bintang Jatuh, kau melesat cepat dan menghilang di tengah kegelapan malam, sementara aku duduk di sini, di tengah kegelapan kamarku, menunggu rasa kantuk itu menyerangku dan perlahan kembali bermimpi indah, karena hanya dengan cara itulah aku bisa melihatmu tanpa perlu merasa bersalah. Hanya dalam mimpi semata.”

JB menggenggam surat itu dengan tangan gemetar, airmata mengalir pelan di wajahnya yang tampan. Surat itu adalah ungkapan hati Hye Sung selama ini, jawaban yang dia cari selama 8 tahun ini. Surat itu dimaksudkan untuk sampai ke tangannya setelah Hye Sung kembali ke Amerika.

“Shin Hye Sung, kau berhutang penjelasan padaku. Aku tidak akan membiarkanmu pergi ke manapun sebelum kau menjelaskan semuanya padaku,” JB bertekad, dia harus menemukan ‘kekasihnya’ dan meminta penjelasan langsung dari bibirnya.  

To be continued...

Kelanjutan  kisahnya bisa anda baca di :Shooting Star [Dream High 2 Fanfiction : JB GOT7]