Writing Competition : “Friendship Never Ends”
Senja Terakhir di Pantai Kuta
Seorang gadis muda berdiri menatap kosong hamparan laut di
hadapannya. Matanya menerawang menatap matahari senja yang baru saja tenggelam
ke peraduannya, Pantai Kuta, pantai matahari terbenam, begitu semua orang
menyebutnya, matahari senja di Pantai Kuta tampak begitu indah, Di Pantai Kuta,
malam datang agak terlambat. Cahaya merah bercampur kuning berkilauan dan debur
ombak yang berkejar-kejaran tampak bagai sebuah pertunjukan tanpa naskah. Pantai
pasir yang lembut dan sisa basah sapuan ombak tampak mengkilat seperti kaca.
Diatas pasir, gadis itu menulis sebuah nama. Enam huruf. Dia berharap angin
bisa menyampaikan padanya betapa dia merindukannya. Kini dan nanti. Tapi
berkali-kali gadis itu menulisnya, berkali-kali pula ombak menghempasnya.
Akhirnya dia hanya bisa pasrah dan kembali memandang kosong
kearah lautan yang perlahan menjadi gelap. Kicauan burung camar terdengar
bersahut-sahutan, angin malam mulai menghembus tubuh rampingnya yang hanya
terbalut sebuah cardigan tipis berwarna jingga, rambut panjangnya berkibaran
menerpa wajahnya karena hembusan angin malam yang dingin menerpa.
Samar-samar terdengar suara lembut alunan lagu
yang berasal dari arah ponselnya.
“Menatap lembayung di langit Bali dan kusadari betapa
berharga kenanganmu.”
Dengan enggan gadis itu meraih ponselnya dan menjawab lirih
“Hallo.” ujarnya tak bersemangat.
“Aku tahu.Aku akan segera kembali.” jawabnya pada si
penelepon seraya memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celananya.
“Tunggulah aku. Tak lama lagi, kita akan kembali bertemu.
Kau masih menungguku kan?” gumamnya seraya menatap langit Bali yang bertabur
bintang dengan berkaca-kaca seraya menyentuh dadanya dengan sebelah tangannya. Gadis
itu berbalik dan berniat pergi saat tiba-tiba tubuhnya jatuh tersungkur kearah
pasir dan jatuh berlutut, bercak merah darah memercik mengenai butiran pasir di
pantai itu.
“Aarrgghh.” erang gadis muda itu seraya memegangi
dadanya menahan sakit.
“Intan.” panggil seseorang seraya berlari mendekatinya dan
menatapnya cemas. Gadis itu hanya tersenyum menenangkan seraya berkata lirih
“Aku baik-baik saja. Kurasa Gilang tak sabar ingin segera bertemu denganku.”
jawabnya dengan mata berkaca-kaca.
“Bicara apa kau ini?” ujar gadis muda yang lain, jelas
terlihat dia berusaha menahan tangisnya.
“Masih ada harapan. Bukankah Dokter bilang kau masih bisa
disembuhkan?” ujar gadis itu memberi harapan. Tapi Intan hanya menggeleng
pelan.
“Sudah selesai. Waktuku sudah habis. Kemoterapi dan radiasi
sudah tak ada artinya lagi. Hanya cangkok sumsum tulang belakang yang bisa
menyelamatkan aku, tapi anak yatim piatu seperti kita tak punya keluarga,
darimana aku dapatkan cangkok sumsum itu? Aku sudah memenuhi janjiku pada
Gilang, sekarang saatnya aku melepaskan semuanya dan pergi dari dunia ini.”
jawab Intan seraya meraih saputangan dari saku celananya dan mengelap bibirnya
yang bersimbah darah.
“Aku tak suka kau bicara seperti itu. Kau bukan akan mati
besok pagi,” serunya marah, seraya membantu Intan berdiri.
“Jangan menangis Dini. Kau harus hidup tanpa menangis.”
hibur Intan tulus seraya mengusap airmata sahabatnya.
“Setelah aku tak ada, berjanjilah kau akan hidup demi dirimu
sendiri. Selama ini demi aku, kau tak pernah pikirkan dirimu sendiri, kau setia
merawatku, mendampingiku menjalani semua pengobatan ini, tanpa kau, mungkin aku
sudah menyerah sejak dulu. Terima kasih, teman. Aku beruntung bisa mengenalmu.”
jawab Intan tulus.
“Kau belum memenuhi janjimu pada Gilang. Kau bilang kau
tidak akan menyerah sebelum impianmu terwujud.” ujar Dini tak terima.
“Aku sudah penuhi janjiku. Apa kau tidak lihat bahwa semua
novelku ada di jajaran Best Seller?” jawab Intan seraya berjalan perlahan
dengan Dini memapahnya.
“Itu belum cukup, Tan.Hanya tiga yang sudah kau terbitkan.
Gilang ingin kau membuat lebih banyak.” ujar Dini berusaha menyemangati teman
baiknya.
“Gilang pasti mengerti. Aku sudah tak sanggup lagi. Selama
ini aku bertahan hanya demi memenuhi janjiku padanya, janji bahwa aku harus
mengejar impianku tidak peduli walaupun aku harus terjatuh berulang kali.”
jawab Intan dengan ekspresi sedih, seraya berjalan beriringan di sepanjang
Pantai Kuta, Bali.
========
“Menatap lembayung di langit Bali dan ku sadari betapa
berharga kenanganmu..Bilakah kuhentikan pasir waktu, tak terbangun dari khayal,
keajaiban ini, Mimpi.”
Terdengar suara alunan lembut Sarasdewi – Lembayung Bali. Lagu Favorit Gilang
saat dia masih hidup. Intan menarik napas dan kembali menatap kosong langit
malam, tanpa sadar kenangannya membawanya kembali ke masa-masa dimana Gilang
masih ada.
“Waktu. Andai aku bisa menghentikan pasir waktu, aku ingin
lebih lama bersamamu.” ujar Intan dalam hati.
Flashback.
“Kenapa kau tak pernah mengatakan padaku kalau kau mengidap
penyakit ini? Kenapa kau selalu menanggung semuanya sendiri?” Intan berseru
marah pada pria yang kini terbaring tak berdaya di hadapannya.
“Aku tidak apa-apa. Ini hanya Kanker Darah, bukan sesuatu
yang besar.” Jawab Gilang setengah bercanda.
“Hanya kanker darah? Apa kau pikir ini sesuatu yang lucu?
Kenapa kau begitu tenang?” Intan berteriak marah. Marah pada dirinya karena tak
mengetahui ini semua, marah pada takdir, marah pada hidup yang seolah tak
adil.
Mereka bertiga, Intan, Gilang dan Dini adalah teman baik
yang tumbuh bersama di Panti Asuhan. Selama ini mereka selalu bersama-sama
kemana-mana. Mereka sama-sama dibuang dan dicampakkan oleh orang tua kandung
mereka sejak masih bayi, dibesarkan di Panti Asuhan dengan segala kekurangan,
membuat mereka bertiga tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan selalu berjuang
meraih mimpi demi kehidupan yang lebih baik. Saat mereka sudah dewasa dan sudah
saatnya meninggalkan Panti Asuhan itu, mereka bekerja keras agar dapat bertahan
hidup. Tidak peduli sesulit apapun, mereka selalu saling membantu. Tahun lalu,
sebuah penyataan cinta dari Gilang pada Intan spontan mengubah hubungan
persahabatan mereka. Semuanya terasa indah pada awalnya, tapi ternyata takdir
tidak mengizinkan mereka bersama saat sebuah kenyataan pahit menghampiri
Gilang. Sebuah penyakit ganas diam-diam menggerogoti tubuhnya. Tak ingin
kekasihnya menjadi sedih, dia menyimpan semuanya sendiri, hingga pada akhirnya
dia tak sanggup lagi menyembunyikan semua ini.
“Aku tahu kau akan bereaksi seperti ini jika tahu yang
sebenarnya, itu sebabnya aku memilih tak mengatakan apa-apa. Jika aku tak ada
lagi disisimu, berjanjilah kau akan tetap hidup dengan baik. Tetaplah
mengejar mimpimu, tak peduli sesulit apapun itu.Aku tahu kau gadis yang kuat,
jadi kau pasti akan berhasil karena kau punya semangat.” Pesannya lirih.
“Aku tak bisa. Aku kuat karena kau ada bersamaku. Kau yang
selalu memberiku semangat. Kau yang selalu mendukungku saat aku jatuh, Kau
orang pertama yang selalu ada untuk menghiburku. Jika tak ada kau, aku tak tahu
apakah aku..” kata-kata Intan terhenti karena Gilang memotongnya lebih dulu.
“Intan, kau tak boleh menyerah dalam mengejar mimpimu. Tak
peduli walau harus berkali-kali terjatuh dan gagal, selama masih ada
kesempatan, kau harus tetap mencoba. Mengirim dan mengirim lagi, berulang-ulang
sampai dapat diterima. Itulah yang namanya impian. Harus dikejar dan terus
dikejar. Kau mengerti kan? Jangan menyerah Intan.” ujar Gilang memberi semangat
walau dia sudah terlihat sangat lemah.
“Tapi tanpamu...” lagi-lagi kalimat Intan terputus.
“Kau tahu apa yang kusukai darimu?” tanya Gilang sambil
tersenyum tulus. Intan menggeleng pelan, berusaha menahan airmatanya.
“Semangatmu itu.Itulah yang kusukai darimu. Aku sungguh
berharap kita berdua bisa meraih mimpi bersama. Kau dan aku, kita berdua, pasti
bisa membuat sebuah karya hebat dengan aku sebagai Sutradaranya dan kau penulis
skenarionya. Tapi sayangnya aku tak punya banyak waktu lagi, Jadi aku ingin,
kau menggantikan aku meraih mimpi itu. Jangan menyerah. Aku ingin kau bisa
mengembangkan bakatmu dan menghasilkan karya hebat. Aku akan selalu mengawasimu
dari Surga.” ujar Gilang tulus.
“Jangan bicara seperti itu. Kau bukan akan mati besok pagi.”
Ujar Intan sambil menangis.
“Minimal tiga Novel. Aku ingin kau bisa menerbitkan minimal
tiga novel. Aku tahu kau sangat ingin karyamu bisa dibaca dan disukai banyak
orang, jadi inilah saatnya. Berjuanglah! Jangan menyerah walau harus terjatuh
berulang kali. Bukankah kau pernah bilang padaku bahwa tak ada seorangpun yang
bisa mengajarimu untuk menyerah? Buktikan padaku! Teruslah maju dan kejarlah
mimpimu. Demi aku, demi dirimu, demi impian kita. Waktu, itulah yang tak
kumiliki sekarang.” ujar Gilang lagi, dengan mata berkaca-kaca.
“Gilang...” Intan bahkan tak sanggup bicara.
“Berjanjilah padaku, Intan. Atau aku takkan mau melihatmu
lagi.” Ujar Gilang dengan nada mengancam.
“Aku berjanji.” akhirnya dengan berat hati, Intan
menyanggupi permintaan terakhir Gilang.
Gilang tahu waktunya tak lama lagi, dia meminta Intan
menemaninya berlibur ke Pulau Bali. Pantai Kuta, adalah tempat terakhir mereka
berbagi kenangan indah. Bermain pasir bersama, melihat matahari terbit dan
terbenam, membangun istana pasir, memandang bintang dan membakar ikan di tepi pantai seraya
melihat ombak berkejar-kejaran di laut yang terhampar indah di hadapan mereka.
“Aku suka lagu ini.” Ujar Gilang saat mereka sedang
menikmati makan malam di sebuah restoran mewah malam itu. Makan malam terakhir
mereka.
“Lembayung Bali?” tanya Intan saat restoran itu memutar
Lembayung Bali-nya Sarasdewi.
“Menatap lembayung di langit Bali dan kusadari betapa
berharga kenanganmu... Hingga
masih bisa kurangkul kalian, sosok yang mengaliri cawan hidupku. Bilakah kita
menangis bersama, tegar melawan tempaan, semangatmu itu. Bukankah lagu ini sangat pas untuk situasi kita sekarang?”
ujar Gilang mengucapkan sebait lirik dari lagu itu. Intan mengangguk pilu.
“Karena kau dan Dini, aku tak merasa kesepian walau orang
tuaku sudah membuangku. Terima kasih untuk semuanya, khususnya kau, Permataku.
Aku mencintaimu.” ujar Gilang lembut.
“Aku juga mencintaimu. Terima kasih karena sudah
menyukaiku.” Ujar Intan sambil menghapus airmatanya.
“Kau ini cengeng sekali. Bagaimana bisa aku meninggalkanmu
sendiri?” Gilang menarik Intan dan memeluk serta membelai rambutnya lembut.
“Apa kau tahu kenapa aku suka dengan Batu Intan?” tanya
Gilang setelah pelukannya terlepas. Intan mengangguk pelan.
“Karena itu adalah namaku, benarkan?” jawab Intan bangga.
Gilang tersenyum mendengarnya.
“Ya dan tidak. Intan, nama lain dari Berlian adalah
batu permata yang terindah, termahal dan terkuat dimuka bumi. Intan dalam
bahasa Yunani artinya tak tertaklukkan,” ujar Gilang dengan berseri-seri
menjelaskan tentang batu favoritnya.
“Aku ingin kau
menjadi seperti namamu, tetap kuat, berjuang terus tanpa menyerah,” jawab Gilang, tetap memberi semangat di saat-saat terakhir
hidupnya. Intan hanya mampu meneteskan airmata tanpa bisa mengatakan
apa-apa.
“Selamat tinggal, Intan. Batu permataku yang paling indah,
kejarlah mimpimu dan jangan menyerah.” Ujar Gilang dalam hatinya. Dan seminggu
setelah kencan mereka di Pantai Kuta, Gilang menghembuskan napasnya yang
terakhir. Intan hampir
saja kehilangan semangat hidupnya andai saja dia tidak teringat janjinya pada
Gilang.
“Tetaplah hidup tanpa menangis, Intan. Kejarlah mimpimu dan
jangan menyerah. Gantikan aku meraih mimpi yang belum sempat kuwujudkan.” Itulah
pesan terakhir Gilang yang dijadikannya sebagai pegangan hidup.
End Of Flashback.
Sejak itu Intan tak menyerah. Berbagai kompetisi menulis dia
ikuti. Tak peduli walau harus gagal berkali-kali, hingga akhirnya setelah hampir
tujuh tahun mencoba, satu karyanya berhasil memenangkan Novel Fiksi terbaik.
Satu kesuksesan membawanya pada kesuksesan yang lain. Tiga Novelnya berhasil
menjadi Best Seller dan membuatnya meraih banyak sekali penghargaan. Bahkan
sebuah stasiun televisi swasta berniat mengangkat novelnya ke dalam film.
Royalti yang diterimanya cukup membuat hidupnya menjadi lebih baik. Secara
finansial, Intan tak perlu diragukan lagi, tapi semua itu tak membuatnya
bahagia. Hingga akhirnya sekitar setahun yang lalu, dia mengetahui bahwa dia
juga menderita penyakit yang dulu merenggut nyawa Gilang, cinta pertamanya.
Kemoterapi dan radiasi dia jalani, tapi semuanya tak kunjung membaik. Intan
merasa waktunya tak lama lagi.
“Jika seandainya aku pergi, aku ingin 70% royaltiku kau
sumbangkan pada Yayasan Kanker dan Panti Asuhan. Sisanya aku ingin kau gunakan
sebagai modal untuk meraih mimpimu. Bukankah kau ingin kuliah desain di luar
negeri dan menjadi desainer kelas dunia? Gunakan uangku untuk meraih mimpimu.
Dini, terima kasih banyak. Maaf, aku tak bisa menemanimu lagi. Gilang sudah
menungguku di sana.” tulis Intan di surat wasiatnya.
Dia merasakan sakit itu kembali menyerangnya, dengan napas
tersengal-sengal, Intan berjalan kearah balkon kamar hotelnya di Pantai Kuta,
untuk yang terakhir kalinya memandang lepas kearah langit malam yang bertabur
bintang.
“Andai ada satu cara, untuk kembali menatap agung suryamu.”
ujarnya dalam hati seraya memeluk foto Gilang didadanya, cairan merah
yang keluar dari hidung dan mulutnya menjadi penanda bahwa hidupnya takkan
lama. Dengan senyuman tersungging dibibirnya, Intan dudu dikursi balkon itu
seraya menatap kelangit malam yang bertabur bintang.
“Sudah selesai.” Batinnya seraya perlahan memejamkan
matanya. Tertidur untuk selamanya.
==========
“Terima kasih untuk semua sumbangan ini. Intan Permata
penulis yang hebat, sayang sekali dia harus meninggal di usia muda.
Kudengar dia adalah gadis yang baik dan penulis yang berbakat. Aku percaya dia
pasti bahagia bisa berada disisi Tuhan di Surga.” Ujar Dokter Kepala Yayasan
Kanker saat Dini menyerahkan uang sumbangan hasil royalti Intan pada Rumah
Sakit itu sesuai permintaan terakhir Intan.
Dini menghapus airmatanya dan mengucapkan “Sama-sama. Aku
senang bisa membantu. Temanku berharap bisa membantu semua anak-anak itu agar
mereka bisa hidup lebih lama dan mengejar mimpi mereka.” Ujarnya dengan airmata
menetes pelan. Beberapa hari ini dia sibuk membagikan sumbangan ke beberapa
Rumah Sakit Kanker dan Panti Asuhan untuk memenuhi wasiat terakhir Intan, walau
sulit melepas kepergian temannya, tapi dia tahu inilah yang terbaik untuknya.
“Gilang, Intan, sekarang kalian sudah bersama di Surga.
Kalian pasti sangat bahagia kan? Tunggulah aku. Akan tiba saatnya aku akan
menyusul kalian, dan selama menunggu saat itu tiba, aku akan berjuang meraih
impianku dan aku takkan pernah mengecewakanmu, sahabat. Aku takkan menyerah.
Selamat tinggal, teman terbaikku. Aku menyayangimu, Intan, Batu Permataku.”
Ujar Dini seraya berdiri menatap kosong hamparan laut di hadapannya dan merentangkan
tangannya ke arah lautan menaburkan abu Intan disana, lalu berjalan
meninggalkan Pantai Kuta seraya menggenggam sebuah buku di tangannya, karya
terakhir Intan.
Senja mulai muncul di Pantai Kuta, sore sudah menjelang dan
malam perlahan akan datang. Dari kejauhan gadis itu melihat beberapa orang
begitu asyik menyisir ombak-ombak dengan sebuah papan. Deru ombak seperti
orkestra yang menghentak-hentakan kenangan. Perasaan itu mulai muncul dan
membuatnya tak mampu merasakan apapun.
“Kita terlahir untuk mati. Jadi tak perlu bersedih lagi.
Semua impianmu bisa menjadi kenyataan bila kau memiliki kemauan untuk
mengejarnya. Segalanya akan menjadi mungkin bila kau percaya. Jadi, janganlah
menyerah!” Dini mengingat surat wasiat yang ditulis Intan untuknya, dalam hati
dia bersumpah tidak akan menyerah untuk mengejar impiannya, walau saat ini dia
harus melangkah sendirian.
==========
Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis
Cerpen dari Tiket.com dan Nulis Buku
#FriendshipNeverEnds #TiketBelitungGratis