Minggu, 28 Februari 2016

My Personal Angel : Chapter 3



Michael, Pemimpin Bala Tentara Surgawi yang biasanya hanya bertugas untuk memimpin tentara Surga berperang dengan pasukan Iblis, kini diutus Yang Maha Kuasa untuk turun ke bumi dan menyelesaikan sebuah misi. Akankah Michael sanggup menyelesaikan misi ini? Let’s check it out...

“My Personal Angel : Chapter 3”


“Meeting Her!”

“Apa yang sedang kau lakukan di sini?” tanya seorang pria berambut ikal keemasan pada temannya yang tampak asyik memperhatikan sesuatu di dalam cermin di hadapannya, cermin itu berukuran sangat besar, sebesar ukuran tubuhnya dan dari dalam cermin itu tampak sebuah pergerakan aneh, seperti sebuah video yang menampakkan adegan demi adegan.

“Apa yang terjadi dengannya? Ini tidak seperti Michael. Bagaimana bisa dia melakukan sesuatu yang ceroboh seperti ini? Gadis itu kini hampir mati karena kecerobohannya.” Ujar pria tampan yang satu lagi dengan cemas, memandang sesuatu dari dalam cermin besar itu.

“Apa kau sedang melihat Michael, Gabriel?” tanya pria berambut ikal keemasan itu seraya berjalan lebih mendekat. Pria tampan yang dipanggilnya Gabriel itu mengangguk singkat.

“Apa yang dilakukan Michael di sana? Kenapa dia hanya diam saja mengintip dari balik pilar penyangga? Dia harus segera bertindak dan memperbaiki kesalahannya kan? Dekati roh gadis itu dan lakukan sesuatu!” ujar pria berambut ikal keemasan itu tampak heran.

“Itulah yang kumaksud Raphael. Dia hanya diam saja dan melihat. Dia tampak...” Gabriel terdiam sejenak.
“Kebingungan.” Lanjut Raphael menyambung kalimatnya. Gabriel mengangguk singkat.

“Apa perlu kita turun dan membantunya? Michael tak familiar dengan tugas ini. Kitalah yang lebih sering berhubungan dengan manusia kan? Sedang dia hanya bertugas melawan Iblis, jadi kupikir wajar jika dia kebingungan seperti ini.” Sahut Raphael mengerti. Tapi Gabriel menggeleng mantap.

“TIDAK! Ini ujian untuknya. Tuhan pasti memiliki rencana khusus hingga mengirimnya turun ke bumi. Bagi kita tugas ini sederhana, tapi bagi Michael ini tugas yang sulit dan membingungkan. Tapi aku yakin Michael pasti melaksanakan tugasnya dengan baik.” Ujar Gabriel dengan penuh keyakinan pada kawannya.

“Bagaimana dengan Lucifer? Sementara Michael tak ada di sini, kita yang harus mengambil alih tugasnya sementara. Keselamatan Surga adalah tanggung jawab kita.” Ujar Gabriel sambil tetap menatap cermin kehidupan di hadapannya.

“Kudengar pasukan Iblis sedang mencari seorang wanita. Dia adalah pemegang kunci Neraka. Lucifer menginginkannya, jika sampai wanita ini jatuh ke tangan Lucifer dan Lucifer berhasil merebut kuncinya, maka...” Raphael terdiam sejenak membayangkan bencana apa yang akan terjadi jika hal itu sampai terjadi.

“Maka dia akan membebaskan sebagian pasukan Iblis yang dulu pernah dikalahkan Michael dan dikurungnya di jurang maut, lalu kemudian membentuk pasukan Iblis yang lebih kuat untuk menyerang kita, benarkan?” lanjut Gabriel, menebak.

“Jadi kita harus menemukan wanita itu sebelum Lucifer menemukannya, begitu kan seharusnya?” lanjut Gabriel lagi, kali ini dia memusatkan perhatiannya pada Raphael dan tak lagi memandang cermin. Raphael mengangguk singkat.

“We need Michael. Saat seperti ini seharusnya dia bersama kita untuk mencari solusi.” Ujar Raphael sedih, menatap temannya melalui cermin kehidupan itu.
“Seorang wanita? Tunggu! Mungkinkah...” sebuah ide tiba-tiba melintas di kepala Gabriel, dia menatap temannya dengan penuh rasa penasaran tapi masih tak berani menyuarakan apa yang ada di pikirannya.

Gabriel terdiam, berpikir. “Tentu. Michael, sang Malaikat Utama. Malaikat Kepercayaan Tuhan, Tangan Kanan Tuhan, mana mungkin Tuhan mengirimnya ke bumi untuk tujuan yang tidak jelas? Pasti Tuhan punya alasan. Mungkinkah...” Gabriel hanya terdiam sambil mengamati cermin kehidupan itu tanpa berani berpikir macam-macam lebih dulu. Dia akan menunggu. Menunggu hingga semuanya jelas. 

=====

“Maaf, Nyonya. Kami sudah berusaha tapi sepertinya putri Anda tidak memiliki semangat hidup lagi. Tubuhnya menolak semua pengobatan yang kami berikan. Semuanya sia-sia saja! Kami rasa hanya keajaiban dan cinta dari keluargalah yang bisa membantunya saat ini. Pasien yang dalam keadaan koma, masih bisa mendengar apa yang kita katakan, katakan padanya bahwa kalian masih menginginkannya untuk sembuh dan ada bersama kalian, katakan padanya betapa kalian menyayanginya, mungkin itu bisa membantu.” Ujar seorang pria setengah baya yang memakai jubah putih itu. Seorang wanita tua menangis tak berdaya di samping tubuh putri semata wayangnya yang kini terbaring lemah di ranjang. Semakin tak berdaya saat mendengar bahwa semua dokter sudah menyerah.

“Berapa yang kalian inginkan? Aku akan membayarnya! Asalkan kalian bisa menyelamatkan nyawa putriku, berapa pun akan kuberikan!” ujarnya sambil menangis histeris, wanita tua itu bangkit dari kursinya dan mengarahkan tangannya ke depan, meraba-raba keberadaan dokter itu.

“Aahh...” ujarnya saat tak sengaja dia tersandung kursi yang tadi didudukinya.
“Bibi, hati-hati!” ujar seorang gadis berambut merah dengan lembut, tapi itu semua palsu. Kebaikannya ternyata palsu yang sayangnya tak ada seorangpun yang menyadari hal itu. Dia segera memapah wanita tua yang buta itu dan membawanya ke arah Dokter itu.

Dokter itu menyambut tangan wanita tua itu dan berkata lembut “Maaf, Nyonya. Ini bukan soal uang, tapi kemauan untuk hidup dari sang pasien sendiri.” Jawab Dokter itu lembut, sambil menepuk-nepuk pundak wanita tua itu menenangkannya.

“Tidak! Putriku gadis yang baik. Kenapa harus begini? Tak lama lagi dia akan menikah, kenapa ini bisa terjadi? Lily, bangunlah sayang. Jangan tinggalkan Ibu sendirian di dunia ini.” Wanita itu kembali menangis tersedu di bahu gadis berambut merah itu.

“Bibi tidak sendiri. Bibi masih punya aku kan? Aku bisa menggantikan Lily menjadi putri Bibi.” Bujuk si gadis rambut merah dengan keramahan yang dibuat-buat.

“Bagus. Matilah kau, Lily. Setelah itu aku akan menikahi tunanganmu dan menjadi anak dari Ibumu. Sempurna! Aku akan mengambil alih semua harta kekayaanmu. Ini sangat menyenangkan.” Batin si gadis rambut merah seraya menatap culas seorang gadis berambut pirang yang kini terbaring koma di ranjang dengan berbagai selang di tubuhnya.

“Nyonya, sebaiknya Anda pulang dan istirahat sebentar. Baru setelah itu, anda akan memiliki tenaga untuk menemani putri anda.” Usul Dokter itu dengan sabar seraya memberi tanda pada si gadis rambut merah.

“Benar Bibi. Lebih baik kita pulang dulu. Jika Bibi sakit, Lily pasti akan sedih.” Bujuknya sok manis. Dalam diam wanita tua buta itu mengangguk pelan dan menurut saja saat si gadis rambut merah itu memapahnya keluar kamar.

“Kau gadis yang baik, Crystal. Beruntung sekali putriku memiliki sahabat sepertimu.” Ujar wanita tua itu berterima kasih tanpa dia tahu yang sebenarnya terjadi.

“Gadis yang baik? Jangan buat aku tertawa, Ibu! Semua kebaikannya palsu. DIA PENIPU!” batin sesosok tubuh transparan dengan marah bercampur sedih dalam hatinya.

Sesosok tubuh bergaun putih itu menatap wanita tua dan gadis berambut merah itu dengan airmata menetes pelan. Tak percaya dia bisa mendengar dan melihat sendiri bagaimana sahabatnya, orang yang sangat dia percaya ternyata menyimpan kebencian yang sangat dalam di hatinya. Dia tak mempercayai kebodohannya selama bertahun-tahun yang telah berhasil ditipu mentah-mentah oleh Crystal, sahabat yang sudah dianggapnya sebagai saudara. Tatapannya beralih ke arah tubuhnya sendiri yang kini terbaring lemah, dia kembali menangis.

“Aku tak pernah membayangkan ternyata selama ini aku begitu dibenci. Kupikir semua orang mencintaiku, mereka semua bersikap baik di depanku. Tak kusangka semua itu palsu. Hanya demi uangku, hanya demi kekayaanku, mereka berpura-pura manis di depanku. Lily, jadi seperti inikah hidupmu selama ini? Kau begitu menyedihkan. Kau gadis bodoh yang menyedihkan! Tak ada seorangpun yang mencintaimu, apa kau sadar itu?” makinya pada dirinya sendiri yang kini terbaring lemah.

Perlahan dia berjalan ke arah jendela kamarnya, ingin menenangkan pikirannya yang sedang kalut saat tiba-tiba dia melihat seorang pria muda berwajah tampan dengan berpakaian serba putih menatap lembut ke arahnya.

Gadis itu tersentak. Menatap ke arahnya? Dia hanya memandang pria tampan itu dengan terkejut. Lalu kembali menoleh pada tubuh fisiknya yang sedang berbaring lemah di ranjang.

“Apa benar dia sedang menatapku? Tapi bagaimana bisa? Tak ada seorangpun yang bisa melihatku sekarang.” Batinnya tak mengerti. Dia kembali menatap pria tampan di luar sana, seseorang yang berdiri menatap ke arahnya dari bawah jendela.

Pria muda itu hanya menatapnya dalam diam. Lily tersentak, pria itu benar-benar bisa melihatnya, tanpa sadar Lily tersenyum manis padanya. Pada seorang pria berkostum putih yang tak dikenalnya, seorang pria yang menatapnya tanpa ekspesi, tanpa senyuman tapi tatapan matanya memancarkan kesedihan dan penyesalan.

Dia baru saja akan melambaikan tangannya pada pria muda itu saat tiba-tiba pintu kembali terbuka dan Crystal berjalan masuk dengan kesal “Gara-gara wanita tua buta itu aku sampai melupakan tasku. Sial! Kenapa dia tidak mati saja mengikuti putrinya?” ujar Crystal kesal lalu segera meraih tasnya dan berjalan keluar.

Perhatian Lily spontan beralih pada mantan sahabatnya yang berjalan pergi dengan tergesa-gesa, dan setelah dia kembali menoleh ke bawah jendela, pria muda tampan itu sudah menghilang.

To Be Continued...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar