Minggu, 14 Februari 2016

The Bloody Valentine (TORO & Margaret Wang Fanfiction Special Valentine)



Author : Liliana Tan 
Cast : 
Margaret Wang as Herself 
TORO as Alvan (Himself)

Note : Terinspirasi dari “Fear Street”

The Bloody Valentine
( TORO & Margaret Wang Fanfiction Special Valentine)


 

 

 

 

 


Mereka mengatakan terjadi sesuatu yang mengerikan hari itu, tapi aku tak ingat apa pun, bahkan hal yang paling kecil sekalipun. Mereka mengatakan suatu hari nanti, aku akan bisa mengingat dengan sendirinya, tapi seseorang ingin aku bisa mengingat sekarang juga. Dia terus menerus mengirimiku surat ancaman yang berisi sajak kematian. Siapa pengirimnya dan kenapa harus aku yang menerimanya?

 =========

“Merah itu Mawar, Putih itu Melati. 
Di Hari Valentine, kau pun akan mati.”

Lagi, surat ancaman yang ditulis dengan darah diletakkan dalam lokerku hari ini, tepat di samping surat ancaman itu tergeletak setangkai bunga Mawar Merah. Aku meraih surat ancaman itu dengan kesal lalu membuangnya ke tempat sampah lengkap dengan setangkai bunga mawar merahnya.

“Inilah yang membuatku benci dengan bunga,” umpatku kesal. 

“Apa salah bunga itu padamu?” tanya seorang pria muda yang tiba-tiba muncul di belakangku. Aku terlonjak kaget dan spontan kujatuhkan buku-buku yang sedari tadi berada dalam pelukanku, membuatnya berserakan ke lantai dengan suara berdebam keras.

“Alvan, kau ini manusia atau hantu? Tidak bisakah kau berjalan dengan sedikit bersuara?” seruku kesal pada teman sekelasku seraya berlutut untuk memungut semua buku-buku itu. Dia ikut berlutut dan membantuku memungutinya.

“Maaf bila aku mengagetkanmu. Tapi aku sudah memanggilmu sebanyak tiga kali hanya saja kau tidak mendengarnya. Kau hanya berdiri menatap kosong lokermu dan menghiraukan panggilanku,” ujarnya dengan raut wajah menyesal.

“Oh, begitu? Kalau begitu aku yang salah,” ujarku meminta maaf lalu meraih buku-buku itu di tangannya. 
“Tidak apa-apa. Tapi kalau boleh aku tahu, kenapa kau membenci bunga? Kupikir hampir semua gadis menyukai bunga kan? Apalagi tak lama lagi Hari Valentine akan tiba...” ujarnya mengambang. Aku menatapnya dengan bingung.

“Memang kenapa dengan Valentine?” tanyaku tak mengerti. 
“Maksudku, Valentine identik dengan coklat dan bunga,benarkan? Tapi ternyata kau tak suka bunga, jadi...” lagi, kalimatnya terputus begitu saja. Kutatap dia dengan bingung, aku sama sekali tak mengerti apa maksud ucapannya.

“Lalu apa hubungannya itu denganku? Aku tak suka bunga karena aku punya alasan,” jawabku padanya, lalu berlutut di samping tong sampah yang terletak tak jauh dariku lalu mulai mengambil kembali surat ancaman beserta setangkai bunga Mawar Merah yang tadi telah kulempar ke dalam sana.

“Aku membenci bunga karena ini,” ujarku seraya menyerahkan surat ancaman itu beserta setangkai Mawar Merah pada Alvan. Dia meraih kedua benda itu dan ekspresinya berubah aneh.

“Ini konyol sekali. Surat ancaman? Yang benar saja? Siapa yang iseng mengirim surat ini padamu?” ujar Alvan dengan ekspresi mencibir.

“Menurutmu ini hanya lelucon?” tanyaku skeptis. 
“Tentu. Semua orang tahu kau gadis yang baik. Kau pintar, cantik, ramah, kau selalu membantu orang lain, semua orang menyukaimu, Margaret. Mana mungkin ada orang yang membencimu lalu mengirimkan surat bodoh ini padamu? Kurasa pengirim surat ini hanyalah pengagum rahasiamu yang hanya ingin mendapatkan perhatianmu,” ujarnya lagi dengan yakin lalu kembali melempar surat dan bunga itu ke tempat sampah.

“Tapi ini bukan yang pertama. Sebelumnya juga pernah ada surat ancaman yang serupa. Dan bersama dengan surat itu selalu ada setangkai Mawar Merah. Bukan hanya itu, surat ancaman dan bunga itu selalu diletakkan di tempat yang menurutku orang lain tak mungkin bisa memasukkannya,” ujarku bingung.

“Oh iya, di mana misalnya?” tanya Alvan, mulai tertarik. 
“Di dalam loker dan sebelumnya di dalam laci asramaku,” jawabku bingung. 

“Kau tahu sendiri jika asrama wanita sangat tertutup, selain penghuni asrama ini, orang lain tak bisa masuk. Lagipula di dalam kamar, mana mungkin bisa?” lanjutku dengan berbisik lirih, takut ada seseorang yang menguping pembicaraan kami.

“Bagaimana dengan teman sekamarmu?” tanya Alvan curiga. 
“Itu tidak mungkin!” ujarku membantah. 
“Kenapa tidak?” Alvan masih menaruh curiga pada teman sekamarku.


“Karena dia sedang terkena Typus saat ini. Dua minggu yang lalu dia positif didiagnosa menderita penyakit Typus oleh Dokter Asrama yang mengharuskannya dirawat selama sebulan penuh di Rumah Sakit. Kemarin aku baru saja menjenguknya di sebuah Rumah Sakit di daerah Kaohshiung. Itu sangat jauh dari Taipei, lagipula dia terlihat sangat pucat saat Debora dan aku menjenguknya kemarin. Dokter bilang virus itu masih menyerangnya. Dia sangat lemah dan tak mungkin sanggup berdiri tanpa kursi roda. Jadi tak mungkin hari ini dia kemari dan meletakkan surat ancaman,” bantahku, yakin itu bukan perbuatan teman sekamarku. 

"Dan lagi, surat ancaman yang pertama itu baru kuterima tak lama setelah dia dipindahkan ke Rumah Sakit,” lanjutku lagi.

“Apa isi surat ancaman yang pertama?” tanya Alvan penasaran. 
“Harum Mawar Merebak, harum Melati membusuk. 
Di Hari Valentine, kau pun mulai membusuk,” ujarku dengan raut wajah sedikit ngeri.

“Valentine? Bukankah itu seminggu lagi?” ekspresi Alvan mulai terlihat ngeri. 

“Kenapa kau jadi terlihat cemas? Bukankah kau bilang mungkin ini hanya lelucon?” tanyaku mulai bingung. Tadi dia terlihat sangat yakin jika ini semua hanya lelucon konyol yang dikarang oleh pengagum rahasiaku, tapi sekarang dia mulai tampak ketakutan.

“Laporkan ini pada polisi!” usulnya dengan wajah serius. 
“Yeah right! Dan Polisipun hanya akan menganggap ini lelucon sepertimu tadi,” jawabku cuek lalu menutup pintu lokerku dan berjalan pergi. 
“Tapi aku serius! Kau harus mulai berhati-hati!” ujar Alvan memperingatkan. 
“Tapi aku harus berhati-hati terhadap apa?” tanyaku tak mengerti. 
“Entahlah. Aku juga tidak tahu,” Alvan menelengkan kepalanya bingung.

“Alvan benar. Tak ada salahnya kau waspada, Margaret,” ujar seorang gadis muda seusiaku dengan rambut coklat berombak dan bola mata besar dan berwarna hitam pekat berjalan mendekat ke arahku dengan membawa banyak buku dalam pelukannya.

“Debora?” ujarku kaget dengan kemunculannya yang tiba-tiba. 

“Maaf. Aku tidak bermaksud menguping pembicaraan kalian. Tapi karena ini berhubungan dengan keselamatanmu jadi aku merasa aku perlu mendengarkan,” ujarnya tampak takut, ekspresi bersalah tergambar di wajahnya yang pemalu.

“Tidak apa-apa. Cepat atau lambat, aku pasti menceritakannya padamu, hanya saja kemunculanmu yang tiba-tiba sangat mengagetkan aku. Kupikir kau...” kalimatku terpotong oleh ucapannya yang lirih.

“Pembunuh itu?” serunya lirih, menatap tajam ke arahku. Entah kenapa tatapan matanya membuat hatiku berdesir takut.

“Benar. Kau berjalan tanpa suara, jadi kupikir...” lagi, dia memotong ucapanku. 
“Kau sungguh lucu! Mana mungkin pembunuh itu menampakkan dirinya sekarang? Bukankah kau bilang di surat ancaman itu dia menuliskan harinya?” potong Debora, tampak misterius. 
“Valentine Day...Bukan sekarang!” ujarnya menekankan.

“Tapi setidaknya benar apa kata Alvan, kalau mulai sekarang sebaiknya kau waspada,” lanjutnya lagi seraya berjalan mendekat dan memasukkan buku-buku dalam pelukannya ke dalam lokernya sendiri yang berada lima kotak di samping lokerku.

“Waspada pada siapa?” tanyaku pada mereka berdua. 
“Mungkin semuanya. Semua orang yang kau temui, semua orang yang kau kenal, atau bahkan mungkin kau juga perlu waspada pada bayanganmu sendiri,” jawab Debora pelan dan dalam.
“Omong kosong. Untuk apa aku harus berhati-hati pada bayanganku sendiri?” ujarku menertawakannya.
“Karena bayanganmu sekalipun, terkadang bisa menipumu,” jawabnya lagi dengan nada rendah. 

“Aku hanya tak mau terjadi sesuatu yang buruk padamu, sahabatku. Kita sudah bersahabat sejak kecil kan? Aku tak mau sesuatu yang buruk terjadi padamu. Karena hanya kau sekarang satu-satunya yang kumiliki,” ujarnya seraya memelukku erat. Aku merasakan setetes air jatuh di pundakku saat dia memelukku.

“Aku akan baik-baik saja. Jangan menangis, Debora!” ujarku menenangkannya. 
“Aku tak mau kau mati seperti dia. Aku tak mau sekali lagi kehilangan seseorang yang kusayang,” ujarnya mulai terisak. Aku menepuk-nepuk pundaknya sayang dan berjanji padanya aku akan menjaga diriku baik-baik.

“Sudahlah. Anggap saja kau tidak mendengar apa pun, Sekarang kita pulang!” ajakku pada Debora dan Alvan.

Malam itu, aku berusaha mengenyahkan semua pikiran negatif tentang surat ancaman bodoh itu dan fokus pada tugas kuliahku. Hidup jauh dari keluarga bukanlah hal yang mudah. Tinggal di asrama yang besar dan kosong seperti ini juga hal yang tidak mudah untukku. Jika ada seorang teman yang menemaniku di kamar ini mungkin aku takkan merasa cemas seperti ini, tapi sekarang aku hanya sendiri. Mengingat ada seseorang yang kemungkinan mengawasiku, membuatku tidak bisa tenang melakukan apa pun.

PRANNNGGGG... Baru saja aku akan mulai membuka laptopku dan mengerjakan PR-ku saat tiba-tiba seseorang melempari kaca jendela kamar asramaku, membuatku tersentak keras. Spontan aku berlari ke arah jendela dan melihat siapa pelakunya, tapi di tengah kegelapan malam ini, hanya rambut panjangnya yang kulihat.

“Wanita? Aku yakin dia wanita,” ujarku saat melihat sosok yang kucurigai sebagai seseorang yang melempari kamarku berlari ke arah hutan di belakang asrama wanita. Rasa penasaran membuatku ingin mengejarnya, tapi saat aku berbalik, aku tak sengaja menginjak batu berukuran sedang yang tadi dilemparnya.

“Owww...” ujarku yang hampir saja tersandung karena batu itu. Aku berlutut dan memungut batu berukuran sedang yang dibungkus kertas putih itu. Dengan penasaran, aku membuka secara perlahan kertas putih itu hanya untuk melihat sajak kematian lain tertulis di sana.

“Valentine kali ini tiada kenangan tentangmu.
Satu-satunya karangan bunga hanya ada di pusaramu.”

Itulah bunyi surat ancaman yang membungkus batu berukuran sedang itu. Aku mencium bau anyir darah saat aku memegang kertas itu. Surat ancaman itu benar-benar ditulis dengan darah. Perasaan ngeri mulai menjalari seluruh tubuhku. Tiga ancaman. Ini pasti bukan perbuatan orang iseng kan? Saat sedang dalam kebingungan, aku mendengar suara jeritan seseorang dari luar kamarku. Spontan aku berlari keluar kamar untuk mencari sumber suara, hanya untuk melihat Debora berdiri mematung di depan pintu asrama dan memandang mayat seorang gadis muda yang tewas menggantung dirinya di salah satu pohon yang ada di depan pintu masuk asrama. Tak hanya aku, semua penghuni asrama ini juga berbondong-bondong berlari keluar untuk melihat apa yang terjadi.

“Debora, ada apa? Apa yang terjadi?” tanyaku saat tiba di sana. 
“Aku ingin ke kamarmu saat tak sengaja aku melihatnya sudah seperti itu. Aku takut sekali. Ini mengerikan,” ujar Debora seraya menangis di pundakku dan aku mengelus-elus rambutnya dengan sayang, mencoba menenangkannya.
“Aku akan lapor polisi.” Ujarku lalu segera menelpon polisi untuk melaporkan apa yang terjadi di asrama kami.

“Aaargggghhh...Ini menakutkan! Bukankah dia Liu Yi Fei, Ratu Pesta Dansa Musim Panas tahun lalu? Kenapa dia gantung diri?” ujar seorang gadis lain seraya menutup matanya ngeri.

“Dia bukan gantung diri! Ini pembunuhan!” ujar yang lainnya, seorang gadis muda yang muncul dari arah belakang dan berjalan menerobos kerumunan mahasiswi yang melihat peristiwa itu.
“Dari mana kau tahu?” tanyaku penasaran. 

“Dia menceritakan padaku bahwa selama beberapa hari ini ada orang iseng yang selalu mengiriminya pesan kematian. Awalnya dia menganggap itu hanya lelucon belaka, tapi lama kelamaan ini menjadi tidak lucu lagi. Sekitar satu jam yang lalu, dia menjerit histeris saat menemukan surat ancaman itu ada di dalam tasnya. Dia menuduhku melakukannya. Tapi aku bersumpah aku tidak bersalah,” ujar gadis muda itu, Ma Jian yang ternyata adalah teman sekamar gadis yang gantung diri itu.

“Lalu?” tanya gadis lain penasaran. 
“Lalu tak lama kemudian, seseorang melempari jendela kami dengan surat ancaman yang kedua. Barulah dia percaya bukan aku pelakunya. Aku sudah melarangnya untuk pergi, tapi dia tetap nekad ingin mencari tahu siapa orang itu. Itulah terakhir kali aku bertemu dengannya,” ujar Ma Jian menceritakan apa yang dialami teman sekamarnya.

“Bukan hanya dia. Aku juga mendapat surat ancaman yang serupa. Dilempar melalui jendela kamarku sebelum pelakunya, atau sosok yang kuduga sebagai pelakunya melarikan diri ke arah hutan. Dia seorang wanita,” ujarku seraya menyodorkan kertas putih yang sudah lecek itu pada Ma Jian yang temannya tewas gantung diri itu.

“Bagaimana kau bisa begitu yakin?” tanya yang lain. 
“Aku melihat rambut panjang berkibar di punggungnya saat dia berlari masuk ke dalam hutan,” jawabku yakin.
“Tidak bisakah kita hentikan semua ini hingga polisi datang? Aku takut sekali!” ujar Debora seraya menangis terisak.

“Ya Tuhan, apa yang terjadi padanya? Ini mengerikan sekali. Anak-anak, cepat masuk ke kamar kalian dan jangan bukakan pintu untuk siapapun malam ini,” ujar salah seorang Dosen di Fakultas kami yang memang ditugaskan untuk tinggal di asrama ini dan menjaga anak-anak didiknya. Ibu Lee meminta kami semua masuk ke dalam kamar dan dia serta beberapa penjaga asrama akan menunggu polisi di sini.

“Bolehkah aku tidur di kamarmu, Margaret?” Tanya Debora dengan wajah pucat ketakutan. Aku baru saja akan menjawab saat Ibu Lee berkata, “Tidak. Kau tinggal saja bersama Ibu. Bukankah kau orang pertama yang melihat kejadiannya? Ibu yakin polisi akan membutuhkan keteranganmu sebagai saksi,” jawab Ibu Lee melarang.

“Tapi aku takut sekali,” ujar Debora dengan tubuh gemetar. 
“Tidak perlu takut, Ada banyak dosen dan penjaga asrama yang akan menemanimu. Margaret, kau kembali ke kamarmu sekarang dan tutup pintu serta jendela rapat-rapat,” perintah Ibu Lee dengan wajah tak bisa dibantah.

“Baik,” jawabku lirih dan patuh. 
“Tapi jika Ibu membutuhkanmu soal surat ancaman yang kau terima itu, Ibu akan memanggilmu,” ujarnya lagi. 

“Baik,” jawabku lirih lalu berbalik pergi.
“Ini aneh. Harusnya di Hari Valentine,” bisik teman sekamar gadis yang bunuh diri itu. 
“Apanya yang di hari Valentine?” Tanya seorang gadis lain.

“Menurut surat ancaman, pembunuh itu akan beraksi di hari Valentine. Tapi sekarang belum hari Valentine kan? Masih tersisa beberapa hari lagi. Kenapa dia mengubah rencananya? Dan apa motifnya? Apa ada di antara kalian yang mendapatkan surat ancaman itu selain Margaret dan Liu Yi Feii?” Tanya gadis itu pada kami semua.

“Aku juga mendapatkan surat itu. Itu sebabnya aku sudah mengemasi barang-barangku dan berencana pergi dari sini besok pagi,” ujar seorang gadis berambut ombak sebahu dengan wajah takut.

“Kau juga, Michelle Chen?” tanyaku kaget. Dia gadis yang pendiam dan tertutup, tak banyak bergaul, lalu kenapa dia juga mendapat surat ancaman itu. Beribu pertanyaan campur aduk dalam benakku.

“Dia bilang dia akan membunuhku di Hari Valentine. Aku sudah muak. Aku hampir gila dengan surat ancaman yang tak ada habisnya. Cukup sudah. Aku akan minta ayahku menjemputku besok pagi. Aku tak mau kuliah lagi di sini. Aku harus pergi sebelum mati konyol seperti Yi Fei,” ujarnya lalu berlari ke kamarnya diikuti oleh teman sekamarnya.

“Kenapa kau begitu tenang? Bukankah kau juga mendapatkan surat ancaman yang sama? Atau jangan-jangan kaulah pelakunya tapi karena ingin menciptakan alibi, jadi kau mengirimkan surat itu untuk dirimu sendiri?” sindir gadis itu, Ma Jian, teman sekamar gadis yang gantung diri itu.
“Ma Jian, apa ada orang gila yang akan mengirimi dirinya sendiri surat ancaman?” tanyaku tak kalah sinis lalu melangkah pergi ke kamarku sendiri.


=====

Flashback… 
“Kau?” ujar seorang gadis berwajah cantik oriental dan berambut panjang pada seseorang di hadapannya. Dia tampak terengah-engah saat mengejar sosok itu yang tampak tenang walau tertangkap basah sedang melakukan kejahatan.

“Hallo Liu Yi Fei. Besar juga nyalimu mengikutiku hingga kemari,” ujarnya tenang walau Yi Fei memergokinya baru saja membunuh seorang penjaga asrama di dalam sebuah gudang tua yang tak jauh dari area hutan di belakang kampus. Penjaga asrama itu adalah seorang wanita paruh baya yang dikenal sangat ramah dan bertanggung jawab, semua orang menyukainya tapi kini dia terbaring tak berdaya dengan tubuh berkubang darah setelah sosok itu menggorok lehernya.

“Aku mengikutimu tak lama setelah kau melempari jendela kami. Aku ingin tahu apa alasannya. Aku tak pernah mengganggumu kan? Kenapa kau mengirimiku surat ancaman itu?” Tanya Liu Yi Fei histeris, seolah tak takut sama sekali.

“Karena aku benci melihatnya memandangmu dengan tatapan mata penuh damba. Aku benci setiap wanita di mana dia pernah mendaratkan matanya. Kau salah satunya!” jawab sosok itu dengan kesal.

“Aku bahkan tak mengerti siapa dia yang kau maksud,” bantah Liu Yi Fei. 
“Tentu. Kau takkan mengerti karena kau adalah Ratu Pesta Dansa yang memiliki begitu banyak pria yang memujamu. Aku benci gadis sombong sepertimu. Aku benci gadis sempurna, Kenapa bisa ada orang-orang yang begitu sempurna, cantik, pintar, popular seperti kalian? Sementara ada orang lain yang bahkan tak pernah dianggap oleh orang lain? Hidup ini tidak adil, benarkan?” teriak sosok itu kesal.

“Dia bukan gadis. Tidak cantik, tidak populer dan tidak pintar, kenapa kau membunuhnya?” Tanya Liu Yi Fei menuding penjaga asrama yang sudah tak bernyawa.

“Karena dia memergokiku mengirim surat ancaman itu. Dia mengancamku akan melaporkanku ke polisi, jadi aku tak punya pilihan lain selain menutup mulutnya,” jawab sosok itu dengan dingin seraya mengacungkan pisaunya dan berjalan ke arah Liu Yi Fei dengan perlahan.

“Kau sudah gila! Aku tak mau bermain-main lagi denganmu,” ujar Yi Fei ketakutan lalu berlari ke arah pintu tapi sebelum sempat dia sampai di depan pintu, pintu itu sudah terbanting menutup dengan keras.

BRAAKKKK…Terdengar suara pintu terbanting menutup dengan keras lalu tak lama kemudian Yi Fei merasakan tubuhnya mulai terangkat ke udara.

“LEPASKAN AKU! TOLONG!” teriaknya keras tapi saying tak ada seorangpun yang mendengarnya karena lokasi gudang tua itu yang jauh dari area asrama kampus.

“Berteriaklah! Percuma saja karena kau tak ada seorangpun yang akan mendengarmu,” jawab si penyerang dengan sinis seraya memutar-mutar tubuh Liu Yi Fei ke udara dengan kekuatan tangannya.

“Apa yang kau lakukan? Kenapa bisa seperti ini?” Tanya gadis cantik itu ketakutan seraya menatap sosok itu yang sedang mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan anehnya tubuh Liu Yi Fei bergerak sesuai dengan arahan tangannya.

“TELEKINESIS. Aku suka kekuatan ini. Dan dengan aku memiliki kekuatan ini, jangan pikir kau bisa lari dariku, Ratu Pesta Dansa. Ucapkan selamat tinggal pada gelarmu itu selamanya,” ujar sosok itu dingin seraya melempar tubuh Liu Yi Fei keras ke arah dinding di sampingnya dengan keras.

“AARRGGGGHHH…” terdengar jeritan Liu Yi Fei untuk yang terakhir kalinya sebelum tubuhnya jatuh ke tanah dengan leher terlebih dulu menghantam tanah menimbulkan bunyi “Crak” yang keras, tanda bahwa kehernya telah patah.

“Harusnya aku akan membunuhmu di Hari Valentine. Kau dan mereka semua. Tapi sayangnya kau harus lebih dulu mendahului semua orang. Sekarang, aku akan membuat semua orang mengira kau mati karena gantung diri. Uuuh…Lehermu pasti sakit, benar kan?” ujar sosok itu sinis lalu mulai mengambil tali tambang dan mulai mengalungkannya di leher Liu Yi Fei yang sudah tak bernyawa dan menyeretnya ke arah pohon yang ada di depan asrama. Menggantungnya dengan hati-hati di sana dan menimbulkan kesan bahwa gadis cantik itu sengaja bunuh diri.

End Of Flashback...

Margaret Wang POV : 
Aku  bermimpi menggambar sebuah rumah. Buku sketsaku bersandar di dinding putih dan sementara aku memandangi kertasnya yang putih, tanganku dengan mantap bergerak perlahan. Kugambar satu garis perak lalu sebuah rumah. Rumah kecil di tepi pantai yang hancur berkeping-keping tanpa sebab.Aku ingat tampak sebuah warna merah merembes pada kertas saat aku menggambar rumah. Basah dan berkilat, warna merah tua itu melebar hingga ke seluruh kertas,di atas gambar rumah mungil di tepi pantai yang hancur berantakan. Kertas itu berdarah, melebar hingga menutupi kertas. Dan aku terbangun dari mimpi, bangun dan menjerit. Tapi kenapa aku menjerit? Aku tidak ingat, benar-benar tidak ingat.

“Ternyata di malam yang sama saat Liu Yi Fei ditemukan gantung diri, penjaga asrama kita, Nyonya Zhang juga ditemukan tewas terbunuh. Menurutmu siapa pelakunya? Dua pembunuhan dalam satu malam, ini benar-benar gila!” ujar Debora padaku tapi aku sama sekali tidak menaruh perhatian pada kata-katanya.

“Hei, kau ini kenapa? Apa dari tadi kau tidak mendengarkan aku?” tanya Debora yang duduk disampingku seraya menepuk pundakku.
“Apa?” tanyaku kaget. 

”Kau sedang memikirkan mimpi aneh itu lagi? Atau memikirkan  pengirim surat ancaman itu? Apa menurutmu mereka orang yang sama? Aku tahu kau ketakutan karena besok adalah tanggal 14 Februari kan? Hari Valentine akan tiba. Tapi apa menurutmu, pembunuh itu akan berani melakukan aksinya bila polisi ada di mana di kampus ini?” tanyanya seraya menyeruput kopinya sambil tersenyum.

“Entahlah. Hanya tinggal sehari lagi sebelum tanggal yang dijanjikan pengirim sajak itu.Bohong jika aku bilang aku tidak takut,” ujarku lirih.

Itulah aku, Margaret Wang. Seorang gadis malang yang kehilangan sebagian ingatannya dan baru-baru ini terus saja mendapatkan surat ancaman dari seseorang yang tidak kuketahui. Aku punya rambut hitam yang panjang dan lurus,tinggiku rata-rata dan berat badanku sekitar 50 kg, cukup ideal untuk anak kuliah.

“Lupakan soal surat ancaman dan tragedy ini, apa kau sudah dengar soal turnament menulis tahun ini? Tahun lalu kau juaranya kan? Mereka bilang pemenangnya akan mendapat hadiah beasiswa kuliah S2 di Harvard University jurusan seni. Apa kau tidak ingin ikut?” tanya Debora lagi, berusaha menghiburku.

“Apa temanya kali ini?” tanyaku ingin tahu, mencoba mengalihkan pikiranku dari semua masalah ini. 
“Kehidupan kedua,” jawabnya lagi.

”Andai saja kehidupan kedua itu memang ada, aku berharap aku bisa mendapatkan kehidupan sepertimu.Kau kaya, berbakat, kau bisa melukis dan menulis, cantik, pintar, punya orang tua lengkap yang menyayangimu,kau punya Alvan, kau juga..” kupotong kalimatnya.

“Debora, STOP! Aku tahu kau berpikir aku punya kehidupan yang sempurna, tapi…” kali ini dia yang memotong kalimatku.

“Tidak. Aku tidak pernah berpikir seperti itu.Hidupmu tidak sesempurna yang kau kira,” jawabnya,mendadak suaranya menjadi berat dan dingin dan ekspresinya jadi sulit terbaca. 

“Apa maksudmu?” tanyaku bingung. 
”Tidak. Lupakan saja!” jawabnya salah tingkah lalu kembali menyeruput kopinya. 

“Benar. Lupakan saja! Atau mungkin selain melupakan, pergi adalah satu-satunya jalan yang tersisa sekarang. Mungkin sebaiknya aku pergi dari sini untuk sementara untuk menghindari terjadinya tragedy. Sama seperti Michelle Chen. Lebih baik pergi daripada harus mati konyol kan?” ujarku lagi seraya memasukkan spageti ke mulutku.

“APA? Michelle Chen pergi? Tapi kenapa? Bukankah dia adalah kandidat calon Ratu Pesta Dansa Musim Panas tahun ini?” mendadak Debora tampak tertarik.

“Karena dia juga mendapatkan surat ancaman itu. Semalam dia mengatakan dia akan akan pergi sebelum pembunuh itu menghabisi nyawanya. Aku tidak tahu dia sudah pergi atau belum,” jawabku menjelaskan pada Debora tentang apa yang kudengar semalam. 

“Apa dia pikir dengan dia pergi dari sini, pembunuh itu takkan menemukannya? JIka memang dia ditakdirkan untuk mati, maka sejauh apa pun dia pergi, dia takkan bisa menghindari kematiannya,” ujarnya pelan dan dingin. Mendadak ekspresinya berubah aneh.

“Debora, kenapa kalimatmu terdengar begitu mengerikan?” tanyaku bingung, sedikit merasakan aura ketegangan dari nada suaranya yang berubah aneh.

“Bukan apa-apa. Aku baru ingat ada tugas yang belum kuselesaikan, jadi sku harus pergi. Sampai jumpa nanti,” jawabnya lalu bergegas meninggalkan aku dengan segala pertanyaan dalam hatiku.

“Dan soal lukisan rumah pantai itu, lupakan saja okay? Hanya sebuah lukisan rumah yang tak artinya, tak perlu terlalu kau pikirkan. Semuanya sudah berlalu. Bukankah kau sudah melupakan semua yang terjadi setahun yang lalu?” tambahnya sebelum meraih ranselnya dan berlari pergi.

Aku sangat bingung dengan apa yang dia katakan.Apa dia sedang membicarakan peristiwa setahun yang lalu? Apa yang terjadi musim semi tahun lalu? Kenapa aku tidak ingat apa pun? Bahkan hal yang paling kecil sekalipun. Ingatanku tentang Valentine tahun lalu kabur semua, rasanya seperti melihat pantulan samar di air keruh kolam yang dalam.Aku bisa melihat riak-riak air tapi aku tidak pasti tentang wajah atau kejadian yang tampak disitu. Apa yang terjadi minggu itu? Hari itu? Kenapa aku tidak bisa mengingat peristiwa itu?

Teman-temanku tidak seperti dulu, kadang kulihat Alvan memandangiku, seolah membaca pikiranku. Alvan yang baik,dia selalu ada di sisiku saat aku butuh bantuan.

Siang itu, aku baru saja akan kembali ke asrama saat aku melihat kerumunan massa berdiri mengelilingi sesuatu seraya berbisik-bisik ketakutan. Penasaran, akupun menuju lokasi yang sama.

“Ada apa?” tanyaku pada salah seorang mahasiwi yang berdiri di sana. 

“Michelle Chen, kandidat Calon Ratu Pesta Dansa Musim Pansa tahun ini ditemukan tewas terjatuh dari atap gedung Fakultas tempat dia belajar. Ini sungguh mengerikan! Kenapa dia harus bunuh diri dan melompat dari sana?” jawab gadis itu dengan ekspresi ketakutan. Aku shock mendengarnya. Bukankah Michelle Chen berniat untuk pergi pagi ini? Tapi belum sempat dia melaksanakan niatnya, pembunuh itu sudah menghabisinya lebih dulu. Sungguh ironis. Aku bergerak maju sedikit hanya untuk menyaksikan tubuhnya jatuh tertelungkup di tanah yang keras, dia bagaikan berenang dalam kubangan darah.

“Bukankah baru semalam dia mengaku mendapat surat ancaman? Apa mungkin Michelle bukan bunuh diri melainkan ada orang yang mendorongnya?” Tanya salah seorang mahasiswa lain di belakangku.

“Siapapun yang mendapat surat ancaman itu sebaiknya dia berhati-hati karena sepertinya pembunuh itu tidak main-main,” jawab seseorang di sebelahnya.

“Debora benar, jIka memang dia ditakdirkan untuk mati, maka sejauh apa pun dia pergi, dia takkan bisa menghindari kematiannya,” ujarku dalam hati, ngeri. Tak sanggup mendengar berbagai spekulasi tentang surat ancaman yang membuatku hamper gila, aku memutuskan untuk kembali ke asrama.

Begitu sampai di kamar asrama, aku mulai mengambil buku sketsaku dan melukis. Aku ingin melukis seraut wajah. Wajahku. Aku mulai dengan mata. Tapi aneh,tanganku bergerak dengan cepat seolah-olah menggambar sendiri tanpa aku, seolah-olah dituntun tangan yang tidak kelihatan. Aku tidak tahu berapa lama aku menggambar. Setelah selesai, kuletakkan sketsaku dan kupandangi gambar itu. Wajah seorang pria, bukan pria yang kukenal. Aku membuang kertas itu dan mulai menggambar lagi, tapi berapa kalipun aku menggambar, aku tetap menggambar wajah pria itu.

Tanganku baru berhenti menggambar saat kudengar seseorang melempari kaca jendelaku dan kulihat secarik kertas terbungkus pada sebuah batu yang bertuliskan : 

“Tak perlu kau cari si Penulis Sajak. 
Nantikan Hari Valentine saat kau lenyap tanpa jejak.”

Lagi, surat ancaman untuk yang kesekian kalinya, dilempar dari jendela, sama seperti malam itu.Hanya saja bedanya, kali ini dibalik surat ancaman itu ada sketsa wajah pria yang baru saja kulukis.

“Ancaman lagi? Cukup sudah. Aku harus tahu apa yang terjadi sebenarnya. Alvan pasti tahu sesuatu. Siapa pria ini dan kenapa aku melukis wajahnya. Aku yakin pengirim surat ancaman ini mengenal pria dalam lukisan ini. Jika tidak, kenapa begitu kebetulan dia mengirimiku surat ancaman dengan sketsa pria ini di baliknya? Ini pasti saling berhubungan,” tekadku dalam hati. Aku ingin menelpon Alvan untuk mengajaknya bertemu besok pagi tapi ponselku lebih dulu berdering.

“Aku ingin menemuimu besok pagi. Aku ingin mengajakmu pergi meninggalkan tempat ini. Besok Hari Valentine. Aku takut pembunuh itu akan benar-benar melaksanakan ancamannya,” ujarnya di ponselku.

“Baik. Aku juga ingin bertemu denganmu,” jawabku di telepon.

Esoknya, dia menemuiku di depan pintu asrama dan menggandengku dengan cepat ke sebuah kafe yang jauh dari wilayah kampus. Di kafe ini tampak banyak muda mudi yang bergandengan tangan atau duduk berdampingan seraya mengucapkan Happy Valentine dan menyerahkan kotak berisi coklat atau sebuket bunga pada kekasih mereka. Mereka tampak bahagia, tapi tidak denganku. Hari ini adalah hari kematianku. Pengirim surat itu selalu mengatakan bahwa Hari Valentine adalah hari terakhir hidupku.

Bahkan pagi ini saat aku membuka pintu kamarku telah ada sebuket Mawar Merah dan sebuah surat ancaman diletakkan di sana.

“Selamat Hari Valentine… Bagaimana kau ingin mati hari ini? Menenggak racun? Dengan pisau? Atau perlu aku mendorongmu dari atap? Aku baik kan memberimu pilihan,”

Tak ada lagi sajak kematian, seolah pembunuh itu siapapun dia akan benar-benar melaksanakan ancamannya hari ini. Dengan kesal aku meraih sebuket mawar merah beserta surat ancamannya dan kutunjukkan pada Alvan.

“Kau pasti tahu soal pria dalam lukisanku ini kan? Kenapa aku terus saja menggambar wajahnya walau aku merasa aku tidak mengenalnya?” tanyaku pada Alvan, mendesaknya.

“Untuk apa kau ingin tahu?” Tanya Alvan, raut wajahnya tampak tak suka. 
“Karena ini ada hubungannya dengan surat ancaman yang terus kuterima, Alvan,” jawabku stress. 
“LIHAT INI! Surat ancaman yang kudapat kemarin malam juga terdapat sketsa wajah pria ini dibaliknya. Aku perlu tahu apa maksud semua ini,” teriakku frustasi.

“Sekarang saatnya! Hari ini Hari Valentine kan? Pembunuh itu akan beraksi di Hari Valentine kan? Aku akan mati hari ini jika aku tidak mengetahui siapa pengirim surat ancaman ini,” lanjutku frustasi.

“Pria dalam lukisan itu…kau mengenalnya, Margaret.Lebih dari kenal,” jawab Alvan singkat. 
“Apa maksudmu?” tanyaku bingung.
“Tanya saja pada Debora. Kurasa dia lebih tahu jawabannya,” jawabnya lagi, membuatku semakin bingung.
“Apa Debora yang…” tanyaku tak yakin. 
“Aku tak tahu soal pengirim surat ancaman itu, aku hanya tahu jika Debora bisa memberikanmu jawaban lebih banyak bila menyangkut pria muda dalam lukisan itu,” jawab Alvan padaku.

“Baiklah. Aku hanya tahu jika pengirim surat itu pasti tahu tentang pria dalam lukisan itu, dan jika aku tahu siapa pria itu, aku pasti tahu siapa pengirim surat itu dan kenapa dia menginginkan kematianku, karena aku yakin, semua ini pasti berhubungan satu sama lain,” ujarku lalu berlari pergi dari kafe itu secepat kilat.

“Margaret…” panggil Alvan mencoba menghentikanku. 
“Aku harus berpacu dengan waktu. Menemukan si pembunuh sebelum pembunuh itu menemukanku!” ujarku seraya menghempaskan genggaman tangannya dan berlari memanggil taksi.

Di tengah kebingunganku,aku memutuskan mencari Debora di asrama, tapi teman sekamarnya mengatakan bahwa dia tak ada di sana sejak pagi, juga tak ada jadwal kuliah hari ini. Akhirnya aku memutuskan untuk mencari Debora ke rumah bibinya, hanya untuk mendengar jika Debora ada di pantai yang tak jauh dari pemukiman mereka.

Aku berlari ke pantai tempat Debora dan aku biasa bermain dan kulihat dia di sana, berdiri memandangi laut dengan pandangan kosong.

“Debora..” panggilku pelan. 
”Hari Valentine. Sekarang tepat setahun dia pergi. Apa kau ingat yang terjadi hari itu? Dia pergi meninggalkan aku selamanya tepat di hari Valentine,” tanyanya tanpa menoleh sedikitpun.

“Apa maksudmu? Aku datang kemari karena ingin bertanya soal lukisan ini?” jawabku bingung. Sesaat dia menoleh lalu memandang sketsa lukisan yang kuangkat di depan wajahnya.Dia tersenyum tipis.

”Apa kau ingat bagaimana wajah tampannya menjadi sangat jelek saat kulit wajahnya terkelupas?” tanyanya dengan sinis.

“Apa?” aku mendadak menjadi takut. 
“Kau tahu kenapa kau melukisnya? Itu karena kaulah yang membunuhnya!” ujarnya dalam dengan tatapan mata marah. 

”Membunuhnya? TIDAK! Bagaimana caranya?” tanyaku tak percaya seraya menggelengkan kepalaku kuat-kuat. 
“Kau pantas mati! Aku ingin kau menemaninya di Neraka. Aku tidak rela kau hidup dengan bahagia, melupakan segalanya, sementara pria yang kucintai harus terkubur dalam tanah!” raungnya marah.

“TIDAK! Debora, kau ini kenapa? Aku tak mengenal pria itu. Itu sebabnya aku bertanya padamu. Bagaimana bisa aku membunuh seseorang yang tidak kukenal? Itu tidak mungkin! Bagaimana aku bisa membunuhnya?” tanyaku bingung, aku benar-benar tak ingat pernah mengenal pria itu.

“Dengan kekuatanmu. Dengan telekinesis. Kau robohkan rumah pantai itu dengan kekuatanmu, kau ingat?” jawabnya dingin.

“Setahun yang lalu. Tepat di Hari Valentine! Kau membunuh kakakku tersayang. Di Hari Valentine, di hari yang mereka bilang sebagai Hari Kasih Sayang, aku justru kehilangan orang yang paling aku sayang, dan itu semua gara-gara kau!” ujarnya dingin dan penuh kemarahan. 

Aku terdiam dan mencoba mengingat, saat mendadak sebuah kenangan tentang sebuah mungil di tepi pantai yang hancur berantakan muncul dalam otakku. Rumah itu roboh, bagaikan terkena tsunami, hancur begitu saja, rata dengan tanah. Dan aku melihat diriku sendiri mengangkat tangan ke depan dan mengacungkannya pada rumah pantai yang mungil itu, yang kini rata dengan tanah. Aku juga teringat dengan mimpiku tentang rumah mungil di tepi pantai yang hancur berantakan dengan warna merah merembes pada kertas saat aku menggambar rumah.

"Aku ingat sekarang. Aku terus menggambar rumah dan seraut wajah karena aku yang membunuhnya,” ujarku ketakutan. Airmata meluncur dari mataku yang sembab. Aku masih masih tak percaya aku melakukannya, tapi kemudian kenangan lain melintas.

“TIDAK! Bukan aku yang membunuhnya. Kau yang menyuruhku melakukannya. Kau yang menantangku. Kau yang bersalah. BUKAN AKU!” aku berteriak keras. Aku ingat dalam kenangan yang tampak samar itu, Debora berdiri di sampingku dan menantangku untuk merobohkan rumah pantai itu dengan kekuatan Telekinesisku. Aku balik menuduhnya, tapi dia hanya tertawa ringan.

“Ya. Kau benar! Aku yang merobohkan rumah pantai itu. Aku yang merobohkannya sendirian. Kekuatan kecilmu bahkan hampir tidak bisa memeyokkan rumah itu. Kau memang payah!” dia berkata dengan airmata turun dari sudut matanya, tapi bibirnya tersenyum bahagia.

“Tapi kenapa? Kenapa kau ingin merobohkan rumah pantai itu? Kenapa kau ingin membunuh kakakmu?” tanyaku tak percaya.

“Aku tidak ingin membunuhnya. Aku justru sangat mencintainya. Shu Wei bukan kakakku. Dia anak tiri bibiku. Aku mencintainya tapi dia justru takut padaku pada kekuatanku.Aku cemburu melihatnya bersama wanita lain, itu sebabnya aku ingin mereka mati. Dia dan Idy Chan, kekasihnya, wanita murahan itu. Tapi aku merasa aku tidak sanggup merobohkannya sendirian, aku butuh bantuanmu.Tapi aku sadar kau tidak berguna. Dan kini aku menyesal telah membunuhnya,” ujarnya dingin.

“Liu Yi Fei dan Michelle Chen adalah gadis-gadis yang pernah dia sukai. Aku benci melihatnya memandang kedua wanita itu dengan tatapan mata penuh nafsu. Rasanya aku ingin sekali mencongkel kedua mata itu. Kenapa aku bukan gadis cantik? Kenapa aku tidak sepintar kau atau mereka? Kenapa aku bukan gadis popular? Kenapa aku tak punya bakat? Kenapa aku bukan Ratu Pesta Dansa? Jika aku cantik, pintar dan popular, Shu Wei pasti akan mencintaiku dan dia tak perlu mati! Aku tak rela melihatnya bersama wanita lain. Lebih baik dia mati di tanganku. Jika aku tidak bisa memilikinya, maka orang lain pun tak bisa!” ujarnya marah.

“Kau gila, Debora! Kupikir kau sahabatku!” ujarku muak. Aku tak menyangka orang yang sudah kuanggap sahabat ternyata seorang pembunuh berdarah dingin.

“Aku yang menghapus ingatanmu. Aku takut jika kau ingat sesuatu, kau akan melaporkan aku ke polisi atau aku akan berakhir di rumah rehabilitasi sebagai kelinci percobaan. Aku tidak mau itu terjadi. Aku tidak ingin menghabiskan masa mudaku sebagai buronan polisi. Itu sebabnya aku belajar menghipnotismu. Aku ingin kau melupakan semuanya. Tapi kenapa kau malah mengingatnya?” teriaknya marah.

“Surat ancaman itu kau yang mengirimnya?” tanyaku ragu. 

“Benar. Aku ingin kau tersiksa dalam ketakutan. Aku ingin kau tahu bahwa kau punya masa lalu yang gelap. Aku iri padamu karena kau memiliki semua yang aku inginkan. Kenapa kau harus memiliki segalanya sementara aku tidak memiliki apa-apa? Kau cantik, pintar, berbakat, baik hati, semua orang menyukaimu, kau bahkan bisa mendapat nilai A tanpa perlu belajar keras, dalam berbagai hal aku tidak bisa menyaingimu. Bukankah dunia ini sangat tidak adil? Aku membencimu! Aku hanya ingin kau tersiksa,tapi aku tidak berharap kau ingat semuanya. Kenapa kau harus melukis wajah Shu Wei? Kenapa?” jeritnya frustasi seraya mengangkat kedua tanganku dan aku merasakan tubuhku melayang berputar-putar.

Aku merasa bagai mati. Aku tidak menyangka kalau Debora juga memiliki kekuatan itu.TELEKINESIS. Kekuatan itu tidak indah. Dengan kekuatan itu aku hampir membunuh orang.Debora memaksaku masuk ke rumah pantai ini. Tapi aku berusaha mengelak, aku melontarkan kekuatanku ke arahnya dan kudengar tamparan keras.

Debora jatuh seraya memegangi pipinya.”Apa itu?” tanyanya. 
”Tamparan yang layak kau terima,” jawabku.

Dia meraung murka, dia mengangkat tangannya ke atas, membuatku melayang dari lantai rumah, membuatku tergantung di atap, dia ternyata sangat kuat.  Telekinesisku jauh di bawahnya. Kekuatanku sama sekali tidak ada apa-apanya. Dia lebih hebat dari dugaanku semula. Butuh kekuatan yang besar untuk bisa mengalahkannya. Aku berusaha melepaskan diri dengan sisa kekuatanku.

“Hari Valentine. Sekarang saatnya kau pergi menemui Shu Wei!” ujarnya dingin dan dengan tatapaan marah. Dia kembali mengangkat tangannya dan membuat seisi barang di rumah mungil itu beterbangan ke arahku. Aku berusaha menghalanginya dengan kekuatanku sendiri dan kudengar sebuah kursi patah saat tak sengaja aku melemparnya kembali ke arahnya.

“Usaha bagus!” ejeknya. 
“TIDAK !!” jeritku saat dia melemparkan semua yang ada di sekitarnya padaku. Kaleng, botol, kursi membanjir keluar bagai hujan tembakan tapi aku tidak merasakan apa-apa kecuali lemparan botol pertama. Saat itulah Alvan muncul, Aku tidak tahu dari mana dia tahu kami ada di sini. Mungkin Bibi Debora yang memberitahukan hal ini. Kedatangan Alvan membuat Debora terkejut. Lemparannya meleset mengenai lilin yang ada di sekitar kami.

Lalu seisi ruangan terbakar, menimbulkan lidah-lidah api yang menyala, menyambar keempat dinding rumah itu. Alvan mendorongku keluar seraya berkata, “Aku mencintaimu. Sejak pertama kali kita bertemu. Tapi aku tahu kau hanya menganggapku teman biasa. Jadi biarkan aku berkorban untukmu,” ujarnya seraya mendorongku keluar.

“TIDAK! ALVAN!” teriakku sambil menangis, tapi api semakin besar dan aku mendengar jerit kesakitan  Debora saat dia terbakar hidup-hidup di sana. Valentine. Sekali lagi semuanya terjadi di Hari Valentine.


=======

“Nona, tak pernah ada kebakaran itu,” ujar seorang pria muda padaku. 

“Tapi rumah pantai itu terbakar. Debora dan Alvan terjebak di dalammya. Aku mendengar suara Debora yang berteriak kesakitan saat tubuhnya terbakar hidup-hidup,” jawabku, menjelaskan semua yang kulihat hari itu pada dua orang pria yang mengenakan seragam putih yang menatapku dengan heran secara bergiliran.

“Kudengar kau seorang penulis novel kan? Kurasa kau terlalu tenggelam dalam novel yang kau tulis hingga tak bisa membedakan antara fiksi dan nyata,” ujar salah satunya. 

"Lalu bagaimana dengan surat ancaman itu? Aku melihat Liu Yi Fei tewas tergantung, Michelle Chen tewas terjatuh dari atap gedung Fakultas tempat dia belajar. Lalu Shu Wei dan Idy Chan, mereka berdua tewas karena tertimpa rumah pantai yang hancur berantakan karena kekuatan Debora," ujarku bersikeras.

"Kami dengar penulis novel memang kebanyakan seperti itu. Karena terlalu tenggelam dalam kisah fiksi yang mereka buat, terkadang mereka sulit membedakan antara fiksi dan nyata," lagi, pria menyebalkan itu tetap bersikeras pada pendapatnya dan tidak mau mengalah.

“Benar. Kami takut kau hanya sedang berhalusinasi selama ini. Liu Yi Fei, Michelle Chen dan Idy Chan masih hidup di luar sana. Dan Zhang Shu Wei yang kau sebut itu, kami tak tahu siapa dia,” lanjut yang satunya, membuatku semakin kesal.

“Jadi kalian menganggapku gila begitu?” ujarku tampak tak senang. 
“Bukan. Kau hanya memiliki halusinasi yang berlebihan,” kilah yang satunya. 

“Halusinasi? Jadi kalian menganggap selama setahun ini aku hanya berhalusinasi?” ujarku, membantah sekali lagi, Aku menyandarkan tubuhku dengan kesal ke kursi kayu yang keras seraya mengacak-acak rambutku frustasi.

“Pak Polisi, biarkan aku bicara dengan putriku sebentar. Bisakah?” ujar seorang wanita paruh baya dengan sabar seraya mengintip dari balik pintu. Kedua polisi itu saling pandang lalu menganggukkan kepalanya sebelum akhirnya melangkah keluar ruangan dan membiarkan Ibuku menghampiriku.

“Mereka tak percaya padaku, Ibu,” ujarku frustasi. 

“Ibu tahu. Apa pun yang kau katakan, mereka takkan percaya. Tak ada kebakaran, Margaret. Tak ada rumah pantai yang hancur berantakan seperti yang kau ceritakan. Lupakan semua kisah ini dan mulailah hidup baru. Jika kau mau melupakan masalah ini dan setuju jika ini semua hanyalah khayalanmu semata, maka Ibu dan Ayah bisa menyelesaikan masalah ini dan membawamu keluar,” ujar Ibuku dengan lembut seraya membelai rambutku sayang.

“Tapi itu bukan khayalanku semata, Ibu. Aku benar-benar mengalaminya,” bantahku sekali lagi. 

“Baiklah. Kalau begitu anggap saja kau harus berbohong demi kebaikanmu sendiri. Berbohong agar kau bisa pergi dari sini. Lihat, Margaret! Tak lama lagi Hari Valentine akan tiba, apa kau tidak ingin merayakan Hari Kasih Sayang di luar sana bersama Ayah dan Ibu dan juga semua orang yang menyayangimu?” bujuk Ibu padamu. 

Aku terdiam dan berpikir. Ibu benar. Apa pun yang kukatakan toh mereka tak percaya. Baiklah. Aku juga lelah terkurung di Rumah Sakit Jiwa ini. Aku ingin  bebas. Aku tidak gila. Tapi mereka mengurungku karena mereka tidak percaya apa yang kukatakan. Kadang kala kenyataan bisa menjadi kebohongan begitu juga sebaliknya. Tahu bahwa Ibu benar, akhirnya aku menuruti apa yang dia sarankan. Dan tak lama setelah aku mengakui bahwa mungkin selama ini aku hanya berhalusinasi semata karena terlalu tenggelam dalam kisah fiksi yang kubuat, akhirnya mereka pun melepaskan aku.

“Andai saja kau lakukan ini sejak awal dan tidak berkeras bahwa apa yang kau lihat adalah benar, kau pasti sudah menghirup udara kebebesan ini sejak lama,” ujar Ayah saat menjemputku dari Pusat Rehabilitasi Mental tempat di mana aku terkurung selama setahun ini.

“Untuk merayakan kebebasanmu dan juga merayakan Hari Valentine ini, Ayah akan mengajak kalian semua makans iang bersama. Tapi Ayah juga mengundang rekan bisnis Ayah beserta istri dan putra mereka. Kalian tidak keberatan kan?” tanya Ayah seraya melirikku dari kaca spion yang ada di deskboard.

“Terserah Ayah saja. Tapi apa Ayah tidak malu jika rekan bisnis Ayah mengetahui bahwa Ayah memiliki seorang putri yang baru saja bebas dari Pusat Rehabilitasi Mental?” jawabku malas. 

“Ayolah, sayang. Kau tidak gila. Kau hanya terlalu gemar menulis fiksi dan terlalu tenggelam dalam kisah yang kau tulis hingga tak bisa membedakan antara fiksi dan nyata,” jawab Ayah santai, entah memuji atau menyindirku. Malas berdebat, akupun hanya terdiam hingga kami bertiga di sebuah restoran kelas atas di mana rekan bisnis Ayah sudah menunggu.

Ayah tampak semangat menyambut rekan bisnisnya. Seorang pria jangkung berkepala botak dan berkacamata kecil, dia mengenakan setelan jas yang sangat rapi dan dari senyumnya, dia terlihat seperti seorang pria yang ramah. Istrinya seorang wanita paruh baya bertubuh ramping dengan tinggi sedang dan rambut ikal berwarna coklat, dia mengenakan dress panjang berwarna merah dengan topi lebar di kepalanya berwarna merah muda yang senada dengan tasnya. Kurasa wanita itu ingin ikut merayakan euforia Valentine hari ini yang umumnya identik dengan warna pink dan merah. Sepasang suami istri itu tersenyum melihat kedatangan kami dan dengan ramah segera berdiri dari kursi mereka untuk menyalami kami bertiga.

“Apa kabar Paman dan Bibi? Namaku Margaret Wang Yu Jie, senang bertemu dengan kalian,” ujarku ramah seraya menyambut uluran tangan mereka.

“Cantik sekali putrimu, Tuan Wang. Kudengar kau seorang penulis yang berbakat,” puji wanita itu. 
“Benar. Begitu berbakatnya hingga tak bisa membedakan antara fiksi dan nyata,” jawabku sarkas. 
“Margaret...” potong Ibuku seraya melirikku tajam. 
“Anak-anak memang seperti itu,” ujar Ibuku sambil tersenyum manis dan mempersilakan kami semua duduk.

“Margaret sayang, apa kau belum memiliki pacar? Bukankah sekarang Hari Valentine? Apa tidak apa-apa jika kau menemani kami di sini sementara seharusnya kau berkencan dengan kekasihmu di hari yang istimewa ini?” tanya wanita itu lagi.
“Dia belum memiliki kekasih,” jawab Ibuku sambil tersenyum manis ke arahku. 

Mendengar kata “kekasih”, hatiku mendadak perih. Aku teringat ucapan Alvan sebelum dia melemparku keluar dari rumah pantai itu dan terbakar hidup-hidup di dalamnya.
“Aku mencintaimu,” ujarnya saat itu.

“Alvan, jangan bilang kau juga bagian dari halusinasiku. Tapi kenapa aku merasa semuanya seperti nyata? Surat ancaman itu, kehadiranmu, pembunuhan berantai di kampus, juga Valentine Berdarah. Aku menolak mengakui jika itu hanya khayalanku semata,” ujarku sedih, setetes air mendadak menetes dari mataku saat mengingat Alvan.

“Sayang, kau ingin memesan apa?” tanya Ayahku, sukses membuyarkan lamunanku. Ayah menyodorkan daftar menu padaku dan entah sejak kapan di depanku sudah berdiri waitress yang sudah siap melayani kami. Aku mengambil daftar menu itu dengan enggan dan membalik halaman demi halaman, hingga mataku tertuju pada menu minuman Favorite Alvan.

Aku tersenyum pedih dan berkata, “Ice Charamel Macchiato,” ujarku dan seorang pria bersamaan. 
DEG. Jantungku berhenti sesaat ketika suara yang begitu kukenal tiba-tiba terdengar di telingaku. Antara percaya atau tidak, perlahan aku memalingkan kepalaku dan melihat ke arah seorang pria muda yang berdiri di belakangku, di mana sumber suara itu berasal. Dia di sana. Wajah yang sama, suara yang sama, model rambut yang sama dan senyuman yang sama, membuatku merasa Alvan benar-benar nyata. Aku spontan berdiri dari kursiku dan berlari memeluknya penuh kerinduan.

“Alvan, aku tahu kau nyata. Aku tahu kau bukan bagian dari halusinasiku seperti yang mereka katakan. Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu. Aku mencintaimu,” ujarku seraya menangis terisak di dadanya saat aku memeluknya erat. Kurasakan tubuhnya membatu sesaat tapi kemudian perlahan dia mengangkat kedua lengannya dan membalas pelukanku erat.

“Terima kasih. Aku sama sekali tidak menyangka jika di Hari Valentine ini, aku justru mendapatkan pengakuan cinta dari seorang gadis cantik. Sekarang aku baru percaya bahwa cinta pada pandangan pertama itu ada,” ujarnya lembut di telingaku.

DEG. Cinta pada pandangan pertama? Kalimat itu membuatku benar-benar bingung. Perlahan aku melepaskan pelukanku dan menatapnya bingung.

“Ini bukan pertama kalinya kita bertemu. Kenapa kau bilang Cinta Pada Pandangan Pertama?” tuntutku bingung. Tapi dia hanya memandangku tanpa ekspresi, membuatku sadar bahwa dia bukan Alvan yang kukenal.

“Kurasa aku salah mengenali orang,” ujarku lesu lalu kembali duduk. 
“Sayang, darimana kau tahu bahwa namanya Alvan?” tanya Ibuku bingung. 
“Karena dia juga muncul dalam halusinasiku, Ibu. Alvan Kuo, pria yang kucintai,” jawabku sedih. 
“Benar. Namaku Alvan Kuo. Dan kalau boleh jujur, sebenarnya aku juga merasa sepertinya kita pernah bertemu,” jawabnya ramah seraya mengambil tempat di sampingku. Aku terdiam bingung.

“Paman, Bibi, bolehkah aku meminjam Margaret sebentar?” pintanya pada Ayah dan Ibuku. Aku memandangnya terkejut, bukankah dia belum bertanya siapa namaku? 

“Alvan, dari mana kau tahu namanya Margaret? Kami bahkan belum mengenalkannya padamu?” tanya Ibunya tak kalah bingung.

“Entahlah. Saat melihatnya tadi, entah kenapa alam bawah sadarku langsung mengetahui siapa namanya, seperti sebelumnya kami sudah saling mengenal. Ini aneh kan?” ujarnya sambil tertawa canggung dan menunjukkan lesung pipitnya.

“Bagaimana Paman?” pintanya lagi. 
“Biarkan saja mereka. Bukankah sekarang hari Valentine?” ujar Ayah Alvan, membantu memintakan ijin untuk putranya. 

“Karena sepertinya kau sangat menyukai putriku, baiklah, kau boleh meminjamnya. Tapi kau harus menjaganya baik-baik,” ujar Ayahku memberinya ijin. 

“Terima kasih Paman, terima kasih ayah. Kami mohon pamit dulu,” ujar Alvan lalu segera menarik tanganku ikut dengannya. Aku benar-benar bingung hingga tak mampu menolak ajakannya.

“Happy Valentine. Kuharap setelah ini takkan ada lagi tragedi di Hari Valentine,” ujarnya tiba-tiba saat kami berjalan-jalan di sebuah taman yang penuh warna-warni bunga. 

“APA?” tanyaku terkejut. 
“Di sana ada kursi.” Ujarnya lalu menggandeng tanganku ikut dengannya.
“Apa maksud ucapanmu dengan tragedi?” tanyaku setelah kami duduk di salah satu kursi kayu di tengah taman.

“Aku melihatmu dalam mimpiku. Mimpi yang sama selama setahun ini. Awalnya semua bagaikan mimpi buruk. Kau mendapat surat ancaman, pembunuhan berantai di asrama kampus, lalu kebakaran di rumah pantai. Dan semuanya terjadi di hari Valentine. Aku sama sekali tak mengerti apa maksud dari mimpiku, hingga hari aku bertemu denganmu. Itu sebabnya aku langsung mengetahui namamu,” jawabnya menerawang.

“Dalam mimpiku, aku tahu aku diam-diam mencintaimu, dan aku sempat mengatakan perasaanku padamu sesaat sebelum api itu melahap tubuhku. Aku melihat diriku melemparmu ke luar agar kau tidak terbakar, lalu kemudian semuanya hilang,” lanjutnya lagi, lalu berpaling menatapku.

“Apa itu berarti pertanda bahwa kita memang ditakdirkan untuk bersama?” ujarnya lagi seraya menggenggam tanganku erat.

“Tapi itu bukan mimpi. Setidaknya bagiku, semua itu tampak begitu nyata. Aku merasa seperti benar-benar mengalaminya. Tapi tak ada seorangpun yang percaya, mereka bilang itu hanya halusinasiku semata. Aku terlalu tenggelam dalam novelku hingga tak bisa membedakan antara fiksi dan nyata,” jawabku, tetap teguh pada pendirianku semula.

“Mimpi atau bukan, yang penting kejadian buruk itu sudah berakhir. Sekarang aku di sini. Aku memiliki kesempatan lagi untuk bersamamu. Kau adalah mimpiku yang jadi nyata. Jadi lupakan tragedi Valentine Berdarah itu dan kita mulai semuanya dari awal,” ujarnya lembut seraya tersenyum manis padaku.

“Kau benar,” jawabku setuju. 
“Tapi sayangnya aku tidak membawa bunga untukmu,” ujarnya lagi dengan ekspresi menyesal. 
“Tidak!” protesku keras. 
“Tapi bukankah Valentine identik dengan bunga dan coklat?” tanyanya padaku. 
“Kau tahu aku benci bunga kan?” jawabku sambil tertawa mengingatkan. 
“Tapi apa salah bunga itu padamu?” lagi, pertanyaan yang sama terlontar dari mulutnya seperti setahun yang lalu.

“Merah itu Mawar, Putih Itu Melati. Di Hari Valentine, kau pun akan mati.’ Jangan bilang kau tak ingat tentang surat ancaman itu? Pengirim surat itu, Debora, memberikan bunga Mawar Merah sebagai pesan kematianku,” jawabku berbisik seolah takut Debora ada di sekitar kami.

“Baiklah. Kita lupakan soal bunganya. Bagaimana kalau coklat? Kau suka kan? Dalam perjalanan kemari, aku sempat membeli sekotak coklat kecil di perempatan jalan,” ujarnya seraya menyodorkan kotak kecil berisi 4 buah coklat berbentuk hati berwarna-warni padaku.
“Selamat Hari Valentine, sayang. Aku mencintaimu,” ujarnya seraya memelukku erat. 
“Selamat Hari Valentine juga. Walau bagiku, setiap hari adalah Valentine asal kau bersamaku. Tapi bagaimana kau bisa mencintai seseorang yang baru kau temui sekali ini?” godaku padanya.

“Hei, aku sudah bertemu denganmu berkali-kali dalam mimpiku kan? Jadi rasanya aku sudah mengenalmu selama bertahun-tahun,” jawabnya dengan senyum manisnya.

“Ya ya ya,” jawabku seraya melepaskan pelukannya dan memakan coklat yang dia berikan. 
“Hmmm...enak sekali. I Love Chocolate,” ujarku seraya memakannya dengan lahap.
“Kau menghabiskan semuanya? Lalu bagaimana denganku? Setidaknya kau sisakan 1 untukku,” protesnya lucu seraya merebut kotak kecil itu dari tanganku.

“Bukankah sudah kau berikan padaku? Kupikir semuanya untukku. Mana aku tahu kalau kau juga mau?” ujarku membela diri seraya menggigit 1 coklat yang tersisa dalam mulutku.

“Baiklah. Masih ada 1 dalam mulutmu kan? Kalau begitu aku akan mengambilnya sendiri di mulutmu,” ujarnya nakal lalu menarik wajahku dan mencium bibirku dengan mesra dengan latar bunga-bunga musim semi yang mulai bermekaran di sekitar kami.

“Kuharap setelah ini tak ada lagi Valentine Berdarah,” ujarku dalam hati saat kami berciuman mesra.

@@@@@@

Saat Alvan dan Margaret sedang asyik berciuman mesra di tengah taman yang penuh bunga-bunga musim semi yang mulai bermekaran dengan indahnya, tanpa mereka sadari seorang gadis dengan rambut coklat panjang berkibar mengawasi dari balik pohon rindang seraya memeluk sebuket bunga Mawar Merah di tangannya. Sebuah note kecil terselip di antara bunga-bunga Mawar Merah itu, sebuah pesan kematian yang bertulis, “Merah itu Mawar, Putih itu Melati. Di Hari Valentine, kau pun akan mati.”

Sementara itu di tempat lain, dua orang polisi yang sebelumnya menginterogasi Margaret dihebohkan dengan berita kematian beruntun 3 orang wanita di Hari Valentine.

“Liu Yi Fei, ditemukan tewas gantung diri di salah satu pohon yang ada di kediamannya. Michelle Chen ditemukan tewas melompat dari atap gedung apartment tempat dia tinggal dan Idy Chan ditemukan tewas tertimpa pilar penyangga atap yang gelap. Dan ketiga gadis itu memiliki latar belakang yang sama, yaitu pernah menjadi Ratu Pesta Dansa di kampus tempat mereka belajar,” ujar seorang pria muda berwajah lonjong seraya membaca laporan di tangannya.

“Valentine Berdarah. Ini mengerikan! Semuanya terjadi di Hari Valentine. Kenapa bisa seperti ini? Kenapa semuanya bisa sama seperti yang dikatakan oleh gadis itu? Margaret Wang? Jika semua yang dia ceritakan menjadi kenyataan, berarti dialah korban berikutnya,” ujar polisi yang satu lagi tampak panik.

“Hubungi Tuan dan Nyonya Wang! Minta mereka agar berhati-hati mengawasi putrinya. Ada pembunuh berkeliaran dan akan beraksi di hari Valentine, dan Margaret adalah korban berikutnya,” perintah polisi berwajah lonjong pada temannya.

“Ya Tuhan. Valentine Berdarah. Aku benci ini. Bukankah Hari Valentine adalah hari untuk berbagi cinta dan kasih sayang?” ujarnya sebelum mulai mengambil ponselnya di atas meja.

TAMAT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar