Author : Liliana
Tan
Cast :
Margaret Wang as
Herself
TORO as Alvan
(Himself)
Note :
Terinspirasi dari “Fear Street”
“The Bloody Valentine”
( TORO & Margaret Wang Fanfiction Special Valentine)
Mereka mengatakan
terjadi sesuatu yang mengerikan hari itu, tapi aku tak ingat apa pun, bahkan
hal yang paling kecil sekalipun. Mereka mengatakan suatu hari nanti, aku akan
bisa mengingat dengan sendirinya, tapi seseorang ingin aku bisa mengingat
sekarang juga. Dia terus menerus mengirimiku surat ancaman yang berisi sajak
kematian. Siapa pengirimnya dan kenapa harus aku yang menerimanya?
=========
“Merah itu Mawar, Putih itu Melati.
Di Hari Valentine, kau pun akan mati.”
Lagi, surat
ancaman yang ditulis dengan darah diletakkan dalam lokerku hari ini, tepat di
samping surat ancaman itu tergeletak setangkai bunga Mawar Merah. Aku meraih
surat ancaman itu dengan kesal lalu membuangnya ke tempat sampah lengkap dengan
setangkai bunga mawar merahnya.
“Inilah yang
membuatku benci dengan bunga,” umpatku kesal.
“Apa salah bunga
itu padamu?” tanya seorang pria muda yang tiba-tiba muncul di belakangku. Aku
terlonjak kaget dan spontan kujatuhkan buku-buku yang sedari tadi berada dalam
pelukanku, membuatnya berserakan ke lantai dengan suara berdebam keras.
“Alvan, kau ini
manusia atau hantu? Tidak bisakah kau berjalan dengan sedikit bersuara?” seruku
kesal pada teman sekelasku seraya berlutut untuk memungut semua buku-buku itu.
Dia ikut berlutut dan membantuku memungutinya.
“Maaf bila aku
mengagetkanmu. Tapi aku sudah memanggilmu sebanyak tiga kali hanya saja kau
tidak mendengarnya. Kau hanya berdiri menatap kosong lokermu dan menghiraukan
panggilanku,” ujarnya dengan raut wajah menyesal.
“Oh, begitu? Kalau
begitu aku yang salah,” ujarku meminta maaf lalu meraih buku-buku itu di
tangannya.
“Tidak apa-apa.
Tapi kalau boleh aku tahu, kenapa kau membenci bunga? Kupikir hampir semua
gadis menyukai bunga kan? Apalagi tak lama lagi Hari Valentine akan tiba...”
ujarnya mengambang. Aku menatapnya dengan bingung.
“Memang kenapa
dengan Valentine?” tanyaku tak mengerti.
“Maksudku,
Valentine identik dengan coklat dan bunga,benarkan? Tapi ternyata kau tak suka
bunga, jadi...” lagi, kalimatnya terputus begitu saja. Kutatap dia dengan
bingung, aku sama sekali tak mengerti apa maksud ucapannya.
“Lalu apa
hubungannya itu denganku? Aku tak suka bunga karena aku punya alasan,” jawabku
padanya, lalu berlutut di samping tong sampah yang terletak tak jauh dariku
lalu mulai mengambil kembali surat ancaman beserta setangkai bunga Mawar Merah
yang tadi telah kulempar ke dalam sana.
“Aku membenci
bunga karena ini,” ujarku seraya menyerahkan surat ancaman itu beserta
setangkai Mawar Merah pada Alvan. Dia meraih kedua benda itu dan ekspresinya
berubah aneh.
“Ini konyol
sekali. Surat ancaman? Yang benar saja? Siapa yang iseng mengirim surat ini padamu?”
ujar Alvan dengan ekspresi mencibir.
“Menurutmu ini
hanya lelucon?” tanyaku skeptis.
“Tentu. Semua
orang tahu kau gadis yang baik. Kau pintar, cantik, ramah, kau selalu membantu
orang lain, semua orang menyukaimu, Margaret. Mana
mungkin ada orang yang membencimu lalu mengirimkan surat bodoh ini padamu?
Kurasa pengirim surat ini hanyalah pengagum rahasiamu yang hanya ingin
mendapatkan perhatianmu,” ujarnya lagi dengan yakin lalu kembali melempar surat
dan bunga itu ke tempat sampah.
“Tapi ini bukan yang
pertama. Sebelumnya juga pernah ada surat ancaman yang serupa. Dan bersama
dengan surat itu selalu ada setangkai Mawar Merah. Bukan hanya itu, surat
ancaman dan bunga itu selalu diletakkan di tempat yang menurutku orang lain tak
mungkin bisa memasukkannya,” ujarku bingung.
“Oh iya, di mana
misalnya?” tanya Alvan, mulai tertarik.
“Di dalam loker
dan sebelumnya di dalam laci asramaku,” jawabku bingung.
“Kau tahu sendiri
jika asrama wanita sangat tertutup, selain penghuni asrama ini, orang lain tak
bisa masuk. Lagipula di dalam kamar, mana mungkin bisa?” lanjutku dengan
berbisik lirih, takut ada seseorang yang menguping pembicaraan kami.
“Bagaimana dengan
teman sekamarmu?” tanya Alvan curiga.
“Itu tidak
mungkin!” ujarku membantah.
“Kenapa tidak?”
Alvan masih menaruh curiga pada teman sekamarku.
“Karena dia sedang
terkena Typus saat ini. Dua minggu yang lalu dia positif didiagnosa menderita
penyakit Typus oleh Dokter Asrama yang mengharuskannya dirawat selama sebulan
penuh di Rumah Sakit. Kemarin aku baru saja menjenguknya di sebuah Rumah Sakit
di daerah Kaohshiung. Itu sangat jauh dari Taipei, lagipula dia terlihat sangat
pucat saat Debora dan aku menjenguknya kemarin. Dokter bilang virus itu masih menyerangnya. Dia sangat lemah dan tak mungkin sanggup berdiri tanpa kursi
roda. Jadi tak mungkin hari ini dia kemari dan meletakkan surat ancaman,”
bantahku, yakin itu bukan perbuatan teman sekamarku.
"Dan lagi, surat ancaman yang pertama itu baru kuterima tak lama setelah dia dipindahkan ke Rumah Sakit,” lanjutku lagi.
“Apa isi surat
ancaman yang pertama?” tanya Alvan penasaran.
“Harum Mawar Merebak, harum Melati membusuk.
Di Hari Valentine, kau pun mulai membusuk,” ujarku dengan raut wajah sedikit ngeri.
“Valentine?
Bukankah itu seminggu lagi?” ekspresi Alvan mulai terlihat ngeri.
“Kenapa kau jadi
terlihat cemas? Bukankah kau bilang mungkin ini hanya lelucon?” tanyaku mulai
bingung. Tadi dia terlihat sangat yakin jika ini semua hanya lelucon konyol
yang dikarang oleh pengagum rahasiaku, tapi sekarang dia mulai tampak
ketakutan.
“Laporkan ini pada
polisi!” usulnya dengan wajah serius.
“Yeah right! Dan
Polisipun hanya akan menganggap ini lelucon sepertimu tadi,” jawabku cuek lalu
menutup pintu lokerku dan berjalan pergi.
“Tapi aku serius!
Kau harus mulai berhati-hati!” ujar Alvan memperingatkan.
“Tapi aku harus
berhati-hati terhadap apa?” tanyaku tak mengerti.
“Entahlah. Aku
juga tidak tahu,” Alvan menelengkan kepalanya bingung.
“Alvan benar. Tak
ada salahnya kau waspada, Margaret,” ujar seorang gadis muda seusiaku dengan
rambut coklat berombak dan bola mata besar dan berwarna hitam pekat berjalan mendekat ke
arahku dengan membawa banyak buku dalam pelukannya.
“Debora?” ujarku
kaget dengan kemunculannya yang tiba-tiba.
“Maaf. Aku tidak
bermaksud menguping pembicaraan kalian. Tapi karena ini berhubungan dengan
keselamatanmu jadi aku merasa aku perlu mendengarkan,” ujarnya tampak takut,
ekspresi bersalah tergambar di wajahnya yang pemalu.
“Tidak apa-apa.
Cepat atau lambat, aku pasti menceritakannya padamu, hanya saja kemunculanmu
yang tiba-tiba sangat mengagetkan aku. Kupikir kau...” kalimatku terpotong oleh
ucapannya yang lirih.
“Pembunuh itu?”
serunya lirih, menatap tajam ke arahku. Entah kenapa tatapan matanya membuat
hatiku berdesir takut.
“Benar. Kau
berjalan tanpa suara, jadi kupikir...” lagi, dia memotong ucapanku.
“Kau sungguh lucu!
Mana mungkin pembunuh itu menampakkan dirinya sekarang? Bukankah kau bilang di
surat ancaman itu dia menuliskan harinya?” potong Debora, tampak misterius.
“Valentine
Day...Bukan sekarang!” ujarnya menekankan.
“Tapi setidaknya
benar apa kata Alvan, kalau mulai sekarang sebaiknya kau waspada,” lanjutnya
lagi seraya berjalan mendekat dan memasukkan buku-buku dalam pelukannya ke
dalam lokernya sendiri yang berada lima kotak di samping lokerku.
“Waspada pada
siapa?” tanyaku pada mereka berdua.
“Mungkin semuanya.
Semua orang yang kau temui, semua orang yang kau kenal, atau bahkan mungkin kau
juga perlu waspada pada bayanganmu sendiri,” jawab Debora pelan dan dalam.
“Omong kosong.
Untuk apa aku harus berhati-hati pada bayanganku sendiri?” ujarku
menertawakannya.
“Karena bayanganmu
sekalipun, terkadang bisa menipumu,” jawabnya lagi dengan nada rendah.
“Aku hanya tak mau
terjadi sesuatu yang buruk padamu, sahabatku. Kita sudah bersahabat sejak kecil
kan? Aku tak mau sesuatu yang buruk terjadi padamu. Karena hanya kau sekarang
satu-satunya yang kumiliki,” ujarnya seraya memelukku erat. Aku merasakan
setetes air jatuh di pundakku saat dia memelukku.
“Aku akan
baik-baik saja. Jangan menangis, Debora!” ujarku menenangkannya.
“Aku tak mau kau
mati seperti dia. Aku tak mau sekali lagi kehilangan seseorang yang kusayang,”
ujarnya mulai terisak. Aku menepuk-nepuk pundaknya sayang dan berjanji padanya
aku akan menjaga diriku baik-baik.
“Sudahlah. Anggap
saja kau tidak mendengar apa pun, Sekarang kita pulang!” ajakku pada Debora dan
Alvan.
Malam itu, aku
berusaha mengenyahkan semua pikiran negatif tentang surat ancaman bodoh itu dan
fokus pada tugas kuliahku. Hidup jauh dari keluarga bukanlah hal yang mudah.
Tinggal di asrama yang besar dan kosong seperti ini juga hal yang tidak mudah
untukku. Jika ada seorang teman yang menemaniku di kamar ini mungkin aku takkan
merasa cemas seperti ini, tapi sekarang aku hanya sendiri. Mengingat ada
seseorang yang kemungkinan mengawasiku, membuatku tidak bisa tenang melakukan
apa pun.
PRANNNGGGG... Baru
saja aku akan mulai membuka laptopku dan mengerjakan PR-ku saat tiba-tiba
seseorang melempari kaca jendela kamar asramaku, membuatku tersentak keras.
Spontan aku berlari ke arah jendela dan melihat siapa pelakunya, tapi di tengah
kegelapan malam ini, hanya rambut panjangnya yang kulihat.
“Wanita? Aku yakin
dia wanita,” ujarku saat melihat sosok yang kucurigai sebagai seseorang yang
melempari kamarku berlari ke arah hutan di belakang asrama wanita. Rasa
penasaran membuatku ingin mengejarnya, tapi saat aku berbalik, aku tak sengaja
menginjak batu berukuran sedang yang tadi dilemparnya.
“Owww...” ujarku
yang hampir saja tersandung karena batu itu. Aku berlutut dan memungut batu
berukuran sedang yang dibungkus kertas
putih itu. Dengan penasaran, aku membuka secara perlahan kertas putih itu hanya
untuk melihat sajak kematian lain tertulis di sana.
“Valentine kali ini tiada kenangan tentangmu.
Satu-satunya karangan bunga hanya ada di pusaramu.”
Itulah bunyi surat
ancaman yang membungkus batu berukuran sedang itu. Aku mencium bau anyir darah saat aku memegang
kertas itu. Surat ancaman itu benar-benar ditulis dengan darah. Perasaan ngeri mulai
menjalari seluruh tubuhku. Tiga ancaman. Ini pasti bukan perbuatan orang iseng
kan? Saat sedang dalam kebingungan, aku mendengar suara jeritan seseorang dari
luar kamarku. Spontan aku berlari keluar kamar untuk mencari sumber suara,
hanya untuk melihat Debora berdiri mematung di depan pintu asrama
dan memandang mayat seorang gadis muda yang tewas menggantung dirinya
di salah satu pohon yang ada di depan pintu masuk asrama. Tak hanya aku, semua
penghuni asrama ini juga berbondong-bondong berlari keluar untuk melihat apa
yang terjadi.
“Debora, ada apa?
Apa yang terjadi?” tanyaku saat tiba di sana.
“Aku ingin ke
kamarmu saat tak sengaja aku melihatnya sudah seperti itu. Aku takut sekali.
Ini mengerikan,” ujar Debora seraya menangis di pundakku dan aku mengelus-elus
rambutnya dengan sayang, mencoba menenangkannya.
“Aku akan lapor
polisi.” Ujarku lalu segera menelpon polisi untuk melaporkan apa yang terjadi
di asrama kami.
“Aaargggghhh...Ini
menakutkan! Bukankah dia Liu Yi Fei, Ratu Pesta Dansa Musim Panas tahun lalu? Kenapa dia gantung diri?” ujar
seorang gadis lain seraya menutup matanya ngeri.
“Dia bukan gantung
diri! Ini pembunuhan!” ujar yang lainnya, seorang gadis muda yang muncul dari
arah belakang dan berjalan menerobos kerumunan mahasiswi yang melihat peristiwa
itu.
“Dari mana kau
tahu?” tanyaku penasaran.
“Dia menceritakan
padaku bahwa selama beberapa hari ini ada orang iseng yang selalu mengiriminya
pesan kematian. Awalnya dia menganggap itu hanya lelucon belaka, tapi lama
kelamaan ini menjadi tidak lucu lagi. Sekitar satu jam yang lalu, dia menjerit
histeris saat menemukan surat ancaman itu ada di dalam tasnya. Dia menuduhku
melakukannya. Tapi aku bersumpah aku tidak bersalah,” ujar gadis muda itu, Ma
Jian yang ternyata adalah teman sekamar gadis yang gantung
diri itu.
“Lalu?” tanya
gadis lain penasaran.
“Lalu tak lama
kemudian, seseorang melempari jendela kami dengan surat ancaman yang kedua.
Barulah dia percaya bukan aku pelakunya. Aku sudah melarangnya untuk pergi,
tapi dia tetap nekad ingin mencari tahu siapa orang itu. Itulah terakhir kali
aku bertemu dengannya,” ujar Ma Jian
menceritakan apa yang dialami teman sekamarnya.
“Bukan hanya dia.
Aku juga mendapat surat ancaman yang serupa. Dilempar melalui jendela kamarku
sebelum pelakunya, atau sosok yang kuduga sebagai pelakunya melarikan diri ke
arah hutan. Dia seorang wanita,” ujarku seraya menyodorkan kertas putih yang
sudah lecek itu pada Ma Jian yang temannya tewas gantung diri itu.
“Bagaimana kau
bisa begitu yakin?” tanya yang lain.
“Aku melihat
rambut panjang berkibar di punggungnya saat dia berlari masuk ke dalam hutan,”
jawabku yakin.
“Tidak bisakah
kita hentikan semua ini hingga polisi datang? Aku takut
sekali!” ujar Debora seraya menangis terisak.
“Ya Tuhan, apa
yang terjadi padanya? Ini mengerikan sekali. Anak-anak, cepat masuk ke kamar
kalian dan jangan bukakan pintu untuk siapapun malam ini,” ujar salah seorang
Dosen di Fakultas kami yang memang ditugaskan untuk tinggal di asrama ini dan
menjaga anak-anak didiknya. Ibu Lee meminta kami semua masuk ke dalam kamar dan
dia serta beberapa penjaga asrama akan menunggu polisi di sini.
“Bolehkah aku
tidur di kamarmu, Margaret?” Tanya Debora dengan wajah pucat ketakutan. Aku
baru saja akan menjawab saat Ibu Lee berkata, “Tidak. Kau tinggal saja bersama
Ibu. Bukankah kau orang pertama yang melihat kejadiannya? Ibu yakin polisi akan
membutuhkan keteranganmu sebagai saksi,” jawab Ibu Lee melarang.
“Tapi aku takut
sekali,” ujar Debora dengan tubuh gemetar.
“Tidak perlu
takut, Ada banyak dosen dan penjaga asrama yang akan menemanimu. Margaret, kau
kembali ke kamarmu sekarang dan tutup pintu serta jendela rapat-rapat,”
perintah Ibu Lee dengan wajah tak bisa dibantah.
“Baik,” jawabku
lirih dan patuh.
“Tapi jika Ibu
membutuhkanmu soal surat ancaman yang kau terima itu, Ibu akan memanggilmu,”
ujarnya lagi.
“Baik,” jawabku
lirih lalu berbalik pergi.
“Ini aneh.
Harusnya di Hari Valentine,” bisik teman sekamar gadis yang bunuh diri itu.
“Apanya yang di
hari Valentine?” Tanya seorang gadis lain.
“Menurut surat
ancaman, pembunuh itu akan beraksi di hari Valentine. Tapi sekarang belum hari
Valentine kan? Masih tersisa beberapa hari lagi. Kenapa dia mengubah
rencananya? Dan apa motifnya? Apa ada di antara kalian yang mendapatkan surat
ancaman itu selain Margaret dan Liu Yi Feii?” Tanya gadis itu pada kami semua.
“Aku juga
mendapatkan surat itu. Itu sebabnya aku sudah mengemasi barang-barangku dan
berencana pergi dari sini besok pagi,” ujar seorang gadis berambut ombak sebahu
dengan wajah takut.
“Kau juga,
Michelle Chen?” tanyaku kaget. Dia gadis yang pendiam dan tertutup, tak banyak
bergaul, lalu kenapa dia juga mendapat surat ancaman itu. Beribu pertanyaan
campur aduk dalam benakku.
“Dia bilang dia
akan membunuhku di Hari Valentine. Aku sudah muak. Aku hampir gila dengan surat
ancaman yang tak ada habisnya. Cukup sudah. Aku akan minta ayahku menjemputku besok
pagi. Aku tak mau kuliah lagi di sini. Aku harus pergi sebelum mati konyol
seperti Yi Fei,” ujarnya lalu berlari ke kamarnya diikuti oleh teman
sekamarnya.
“Kenapa kau
begitu tenang? Bukankah kau juga mendapatkan surat ancaman yang sama? Atau
jangan-jangan kaulah pelakunya tapi karena ingin menciptakan alibi, jadi kau
mengirimkan surat itu untuk dirimu sendiri?” sindir gadis itu, Ma Jian, teman
sekamar gadis yang gantung diri itu.
“Ma Jian, apa
ada orang gila yang akan mengirimi dirinya sendiri surat ancaman?” tanyaku tak
kalah sinis lalu melangkah pergi ke kamarku sendiri.
=====
Flashback…
“Kau?” ujar
seorang gadis berwajah cantik oriental dan berambut panjang pada seseorang di
hadapannya. Dia tampak terengah-engah saat mengejar sosok itu yang tampak
tenang walau tertangkap basah sedang melakukan kejahatan.
“Hallo Liu Yi
Fei. Besar juga nyalimu mengikutiku hingga kemari,” ujarnya tenang walau Yi Fei
memergokinya baru saja membunuh seorang penjaga asrama di dalam sebuah gudang
tua yang tak jauh dari area hutan di belakang kampus. Penjaga asrama itu adalah
seorang wanita paruh baya yang dikenal sangat ramah dan bertanggung jawab,
semua orang menyukainya tapi kini dia terbaring tak berdaya dengan tubuh
berkubang darah setelah sosok itu menggorok lehernya.
“Aku
mengikutimu tak lama setelah kau melempari jendela kami. Aku ingin tahu apa
alasannya. Aku tak pernah mengganggumu kan? Kenapa kau mengirimiku surat ancaman
itu?” Tanya Liu Yi Fei histeris, seolah tak takut sama sekali.
“Karena aku
benci melihatnya memandangmu dengan tatapan mata penuh damba. Aku benci setiap
wanita di mana dia pernah mendaratkan matanya. Kau salah satunya!” jawab sosok
itu dengan kesal.
“Aku bahkan tak
mengerti siapa dia yang kau maksud,” bantah Liu Yi Fei.
“Tentu. Kau
takkan mengerti karena kau adalah Ratu Pesta Dansa yang memiliki begitu banyak
pria yang memujamu. Aku benci gadis sombong sepertimu. Aku benci gadis
sempurna, Kenapa bisa ada orang-orang yang begitu sempurna, cantik, pintar,
popular seperti kalian? Sementara ada orang lain yang bahkan tak pernah
dianggap oleh orang lain? Hidup ini tidak adil, benarkan?” teriak sosok itu
kesal.
“Dia bukan
gadis. Tidak cantik, tidak populer dan tidak pintar, kenapa kau membunuhnya?”
Tanya Liu Yi Fei menuding penjaga asrama yang sudah tak bernyawa.
“Karena dia
memergokiku mengirim surat ancaman itu. Dia mengancamku akan melaporkanku ke
polisi, jadi aku tak punya pilihan lain selain menutup mulutnya,” jawab sosok
itu dengan dingin seraya mengacungkan pisaunya dan berjalan ke arah Liu Yi Fei
dengan perlahan.
“Kau sudah
gila! Aku tak mau bermain-main lagi denganmu,” ujar Yi Fei ketakutan lalu
berlari ke arah pintu tapi sebelum sempat dia sampai di depan pintu, pintu itu
sudah terbanting menutup dengan keras.
BRAAKKKK…Terdengar
suara pintu terbanting menutup dengan keras lalu tak lama kemudian Yi Fei
merasakan tubuhnya mulai terangkat ke udara.
“LEPASKAN AKU!
TOLONG!” teriaknya keras tapi saying tak ada seorangpun yang mendengarnya
karena lokasi gudang tua itu yang jauh dari area asrama kampus.
“Berteriaklah!
Percuma saja karena kau tak ada seorangpun yang akan mendengarmu,” jawab si
penyerang dengan sinis seraya memutar-mutar tubuh Liu Yi Fei ke udara dengan
kekuatan tangannya.
“Apa yang kau
lakukan? Kenapa bisa seperti ini?” Tanya gadis cantik itu ketakutan seraya
menatap sosok itu yang sedang mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan anehnya
tubuh Liu Yi Fei bergerak sesuai dengan arahan tangannya.
“TELEKINESIS.
Aku suka kekuatan ini. Dan dengan aku memiliki kekuatan ini, jangan pikir kau
bisa lari dariku, Ratu Pesta Dansa. Ucapkan selamat tinggal pada gelarmu itu
selamanya,” ujar sosok itu dingin seraya melempar tubuh Liu Yi Fei keras ke
arah dinding di sampingnya dengan keras.
“AARRGGGGHHH…”
terdengar jeritan Liu Yi Fei untuk yang terakhir kalinya sebelum tubuhnya jatuh
ke tanah dengan leher terlebih dulu menghantam tanah menimbulkan bunyi “Crak”
yang keras, tanda bahwa kehernya telah patah.
“Harusnya aku
akan membunuhmu di Hari Valentine. Kau dan mereka semua. Tapi sayangnya kau harus
lebih dulu mendahului semua orang. Sekarang, aku akan membuat semua orang
mengira kau mati karena gantung diri. Uuuh…Lehermu pasti sakit, benar kan?”
ujar sosok itu sinis lalu mulai mengambil tali tambang dan mulai
mengalungkannya di leher Liu Yi Fei yang sudah tak bernyawa dan menyeretnya ke
arah pohon yang ada di depan asrama. Menggantungnya dengan hati-hati di sana
dan menimbulkan kesan bahwa gadis cantik itu sengaja bunuh diri.
End
Of Flashback...
Margaret
Wang POV :
Aku bermimpi menggambar sebuah rumah. Buku
sketsaku bersandar di dinding
putih dan sementara aku memandangi kertasnya yang putih, tanganku dengan mantap
bergerak perlahan. Kugambar satu garis perak lalu sebuah rumah. Rumah kecil di tepi pantai yang hancur
berkeping-keping tanpa sebab.Aku ingat tampak sebuah warna merah merembes pada
kertas saat aku menggambar rumah. Basah dan berkilat, warna
merah tua itu melebar hingga ke seluruh kertas,di atas gambar rumah mungil di tepi
pantai yang hancur berantakan. Kertas itu berdarah, melebar hingga menutupi
kertas. Dan aku terbangun dari mimpi, bangun dan menjerit. Tapi kenapa aku
menjerit? Aku tidak ingat, benar-benar tidak
ingat.
“Ternyata di
malam yang sama saat Liu Yi Fei ditemukan gantung diri, penjaga asrama kita,
Nyonya Zhang juga ditemukan tewas terbunuh. Menurutmu siapa pelakunya? Dua
pembunuhan dalam satu malam, ini benar-benar gila!” ujar Debora padaku tapi aku
sama sekali tidak menaruh perhatian pada kata-katanya.
“Hei, kau ini
kenapa? Apa dari tadi kau tidak mendengarkan
aku?” tanya Debora yang duduk disampingku seraya menepuk pundakku.
“Apa?” tanyaku
kaget.
”Kau sedang
memikirkan mimpi aneh itu lagi? Atau memikirkan
pengirim surat ancaman itu? Apa menurutmu mereka orang yang sama? Aku
tahu kau ketakutan karena besok adalah tanggal 14 Februari kan? Hari Valentine
akan tiba. Tapi apa menurutmu, pembunuh itu akan berani melakukan aksinya bila
polisi ada di mana di kampus ini?” tanyanya seraya menyeruput kopinya sambil
tersenyum.
“Entahlah.
Hanya tinggal sehari lagi sebelum tanggal yang dijanjikan pengirim sajak
itu.Bohong jika aku bilang aku tidak takut,” ujarku lirih.
Itulah aku, Margaret Wang. Seorang
gadis malang yang kehilangan sebagian ingatannya dan baru-baru ini terus saja mendapatkan surat ancaman dari seseorang yang tidak kuketahui. Aku punya rambut hitam yang panjang
dan lurus,tinggiku rata-rata dan berat badanku sekitar 50 kg, cukup ideal untuk
anak kuliah.
“Lupakan soal
surat ancaman dan tragedy ini, apa kau sudah dengar soal turnament menulis
tahun ini? Tahun lalu kau juaranya kan? Mereka bilang pemenangnya akan mendapat
hadiah beasiswa kuliah S2 di Harvard University jurusan seni. Apa kau tidak
ingin ikut?” tanya Debora lagi, berusaha menghiburku.
“Apa temanya
kali ini?” tanyaku ingin tahu, mencoba mengalihkan pikiranku dari semua masalah
ini.
“Kehidupan
kedua,” jawabnya lagi.
”Andai saja
kehidupan kedua itu memang ada, aku berharap aku bisa mendapatkan kehidupan
sepertimu.Kau kaya, berbakat, kau bisa melukis dan menulis, cantik, pintar, punya
orang tua lengkap yang menyayangimu,kau punya Alvan, kau juga..” kupotong
kalimatnya.
“Debora, STOP!
Aku tahu kau berpikir aku punya kehidupan yang sempurna, tapi…” kali ini dia
yang memotong kalimatku.
“Tidak. Aku
tidak pernah berpikir seperti itu.Hidupmu tidak sesempurna yang kau kira,” jawabnya,mendadak
suaranya menjadi berat dan dingin dan ekspresinya jadi sulit terbaca.
“Apa maksudmu?”
tanyaku bingung.
”Tidak. Lupakan
saja!” jawabnya salah tingkah lalu kembali menyeruput kopinya.
“Benar. Lupakan
saja! Atau mungkin selain melupakan, pergi adalah satu-satunya jalan yang
tersisa sekarang. Mungkin sebaiknya aku pergi dari sini untuk sementara untuk
menghindari terjadinya tragedy. Sama seperti Michelle Chen. Lebih baik pergi
daripada harus mati konyol kan?” ujarku lagi seraya memasukkan spageti ke
mulutku.
“APA? Michelle
Chen pergi? Tapi kenapa? Bukankah dia adalah kandidat calon Ratu Pesta Dansa
Musim Panas tahun ini?” mendadak Debora tampak tertarik.
“Karena dia
juga mendapatkan surat ancaman itu. Semalam dia mengatakan dia akan akan pergi
sebelum pembunuh itu menghabisi nyawanya. Aku tidak tahu dia sudah pergi atau
belum,” jawabku menjelaskan pada Debora tentang apa yang kudengar semalam.
“Apa dia pikir
dengan dia pergi dari sini, pembunuh itu takkan menemukannya? JIka memang dia
ditakdirkan untuk mati, maka sejauh apa pun dia pergi, dia takkan bisa
menghindari kematiannya,” ujarnya pelan dan dingin. Mendadak ekspresinya
berubah aneh.
“Debora, kenapa
kalimatmu terdengar begitu mengerikan?” tanyaku bingung, sedikit merasakan aura
ketegangan dari nada suaranya yang berubah aneh.
“Bukan apa-apa.
Aku baru ingat ada tugas yang belum kuselesaikan, jadi sku harus pergi. Sampai
jumpa nanti,” jawabnya lalu bergegas meninggalkan aku dengan segala pertanyaan
dalam hatiku.
“Dan soal
lukisan rumah pantai itu, lupakan saja okay? Hanya sebuah lukisan rumah yang
tak artinya, tak perlu terlalu kau pikirkan. Semuanya sudah berlalu. Bukankah
kau sudah melupakan semua yang terjadi setahun yang lalu?” tambahnya sebelum
meraih ranselnya dan berlari pergi.
Aku sangat
bingung dengan apa yang dia katakan.Apa dia sedang membicarakan peristiwa
setahun yang lalu? Apa yang terjadi musim semi tahun lalu? Kenapa
aku tidak ingat apa pun? Bahkan hal yang paling kecil sekalipun. Ingatanku
tentang Valentine tahun lalu kabur semua, rasanya seperti melihat pantulan samar
di air keruh kolam yang dalam.Aku bisa melihat riak-riak air tapi aku tidak pasti
tentang wajah atau kejadian yang tampak disitu. Apa yang
terjadi minggu itu? Hari itu? Kenapa aku tidak
bisa mengingat peristiwa itu?
Teman-temanku
tidak seperti dulu, kadang kulihat Alvan memandangiku, seolah membaca
pikiranku. Alvan yang baik,dia selalu ada di sisiku saat aku butuh bantuan.
Siang itu, aku
baru saja akan kembali ke asrama saat aku melihat kerumunan massa berdiri
mengelilingi sesuatu seraya berbisik-bisik ketakutan. Penasaran, akupun menuju
lokasi yang sama.
“Ada apa?”
tanyaku pada salah seorang mahasiwi yang berdiri di sana.
“Michelle Chen,
kandidat Calon Ratu Pesta Dansa Musim Pansa tahun ini ditemukan tewas terjatuh
dari atap gedung Fakultas tempat dia belajar. Ini sungguh mengerikan! Kenapa
dia harus bunuh diri dan melompat dari sana?” jawab gadis itu dengan ekspresi
ketakutan. Aku shock mendengarnya. Bukankah Michelle Chen berniat untuk pergi
pagi ini? Tapi belum sempat dia melaksanakan niatnya, pembunuh itu sudah
menghabisinya lebih dulu. Sungguh ironis. Aku bergerak maju sedikit hanya untuk
menyaksikan tubuhnya jatuh tertelungkup di tanah yang keras, dia bagaikan berenang
dalam kubangan darah.
“Bukankah baru
semalam dia mengaku mendapat surat ancaman? Apa mungkin Michelle bukan bunuh
diri melainkan ada orang yang mendorongnya?” Tanya salah seorang mahasiswa lain
di belakangku.
“Siapapun yang
mendapat surat ancaman itu sebaiknya dia berhati-hati karena sepertinya
pembunuh itu tidak main-main,” jawab seseorang di sebelahnya.
“Debora benar, jIka memang dia ditakdirkan untuk mati, maka sejauh apa pun dia pergi, dia takkan bisa menghindari kematiannya,” ujarku dalam hati, ngeri. Tak sanggup mendengar berbagai spekulasi tentang surat ancaman yang membuatku hamper gila, aku memutuskan untuk kembali ke asrama.
Begitu sampai
di kamar asrama, aku mulai mengambil buku sketsaku dan melukis. Aku ingin
melukis seraut wajah. Wajahku. Aku mulai dengan mata. Tapi
aneh,tanganku bergerak dengan cepat seolah-olah menggambar sendiri tanpa aku, seolah-olah
dituntun tangan yang tidak kelihatan. Aku tidak tahu
berapa lama aku menggambar. Setelah selesai, kuletakkan sketsaku
dan kupandangi gambar itu. Wajah seorang pria, bukan pria yang kukenal. Aku
membuang kertas itu dan mulai menggambar lagi, tapi berapa kalipun aku
menggambar, aku tetap menggambar wajah pria itu.
Tanganku baru berhenti
menggambar saat kudengar seseorang melempari kaca jendelaku dan kulihat secarik
kertas terbungkus pada sebuah batu yang bertuliskan :
“Tak
perlu kau cari si Penulis Sajak.
Nantikan
Hari Valentine saat kau lenyap tanpa jejak.”
Lagi, surat
ancaman untuk yang kesekian kalinya, dilempar dari jendela, sama seperti malam
itu.Hanya saja bedanya, kali ini dibalik surat ancaman itu ada sketsa wajah
pria yang baru saja kulukis.
“Ancaman lagi? Cukup
sudah. Aku harus tahu apa yang terjadi sebenarnya. Alvan pasti tahu sesuatu. Siapa
pria ini dan kenapa aku melukis wajahnya. Aku yakin pengirim surat ancaman ini
mengenal pria dalam lukisan ini. Jika tidak, kenapa begitu kebetulan dia
mengirimiku surat ancaman dengan sketsa pria ini di baliknya? Ini pasti saling
berhubungan,” tekadku dalam hati. Aku ingin menelpon Alvan untuk mengajaknya
bertemu besok pagi tapi ponselku lebih dulu berdering.
“Aku ingin
menemuimu besok pagi. Aku ingin mengajakmu pergi meninggalkan tempat ini. Besok
Hari Valentine. Aku takut pembunuh itu akan benar-benar melaksanakan
ancamannya,” ujarnya di ponselku.
“Baik. Aku juga
ingin bertemu denganmu,” jawabku di telepon.
Esoknya, dia
menemuiku di depan pintu asrama dan menggandengku dengan cepat ke sebuah kafe
yang jauh dari wilayah kampus. Di kafe ini tampak banyak muda mudi yang
bergandengan tangan atau duduk berdampingan seraya mengucapkan Happy Valentine dan
menyerahkan kotak berisi coklat atau sebuket bunga pada kekasih mereka. Mereka
tampak bahagia, tapi tidak denganku. Hari ini adalah hari kematianku. Pengirim
surat itu selalu mengatakan bahwa Hari Valentine adalah hari terakhir hidupku.
Bahkan pagi ini
saat aku membuka pintu kamarku telah ada sebuket Mawar Merah dan sebuah surat
ancaman diletakkan di sana.
“Selamat
Hari Valentine… Bagaimana kau ingin mati hari ini? Menenggak racun? Dengan pisau? Atau
perlu aku mendorongmu dari atap? Aku baik kan memberimu pilihan,”
Tak ada lagi
sajak kematian, seolah pembunuh itu siapapun dia akan benar-benar melaksanakan
ancamannya hari ini. Dengan kesal aku meraih sebuket mawar merah beserta surat
ancamannya dan kutunjukkan pada Alvan.
“Kau pasti tahu
soal pria dalam lukisanku ini kan? Kenapa aku terus saja menggambar wajahnya
walau aku merasa aku tidak mengenalnya?” tanyaku pada Alvan, mendesaknya.
“Untuk apa kau
ingin tahu?” Tanya Alvan, raut wajahnya tampak tak suka.
“Karena ini ada
hubungannya dengan surat ancaman yang terus kuterima, Alvan,” jawabku stress.
“LIHAT INI!
Surat ancaman yang kudapat kemarin malam juga terdapat sketsa wajah pria ini
dibaliknya. Aku perlu tahu apa maksud semua ini,” teriakku frustasi.
“Sekarang
saatnya! Hari ini Hari Valentine kan? Pembunuh itu akan beraksi di Hari
Valentine kan? Aku akan mati hari ini jika aku tidak mengetahui siapa pengirim
surat ancaman ini,” lanjutku frustasi.
“Pria dalam
lukisan itu…kau mengenalnya, Margaret.Lebih dari kenal,” jawab Alvan singkat.
“Apa maksudmu?”
tanyaku bingung.
“Tanya saja
pada Debora. Kurasa dia lebih tahu jawabannya,” jawabnya
lagi, membuatku semakin bingung.
“Apa Debora
yang…” tanyaku tak yakin.
“Aku tak tahu
soal pengirim surat ancaman itu, aku hanya tahu jika Debora bisa memberikanmu
jawaban lebih banyak bila menyangkut pria muda dalam lukisan itu,” jawab Alvan
padaku.
“Baiklah. Aku
hanya tahu jika pengirim surat itu pasti tahu tentang pria dalam lukisan itu,
dan jika aku tahu siapa pria itu, aku pasti tahu siapa pengirim surat itu dan
kenapa dia menginginkan kematianku, karena aku yakin, semua ini pasti berhubungan
satu sama lain,” ujarku lalu berlari pergi dari kafe itu secepat kilat.
“Margaret…”
panggil Alvan mencoba menghentikanku.
“Aku harus
berpacu dengan waktu. Menemukan si pembunuh sebelum pembunuh itu menemukanku!”
ujarku seraya menghempaskan genggaman tangannya dan berlari memanggil taksi.
Di tengah
kebingunganku,aku memutuskan mencari Debora di asrama, tapi teman sekamarnya
mengatakan bahwa dia tak ada di sana sejak pagi, juga tak ada jadwal kuliah
hari ini. Akhirnya aku memutuskan untuk mencari Debora ke rumah bibinya, hanya
untuk mendengar jika Debora ada di pantai yang tak jauh dari pemukiman mereka.
Aku berlari ke pantai
tempat Debora dan aku biasa bermain dan kulihat dia di sana, berdiri memandangi
laut dengan pandangan kosong.
“Debora..” panggilku
pelan.
”Hari
Valentine. Sekarang tepat setahun dia pergi. Apa kau ingat yang terjadi hari
itu? Dia pergi meninggalkan aku selamanya tepat di hari Valentine,” tanyanya
tanpa menoleh sedikitpun.
“Apa maksudmu? Aku datang kemari karena ingin bertanya
soal lukisan ini?” jawabku bingung. Sesaat dia
menoleh lalu memandang sketsa lukisan yang kuangkat di depan wajahnya.Dia
tersenyum tipis.
”Apa kau ingat
bagaimana wajah tampannya menjadi sangat jelek saat kulit wajahnya terkelupas?”
tanyanya dengan sinis.
“Apa?” aku
mendadak menjadi takut.
“Kau tahu
kenapa kau melukisnya? Itu
karena kaulah yang membunuhnya!” ujarnya dalam dengan tatapan mata marah.
”Membunuhnya? TIDAK! Bagaimana caranya?” tanyaku tak percaya seraya menggelengkan kepalaku kuat-kuat.
“Kau pantas
mati! Aku ingin kau menemaninya di Neraka. Aku tidak rela kau hidup dengan
bahagia, melupakan segalanya, sementara pria yang kucintai harus terkubur dalam
tanah!” raungnya marah.
“TIDAK! Debora,
kau ini kenapa? Aku tak mengenal pria itu. Itu sebabnya aku bertanya padamu.
Bagaimana bisa aku membunuh seseorang yang tidak kukenal? Itu tidak mungkin!
Bagaimana aku bisa membunuhnya?” tanyaku bingung, aku benar-benar tak ingat
pernah mengenal pria itu.
“Dengan
kekuatanmu. Dengan telekinesis. Kau robohkan rumah pantai itu dengan kekuatanmu,
kau ingat?” jawabnya dingin.
“Setahun yang
lalu. Tepat di Hari Valentine! Kau membunuh kakakku tersayang. Di Hari
Valentine, di hari yang mereka bilang sebagai Hari Kasih Sayang, aku justru
kehilangan orang yang paling aku sayang, dan itu semua gara-gara kau!” ujarnya
dingin dan penuh kemarahan.
Aku terdiam dan
mencoba mengingat, saat mendadak sebuah kenangan tentang sebuah mungil di tepi
pantai yang hancur berantakan muncul dalam otakku. Rumah itu roboh, bagaikan
terkena tsunami, hancur begitu saja, rata dengan tanah. Dan aku melihat diriku
sendiri mengangkat tangan ke depan dan mengacungkannya pada rumah pantai yang
mungil itu, yang kini rata dengan tanah. Aku juga teringat dengan mimpiku
tentang rumah mungil di tepi pantai yang hancur berantakan dengan warna merah
merembes pada kertas saat aku menggambar rumah.
"Aku ingat
sekarang. Aku terus menggambar rumah dan seraut wajah karena aku yang
membunuhnya,” ujarku ketakutan. Airmata meluncur dari mataku yang sembab. Aku
masih masih tak percaya aku melakukannya, tapi kemudian kenangan lain melintas.
“TIDAK! Bukan
aku yang membunuhnya. Kau yang menyuruhku melakukannya. Kau
yang menantangku. Kau yang bersalah. BUKAN AKU!” aku berteriak keras. Aku ingat
dalam kenangan yang tampak samar itu, Debora berdiri di sampingku dan
menantangku untuk merobohkan rumah pantai itu dengan kekuatan Telekinesisku.
Aku balik menuduhnya, tapi dia hanya tertawa ringan.
“Ya. Kau
benar! Aku yang merobohkan rumah pantai itu. Aku yang
merobohkannya sendirian. Kekuatan kecilmu bahkan hampir tidak
bisa memeyokkan rumah itu. Kau memang payah!” dia berkata dengan airmata turun
dari sudut matanya, tapi bibirnya tersenyum bahagia.
“Tapi kenapa? Kenapa kau ingin merobohkan rumah
pantai itu? Kenapa kau ingin membunuh kakakmu?” tanyaku
tak percaya.
“Aku tidak
ingin membunuhnya. Aku justru sangat mencintainya. Shu Wei bukan kakakku. Dia anak tiri bibiku. Aku mencintainya tapi dia justru takut
padaku pada kekuatanku.Aku cemburu melihatnya bersama wanita lain, itu sebabnya aku ingin mereka mati. Dia
dan Idy Chan, kekasihnya, wanita murahan itu. Tapi aku merasa aku tidak sanggup
merobohkannya sendirian, aku
butuh bantuanmu.Tapi aku sadar kau tidak berguna. Dan kini aku menyesal telah membunuhnya,”
ujarnya dingin.
“Liu Yi Fei dan
Michelle Chen adalah gadis-gadis yang pernah dia sukai. Aku benci melihatnya
memandang kedua wanita itu dengan tatapan mata penuh nafsu. Rasanya aku ingin
sekali mencongkel kedua mata itu. Kenapa aku bukan gadis cantik? Kenapa aku
tidak sepintar kau atau mereka? Kenapa aku bukan gadis popular? Kenapa aku tak
punya bakat? Kenapa aku bukan Ratu Pesta Dansa? Jika aku cantik, pintar dan popular,
Shu Wei pasti akan mencintaiku dan dia tak perlu mati! Aku tak rela melihatnya
bersama wanita lain. Lebih baik dia mati di tanganku. Jika aku tidak bisa
memilikinya, maka orang lain pun tak bisa!” ujarnya marah.
“Kau gila,
Debora! Kupikir kau sahabatku!” ujarku muak. Aku tak menyangka orang yang sudah kuanggap sahabat
ternyata seorang pembunuh berdarah dingin.
“Aku yang
menghapus ingatanmu. Aku takut jika kau ingat sesuatu, kau akan melaporkan aku ke polisi atau aku akan berakhir di rumah
rehabilitasi sebagai kelinci percobaan. Aku tidak mau itu terjadi. Aku tidak
ingin menghabiskan masa mudaku sebagai buronan polisi. Itu sebabnya aku belajar
menghipnotismu. Aku ingin kau melupakan semuanya. Tapi kenapa kau malah
mengingatnya?”
teriaknya marah.
“Surat ancaman itu
kau yang mengirimnya?”
tanyaku ragu.
“Benar. Aku ingin kau tersiksa dalam ketakutan. Aku ingin kau tahu bahwa kau
punya masa lalu yang gelap. Aku iri padamu karena kau memiliki semua yang aku
inginkan. Kenapa kau harus memiliki segalanya sementara aku tidak memiliki
apa-apa? Kau
cantik, pintar, berbakat, baik hati, semua orang menyukaimu, kau bahkan bisa
mendapat nilai A tanpa perlu belajar keras, dalam berbagai hal aku tidak bisa
menyaingimu. Bukankah dunia ini sangat tidak adil? Aku membencimu! Aku
hanya ingin kau tersiksa,tapi aku tidak berharap kau ingat semuanya. Kenapa kau harus melukis wajah Shu Wei? Kenapa?”
jeritnya frustasi seraya
mengangkat kedua tanganku dan aku merasakan tubuhku melayang berputar-putar.
Aku merasa
bagai mati. Aku tidak menyangka kalau Debora juga memiliki kekuatan
itu.TELEKINESIS. Kekuatan itu tidak indah. Dengan kekuatan itu aku hampir
membunuh orang.Debora memaksaku masuk ke rumah pantai ini. Tapi aku berusaha
mengelak, aku melontarkan kekuatanku ke arahnya dan kudengar tamparan keras.
Debora jatuh
seraya memegangi pipinya.”Apa itu?” tanyanya.
”Tamparan yang
layak kau terima,” jawabku.
Dia meraung
murka, dia mengangkat tangannya ke atas, membuatku melayang dari lantai rumah, membuatku tergantung di atap,
dia ternyata sangat kuat. Telekinesisku jauh
di
bawahnya. Kekuatanku sama sekali tidak ada apa-apanya.
Dia lebih hebat dari dugaanku semula. Butuh kekuatan yang besar untuk bisa
mengalahkannya. Aku berusaha melepaskan diri dengan sisa kekuatanku.
“Hari
Valentine. Sekarang saatnya kau pergi menemui Shu Wei!” ujarnya dingin dan
dengan tatapaan marah. Dia kembali mengangkat tangannya dan membuat seisi
barang di rumah mungil itu beterbangan ke arahku. Aku berusaha menghalanginya
dengan kekuatanku sendiri dan kudengar sebuah kursi patah saat tak sengaja aku
melemparnya kembali ke arahnya.
“Usaha bagus!” ejeknya.
“TIDAK !!” jeritku
saat dia
melemparkan semua yang ada di sekitarnya padaku. Kaleng, botol, kursi membanjir
keluar bagai hujan tembakan tapi aku tidak merasakan apa-apa kecuali lemparan
botol pertama. Saat itulah Alvan muncul, Aku tidak tahu dari mana dia tahu kami
ada di sini. Mungkin Bibi Debora yang memberitahukan hal ini. Kedatangan Alvan
membuat Debora terkejut. Lemparannya meleset mengenai lilin yang ada di sekitar
kami.
Lalu seisi
ruangan terbakar, menimbulkan lidah-lidah api yang menyala, menyambar keempat
dinding rumah itu. Alvan mendorongku keluar seraya berkata, “Aku
mencintaimu. Sejak pertama kali kita bertemu. Tapi aku tahu kau hanya menganggapku teman biasa. Jadi biarkan aku berkorban untukmu,” ujarnya seraya
mendorongku keluar.
“TIDAK! ALVAN!”
teriakku sambil menangis, tapi api semakin besar dan aku mendengar jerit
kesakitan Debora
saat dia terbakar hidup-hidup di sana. Valentine.
Sekali lagi semuanya terjadi di Hari Valentine.
=======
“Nona, tak
pernah ada kebakaran itu,” ujar seorang pria muda padaku.
“Tapi rumah
pantai itu terbakar. Debora dan Alvan terjebak di dalammya. Aku mendengar suara
Debora yang berteriak kesakitan saat tubuhnya terbakar hidup-hidup,” jawabku,
menjelaskan semua yang kulihat hari itu pada dua orang
pria yang mengenakan seragam putih yang menatapku dengan heran secara
bergiliran.
“Kudengar kau seorang penulis novel kan? Kurasa kau terlalu tenggelam dalam
novel yang kau tulis hingga tak bisa membedakan antara fiksi dan nyata,” ujar
salah satunya.
"Lalu bagaimana dengan surat ancaman itu? Aku melihat Liu Yi Fei tewas tergantung, Michelle Chen tewas terjatuh dari atap gedung Fakultas tempat dia belajar. Lalu Shu Wei dan Idy Chan, mereka berdua tewas karena tertimpa rumah pantai yang hancur berantakan karena kekuatan Debora," ujarku bersikeras.
"Kami dengar penulis novel memang kebanyakan seperti itu. Karena terlalu tenggelam dalam kisah fiksi yang mereka buat, terkadang mereka sulit membedakan antara fiksi dan nyata," lagi, pria menyebalkan itu tetap bersikeras pada pendapatnya dan tidak mau mengalah.
“Benar. Kami takut
kau hanya sedang berhalusinasi selama ini. Liu Yi Fei, Michelle Chen dan Idy Chan masih hidup di luar sana. Dan Zhang Shu Wei yang kau sebut itu, kami tak tahu siapa dia,” lanjut yang satunya, membuatku
semakin kesal.
“Jadi kalian
menganggapku gila begitu?” ujarku tampak tak senang.
“Bukan. Kau hanya
memiliki halusinasi yang berlebihan,” kilah yang satunya.
“Halusinasi? Jadi
kalian menganggap selama setahun ini aku hanya berhalusinasi?” ujarku, membantah
sekali lagi, Aku menyandarkan tubuhku dengan kesal ke kursi kayu yang keras
seraya mengacak-acak rambutku frustasi.
“Pak Polisi, biarkan
aku bicara dengan putriku sebentar. Bisakah?” ujar seorang wanita paruh baya
dengan sabar seraya mengintip dari balik pintu. Kedua polisi itu saling pandang
lalu menganggukkan kepalanya sebelum akhirnya melangkah keluar ruangan dan
membiarkan Ibuku menghampiriku.
“Mereka tak
percaya padaku, Ibu,” ujarku frustasi.
“Ibu tahu. Apa pun
yang kau katakan, mereka takkan percaya. Tak ada kebakaran, Margaret. Tak ada
rumah pantai yang hancur berantakan seperti yang kau ceritakan. Lupakan semua
kisah ini dan mulailah hidup baru. Jika kau mau melupakan masalah ini dan
setuju jika ini semua hanyalah khayalanmu semata, maka Ibu dan Ayah bisa
menyelesaikan masalah ini dan membawamu keluar,” ujar Ibuku dengan lembut
seraya membelai rambutku sayang.
“Tapi itu bukan
khayalanku semata, Ibu. Aku benar-benar mengalaminya,” bantahku sekali lagi.
“Baiklah. Kalau
begitu anggap saja kau harus berbohong demi kebaikanmu sendiri. Berbohong agar
kau bisa pergi dari sini. Lihat, Margaret! Tak lama lagi Hari Valentine akan
tiba, apa kau tidak ingin merayakan Hari Kasih Sayang di luar sana bersama Ayah
dan Ibu dan juga semua orang yang menyayangimu?” bujuk Ibu padamu.
Aku terdiam dan
berpikir. Ibu benar. Apa pun yang kukatakan toh mereka tak percaya. Baiklah.
Aku juga lelah terkurung di Rumah Sakit Jiwa ini. Aku ingin bebas. Aku tidak gila. Tapi mereka
mengurungku karena mereka tidak percaya apa yang kukatakan. Kadang kala
kenyataan bisa menjadi kebohongan begitu juga sebaliknya. Tahu bahwa Ibu benar,
akhirnya aku menuruti apa yang dia sarankan. Dan tak lama setelah aku mengakui
bahwa mungkin selama ini aku hanya berhalusinasi semata karena terlalu tenggelam
dalam kisah fiksi yang kubuat, akhirnya mereka pun melepaskan aku.
“Andai saja kau
lakukan ini sejak awal dan tidak berkeras bahwa apa yang kau lihat adalah
benar, kau pasti sudah menghirup udara kebebesan ini sejak lama,” ujar Ayah
saat menjemputku dari Pusat Rehabilitasi Mental tempat di mana aku terkurung selama
setahun ini.
“Untuk merayakan
kebebasanmu dan juga merayakan Hari Valentine ini, Ayah akan mengajak kalian
semua makans iang bersama. Tapi Ayah juga mengundang rekan bisnis Ayah beserta
istri dan putra mereka. Kalian tidak keberatan kan?” tanya Ayah seraya
melirikku dari kaca spion yang ada di deskboard.
“Terserah Ayah
saja. Tapi apa Ayah tidak malu jika rekan bisnis Ayah mengetahui bahwa Ayah
memiliki seorang putri yang baru saja bebas dari Pusat Rehabilitasi Mental?”
jawabku malas.
“Ayolah, sayang.
Kau tidak gila. Kau hanya terlalu gemar menulis fiksi dan terlalu tenggelam
dalam kisah yang kau tulis hingga tak bisa membedakan antara fiksi dan nyata,”
jawab Ayah santai, entah memuji atau menyindirku. Malas berdebat, akupun hanya
terdiam hingga kami bertiga di sebuah restoran kelas atas di mana rekan bisnis
Ayah sudah menunggu.
Ayah tampak
semangat menyambut rekan bisnisnya. Seorang pria jangkung berkepala botak dan
berkacamata kecil, dia mengenakan setelan jas yang sangat rapi dan dari
senyumnya, dia terlihat seperti seorang pria yang ramah. Istrinya seorang
wanita paruh baya bertubuh ramping dengan tinggi sedang dan rambut ikal berwarna
coklat, dia mengenakan dress panjang berwarna merah dengan topi lebar di
kepalanya berwarna merah muda yang senada dengan tasnya. Kurasa wanita itu
ingin ikut merayakan euforia Valentine hari ini yang umumnya identik dengan
warna pink dan merah. Sepasang suami istri itu tersenyum melihat kedatangan
kami dan dengan ramah segera berdiri dari kursi mereka untuk menyalami kami
bertiga.
“Apa kabar Paman
dan Bibi? Namaku Margaret Wang Yu Jie, senang bertemu dengan kalian,” ujarku
ramah seraya menyambut uluran tangan mereka.
“Cantik sekali
putrimu, Tuan Wang. Kudengar kau seorang penulis yang berbakat,” puji wanita
itu.
“Benar. Begitu
berbakatnya hingga tak bisa membedakan antara fiksi dan nyata,” jawabku sarkas.
“Margaret...”
potong Ibuku seraya melirikku tajam.
“Anak-anak memang
seperti itu,” ujar Ibuku sambil tersenyum manis dan mempersilakan kami semua
duduk.
“Margaret sayang,
apa kau belum memiliki pacar? Bukankah sekarang Hari Valentine? Apa tidak
apa-apa jika kau menemani kami di sini sementara seharusnya kau berkencan
dengan kekasihmu di hari yang istimewa ini?” tanya wanita itu lagi.
“Dia belum
memiliki kekasih,” jawab Ibuku sambil tersenyum manis ke arahku.
Mendengar kata “kekasih”,
hatiku mendadak perih. Aku teringat ucapan Alvan sebelum dia melemparku keluar
dari rumah pantai itu dan terbakar hidup-hidup di dalamnya.
“Aku mencintaimu,”
ujarnya saat itu.
“Alvan, jangan bilang kau juga bagian dari
halusinasiku. Tapi kenapa aku merasa semuanya seperti nyata? Surat ancaman itu,
kehadiranmu, pembunuhan berantai di kampus, juga Valentine Berdarah. Aku
menolak mengakui jika itu hanya khayalanku semata,” ujarku sedih, setetes air
mendadak menetes dari mataku saat mengingat Alvan.
“Sayang, kau ingin
memesan apa?” tanya Ayahku, sukses membuyarkan lamunanku. Ayah menyodorkan
daftar menu padaku dan entah sejak kapan di depanku sudah berdiri waitress yang
sudah siap melayani kami. Aku mengambil daftar menu itu dengan enggan dan
membalik halaman demi halaman, hingga mataku tertuju pada menu minuman Favorite
Alvan.
Aku tersenyum
pedih dan berkata, “Ice Charamel Macchiato,” ujarku dan seorang pria bersamaan.
DEG. Jantungku
berhenti sesaat ketika suara yang begitu kukenal tiba-tiba terdengar di
telingaku. Antara percaya atau tidak, perlahan aku memalingkan kepalaku dan
melihat ke arah seorang pria muda yang berdiri di belakangku, di mana sumber
suara itu berasal. Dia di sana. Wajah yang sama, suara yang sama, model rambut
yang sama dan senyuman yang sama, membuatku merasa Alvan benar-benar nyata. Aku
spontan berdiri dari kursiku dan berlari memeluknya penuh kerinduan.
“Alvan, aku tahu
kau nyata. Aku tahu kau bukan bagian dari halusinasiku seperti yang mereka
katakan. Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu. Aku mencintaimu,” ujarku
seraya menangis terisak di dadanya saat aku memeluknya erat. Kurasakan tubuhnya
membatu sesaat tapi kemudian perlahan dia mengangkat kedua lengannya dan
membalas pelukanku erat.
“Terima kasih. Aku
sama sekali tidak menyangka jika di Hari Valentine ini, aku justru mendapatkan
pengakuan cinta dari seorang gadis cantik. Sekarang aku baru percaya bahwa
cinta pada pandangan pertama itu ada,” ujarnya lembut di telingaku.
DEG. Cinta pada
pandangan pertama? Kalimat itu membuatku benar-benar bingung. Perlahan aku
melepaskan pelukanku dan menatapnya bingung.
“Ini bukan pertama
kalinya kita bertemu. Kenapa kau bilang Cinta Pada Pandangan Pertama?” tuntutku
bingung. Tapi dia hanya memandangku tanpa ekspresi, membuatku sadar bahwa dia
bukan Alvan yang kukenal.
“Kurasa aku salah
mengenali orang,” ujarku lesu lalu kembali duduk.
“Sayang, darimana
kau tahu bahwa namanya Alvan?” tanya Ibuku bingung.
“Karena dia juga
muncul dalam halusinasiku, Ibu. Alvan Kuo, pria yang kucintai,” jawabku sedih.
“Benar. Namaku
Alvan Kuo. Dan kalau boleh jujur, sebenarnya aku juga merasa sepertinya kita
pernah bertemu,” jawabnya ramah seraya mengambil tempat di sampingku. Aku
terdiam bingung.
“Paman, Bibi,
bolehkah aku meminjam Margaret sebentar?” pintanya pada Ayah dan Ibuku. Aku
memandangnya terkejut, bukankah dia belum bertanya siapa namaku?
“Alvan, dari mana
kau tahu namanya Margaret? Kami bahkan belum mengenalkannya padamu?” tanya
Ibunya tak kalah bingung.
“Entahlah. Saat melihatnya
tadi, entah kenapa alam bawah sadarku langsung mengetahui siapa namanya,
seperti sebelumnya kami sudah saling mengenal. Ini aneh kan?” ujarnya sambil
tertawa canggung dan menunjukkan lesung pipitnya.
“Bagaimana Paman?”
pintanya lagi.
“Biarkan saja
mereka. Bukankah sekarang hari Valentine?” ujar Ayah Alvan, membantu memintakan
ijin untuk putranya.
“Karena sepertinya
kau sangat menyukai putriku, baiklah, kau boleh meminjamnya. Tapi kau harus
menjaganya baik-baik,” ujar Ayahku memberinya ijin.
“Terima kasih
Paman, terima kasih ayah. Kami mohon pamit dulu,” ujar Alvan lalu segera
menarik tanganku ikut dengannya. Aku benar-benar bingung hingga tak mampu
menolak ajakannya.
“Happy Valentine.
Kuharap setelah ini takkan ada lagi tragedi di Hari Valentine,” ujarnya
tiba-tiba saat kami berjalan-jalan di sebuah taman yang penuh warna-warni
bunga.
“APA?” tanyaku
terkejut.
“Di sana ada
kursi.” Ujarnya lalu menggandeng tanganku ikut dengannya.
“Apa maksud
ucapanmu dengan tragedi?” tanyaku setelah kami duduk di salah satu kursi kayu
di tengah taman.
“Aku melihatmu
dalam mimpiku. Mimpi yang sama selama setahun ini. Awalnya semua bagaikan mimpi
buruk. Kau mendapat surat ancaman, pembunuhan berantai di asrama kampus, lalu
kebakaran di rumah pantai. Dan semuanya terjadi di hari Valentine. Aku sama
sekali tak mengerti apa maksud dari mimpiku, hingga hari aku bertemu denganmu.
Itu sebabnya aku langsung mengetahui namamu,” jawabnya menerawang.
“Dalam mimpiku,
aku tahu aku diam-diam mencintaimu, dan aku sempat mengatakan perasaanku padamu
sesaat sebelum api itu melahap tubuhku. Aku melihat diriku melemparmu ke luar
agar kau tidak terbakar, lalu kemudian semuanya hilang,” lanjutnya lagi, lalu
berpaling menatapku.
“Apa itu berarti
pertanda bahwa kita memang ditakdirkan untuk bersama?” ujarnya lagi seraya
menggenggam tanganku erat.
“Tapi itu bukan
mimpi. Setidaknya bagiku, semua itu tampak begitu nyata. Aku merasa seperti
benar-benar mengalaminya. Tapi tak ada seorangpun yang percaya, mereka bilang
itu hanya halusinasiku semata. Aku terlalu tenggelam dalam novelku hingga tak
bisa membedakan antara fiksi dan nyata,” jawabku, tetap teguh pada pendirianku
semula.
“Mimpi atau bukan,
yang penting kejadian buruk itu sudah berakhir. Sekarang aku di sini. Aku
memiliki kesempatan lagi untuk bersamamu. Kau adalah mimpiku yang jadi nyata. Jadi
lupakan tragedi Valentine Berdarah itu dan kita mulai semuanya dari awal,”
ujarnya lembut seraya tersenyum manis padaku.
“Kau benar,”
jawabku setuju.
“Tapi sayangnya
aku tidak membawa bunga untukmu,” ujarnya lagi dengan ekspresi menyesal.
“Tidak!” protesku
keras.
“Tapi bukankah
Valentine identik dengan bunga dan coklat?” tanyanya padaku.
“Kau tahu aku
benci bunga kan?” jawabku sambil tertawa mengingatkan.
“Tapi apa salah
bunga itu padamu?” lagi, pertanyaan yang sama terlontar dari mulutnya seperti
setahun yang lalu.
“Merah itu Mawar,
Putih Itu Melati. Di Hari Valentine, kau pun akan mati.’ Jangan bilang kau tak
ingat tentang surat ancaman itu? Pengirim surat itu, Debora, memberikan bunga
Mawar Merah sebagai pesan kematianku,” jawabku berbisik seolah takut Debora ada
di sekitar kami.
“Baiklah. Kita
lupakan soal bunganya. Bagaimana kalau coklat? Kau suka kan? Dalam perjalanan
kemari, aku sempat membeli sekotak coklat kecil di perempatan jalan,” ujarnya
seraya menyodorkan kotak kecil berisi 4 buah coklat berbentuk hati
berwarna-warni padaku.
“Selamat Hari Valentine,
sayang. Aku mencintaimu,” ujarnya seraya memelukku erat.
“Selamat Hari
Valentine juga. Walau bagiku, setiap hari adalah Valentine asal kau bersamaku.
Tapi bagaimana kau bisa mencintai seseorang yang baru kau temui sekali ini?”
godaku padanya.
“Hei, aku sudah
bertemu denganmu berkali-kali dalam mimpiku kan? Jadi rasanya aku sudah
mengenalmu selama bertahun-tahun,” jawabnya dengan senyum manisnya.
“Ya ya ya,”
jawabku seraya melepaskan pelukannya dan memakan coklat yang dia berikan.
“Hmmm...enak
sekali. I Love Chocolate,” ujarku seraya memakannya dengan lahap.
“Kau menghabiskan
semuanya? Lalu bagaimana denganku? Setidaknya kau sisakan 1 untukku,” protesnya
lucu seraya merebut kotak kecil itu dari tanganku.
“Bukankah sudah
kau berikan padaku? Kupikir semuanya untukku. Mana aku tahu kalau kau juga mau?”
ujarku membela diri seraya menggigit 1 coklat yang tersisa dalam mulutku.
“Baiklah. Masih
ada 1 dalam mulutmu kan? Kalau begitu aku akan mengambilnya sendiri di mulutmu,”
ujarnya nakal lalu menarik wajahku dan mencium bibirku dengan mesra dengan
latar bunga-bunga musim semi yang mulai bermekaran di sekitar kami.
“Kuharap setelah
ini tak ada lagi Valentine Berdarah,” ujarku dalam hati saat kami berciuman
mesra.
@@@@@@
Saat Alvan dan
Margaret sedang asyik berciuman mesra di tengah taman yang penuh bunga-bunga
musim semi yang mulai bermekaran dengan indahnya, tanpa mereka sadari seorang
gadis dengan rambut coklat panjang berkibar mengawasi dari balik pohon rindang
seraya memeluk sebuket bunga Mawar Merah di tangannya. Sebuah note kecil
terselip di antara bunga-bunga Mawar Merah itu, sebuah pesan kematian yang
bertulis, “Merah itu Mawar, Putih itu
Melati. Di Hari Valentine, kau pun akan mati.”
Sementara itu di
tempat lain, dua orang polisi yang sebelumnya menginterogasi Margaret
dihebohkan dengan berita kematian beruntun 3 orang wanita di Hari Valentine.
“Liu Yi Fei, ditemukan
tewas gantung diri di salah satu pohon yang ada di kediamannya. Michelle Chen
ditemukan tewas melompat dari atap gedung apartment tempat dia tinggal dan Idy
Chan ditemukan tewas tertimpa pilar penyangga atap yang gelap. Dan ketiga gadis
itu memiliki latar belakang yang sama, yaitu pernah menjadi Ratu Pesta Dansa di
kampus tempat mereka belajar,” ujar seorang pria muda berwajah lonjong seraya
membaca laporan di tangannya.
“Valentine
Berdarah. Ini mengerikan! Semuanya terjadi di Hari Valentine. Kenapa bisa seperti ini? Kenapa semuanya bisa sama seperti yang
dikatakan oleh gadis itu? Margaret Wang? Jika semua yang dia ceritakan menjadi
kenyataan, berarti dialah korban berikutnya,” ujar polisi yang satu lagi tampak
panik.
“Hubungi Tuan
dan Nyonya Wang! Minta mereka agar berhati-hati mengawasi putrinya. Ada
pembunuh berkeliaran dan akan beraksi di hari Valentine, dan Margaret adalah
korban berikutnya,” perintah polisi berwajah lonjong pada temannya.
“Ya Tuhan.
Valentine Berdarah. Aku benci ini. Bukankah Hari Valentine adalah hari untuk
berbagi cinta dan kasih sayang?” ujarnya sebelum mulai mengambil ponselnya di
atas meja.
TAMAT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar