“Xue
Jian, meet me in the next life...” 2000 years have passed, now they meet again
in Shanghai on the Christmas Night. That right !!! Jing Tian dan Xue Jian,
kedua tokoh utama novel ini memang terinpirasi dari serial wuxia popular “CHINESE
PALADIN 3” yang pernah SUKSES BESAR dan meraih rating tinggi di China sana.
Karena tidak terima dengan endingnya yang menurut saya gak enak alias sedih,
jadi saya memutuskan membuat kisah cinta mereka versi saya sendiri. Dikisahkah,
Jing Tian dan Xue Jian (played by : Hu Ge dan Yang Mi) akhirnya bertemu kembali di kehidupan berikutnya. Mampukah
kisah cinta mereka yang sempat terputus di kehidupan sebelumnya kini bersatu
kembali? Dont worry, dalam novel sudah saya sertakan DISCLAIMERNYA !!!! Jadi
saya sudah mengaku loh ya, kalau saya hanya meminjam nama karakter “Jing Tian
dan Xue Jian” karena terinspirasi oleh kisah Chinese Paladin 3...
“(Teaser) Winter Tears : Chapter 2”
Chapter
2 :
“想对你说
Merry
Christmas
Ingin mengucapkan padamu “Selamat Natal”
身边却没有最爱的你
Walaupun bukan aku, orang terkasih yang ada di sisimu...”
Walaupun bukan aku, orang terkasih yang ada di sisimu...”
@@@@@@@
Hari Natal, 25
Desember, enam tahun kemudian...
"Ibu, aku datang. Bagaimana kabar Ibu di
sana? Apa Ibu tahu aku sangat merindukanmu?” ujar seorang gadis muda berwajah
cantik, berhidung mancung, berusia sekitar delapan belas tahun, berambut
panjang, hitam dan lurus, mengenakan sebuah mantel berwarna merah muda serta
syal dan topi berwarna senada, sambil mengusap airmata di pipinya seraya
meletakkan rangkaian bunga mawar ungu di atas sebuah makam dan membersihkan
butiran salju yang jatuh di atasnya.
“Aku suka mawar ungu. Apa Ibu tahu kalau
mawar ungu melambangkan keabadian? Sama seperti cintaku pada Ibu yang akan
abadi selamanya walaupun Ibu tak ada lagi di sini bersamaku. Xue Jian sayang
Ibu. Sayang sekali...” ujarnya dengan airmata mengalir di pipi. Kemudian dia
menelungkupkan kedua tangannya yang terbungkus sarung tangan putih di depan
dada dan mengambil sikap berdoa, dia memejamkan matanya dan mulai berdoa dengan
segenap hatinya, untuk arwah ibunya di Surga.
Tak jauh dari sana, seorang pemuda tampan bermantel
bulu putih juga duduk berlutut di sebuah makam, memandang kosong makam itu
dengan rasa sedih terpancar di matanya. Di belakangnya, gadis muda itu berjalan
melewatinya. Dia berjalan meninggalkan komplek pemakaman di atas bukit itu dan
berjalan menuruni tangga demi tangga, tapi ternyata hujan salju yang turun
malah semakin lebat.
Gadis itu menengadah memandang hujan salju
yang turun semakin lebat dari langit dan dia tahu badai salju akan turun tak
lama lagi. Dia menghembuskan napas pasrah dan mengedarkan pandangannya ke
sekeliling wilayah itu dan senyumnya mengembang saat melihat sebuah gereja kecil
tak jauh dari sana.
“Lebih baik aku menginap di gereja itu
hingga badai saljunya reda. Aku tidak mau mati kedinginan di tengah hujan salju
yang dingin mencekam,” putusnya lalu segera berlari kecil ke arah gereja kecil
itu.
“Ada orang di dalam? Bolehkah aku
menumpang masuk Tuan? Di luar akan ada badai salju, bolehkah aku menumpang
sebentar saja?” tanyanya nyaring di depan pintu. Tak ada jawaban. Sekitar lima
belas menit dia menunggu dan tak ada jawaban sama sekali dari dalam gereja itu.
Gadis itu mencoba membuka pintunya dan
melongokkan kepalanya ke dalam, mengintip. “Sepertinya tak ada orang,” gumamnya
pada dirinya sendiri saat menyadari tempat itu kosong.
“Baguslah,” lanjutnya senang lalu segera
masuk ke dalam dan berlindung. Gereja itu tidak terlalu besar tapi juga tidak
terlalu kecil. Ada sebuah piano di tengah ruangan, tepat di samping altar
gereja. Di depan altar itu ada beberapa kursi yang biasa digunakan para jemaat
untuk berdoa, terbagi menjadi dua sisi dan di tengahnya ada sebuah jalan
setapak sebagai tempat untuk berjalan menuju Altar.
Tak jauh dari piano itu berada berdiri
sebuah pohon Natal yang lumayan besar lengkap dengan pernak-perniknya yang
indah dan berkelap-kelip, di bawah pohon Natal itu juga diletakkan beberapa kado
Natal dan di sekeliling ruangan ini juga dihias berbagai macam hiasan Natal
yang mayoritas berwarna merah dan emas, sangat indah dan memberikan kesan
hangat.
“Sepertinya
siang tadi, gereja ini sempat digunakan untuk perayaan Natal. Dekorasinya masih
terpasang dengan indah di seluruh ruangan,” ujar gadis itu dalam hati seraya
berjalan perlahan mengamati seisi gereja itu.
“Rumah Tuhan. Tidak ada tempat yang lebih
aman selain di Rumah Tuhan,” batinnya tenang, lalu dia berjalan ke arah piano
itu dan duduk di atas kursinya dan mulai memainkan sebuah nada. Merasa tak ada
seorangpun yang akan mendengarnya, diapun mulai bernyanyi sambil memainkan
piano itu.
Suaranya yang merdu ditambah melodi yang
indah dari piano itu akan membuat siapa pun yang mendengarnya terpana.
去年今天你送的红色围巾
Chi nien cing thien ni sung te hung she wei chin
Chi nien cing thien ni sung te hung she wei chin
Tahun lalu di hari yang sama, kau
menghadiahiku sebuah scarf merah
和当初承诺的那一份感情
He thang chu cheng nuo te na yi fen kan ching
He thang chu cheng nuo te na yi fen kan ching
Disertai sebuah janji bahwa perasaan yang kita miliki saat itu...
一起飘散在风里
Yi chi piao san cai fung li
Yi chi piao san cai fung li
Akan berhembus seirama dengan hembusan angin...
陪我走在热闹人群里
Phei wo chou cai ren nao ren chin li
Phei wo chou cai ren nao ren chin li
Menemaniku berjalan bersama di tengah kerumunan
orang...
到处充满爱意的圣诞夜里
Tao chu chung man ai yi te, sheng tan ye li
Hari Natal adalah hari yang identik dengan cinta...
我竖走衣领假装可以忘记
Wo shu chou yi ling chia chuang khe yi wang chi
Aku tak bisa berpura-pura lupa atas semua yang
pernah kita alami bersama...
泪水却情不自禁 动摇我的平静
Lei suei cuei ching pu che chin, tung yao wo te
ping chin
Airmata ini tak bisa kutahan lagi, jatuh berderai
di pipiku
想对你说 Merry Christmas
Siang tuei ni suo Merry Christmas
Ingin mengucapkan padamu “Selamat Natal”
身边却没有最爱的你
Sen pien cuei mei yu cuei ai te ni
Sen pien cuei mei yu cuei ai te ni
Walaupun bukan aku, orang terkasih yang ada di sisimu
这是一场 Lonely
Christmas
Che she yi chang Lonely Christmas
Bagiku ini adalah “Natal yang Sepi”
拥挤的街落单的回忆
Yung chi te cie luo tan te huei yi
Yung chi te cie luo tan te huei yi
Kerumunan orang di jalan-jalan justru membawa
kembali kenangan yang menyakitkan itu
失去你的 Lonely Christmas
Se chi ni te Lonely Christmas
Di hari “Natal Yang Sepi” ini, aku telah kehilanganmu
最最漫长的爱情冬季
Cuei cuei man chang te ai ching tung chi
Cuei cuei man chang te ai ching tung chi
Musim dingin tahun ini adalah musim dingin yang paling panjang
不论你今夜留在谁的怀里
Pu luen ni ching ye liu cai sei te huai li
Tidak peduli kau ada bersama siapa malam ini...
我会用爱过你的心祝福你
Wo huei yung ai kuo ni te sin chu fu ni
Wo huei yung ai kuo ni te sin chu fu ni
Aku akan tetap mendoakan yang terbaik untukmu dari lubuk hatiku
爱不能再重来
Ai pu neng cai chung lai
Ai pu neng cai chung lai
Cinta tak bisa diulang kembali
断线的风筝
不能回来
Tuan sien te fung cheng pu neng huei lai
Layang-layang yang telah putus tak bisa ditarik kembali
问路过的云
问路过的风
Wen lu kuo te yun, wen lu kuo te feng
Aku bertanya pada awan, aku bertanya pada angin...
最后只有忍着感伤离开
Cuei hou che yu ren she shang kan li khai
Cuei hou che yu ren she shang kan li khai
Akhirnya yang kudapatkan hanyalah luka yang menyakitkan
爱不能再重来
Ai pu neng cai chung lai
Ai pu neng cai chung lai
Cinta tak bisa diulang kembali
熄灭的温柔
蓝色圣诞
Shi mie te wen rou lan she sheng tan
Tak bisa lagi merasakan kelembutan dan kehangatan Malam Natal
心却一遍遍的喊
Sin cuei yi pien pien te han
Hatiku hanya bisa menangis dan menyesalinya
Plok plok plok...Suara tepuk tangan menyadarkan gadis itu bahwa dia tidak sendirian di tempat itu, dengan terkejut dia menoleh ke arah tepuk tangan itu berasal, dan di sana dia melihat seorang pemuda tampan bermantel putih dan bertubuh tinggi dengan hidungnya yang mancung dan senyumnya yang menawan sedang berdiri di pintu masuk dan memandangnya kagum.
"Lagu yang indah tapi sangat sedih. Natal yang sepi? Apa kau merasa kesepian di Malam Natal ini? Well, kalau begitu aku akan menemanimu agar kau tak lagi merasa sepi," ujar pemuda itu sambil tersenyum ramah seraya berjalan mendekati gadis bermantel merah muda yang duduk di depan piano. Mendengar langkah kaki yang semakin mendekat, gadis itu menoleh dengan tajam.
"Apa aku memintamu mendekat?" tanyanya sedingin salju yang turun di luar sana. Spontan langkah kaki pemuda itu langsung tertahan, dengan salah tingkah dia menggaruk bagian kepalanya yang sebenarnya tidak gatal lalu tertawa canggung.
"Maaf, aku tidak bermaksud mengejutkanmu Nona. Aku hanya sedang mencari tempat berlindung dari badai salju saat tiba-tiba aku mendengar suara merdu nyanyianmu dan alunan melodi pianomu. Maaf jika aku mengejutkanmu," ujarnya sopan. Saat dia bicara, lesung pipi terlihat di wajahnya yang tampan, poinya yang tergerai jatuh menutupi mata memberikan kesan misterius tapi matanya yang memancarkan kehangatan, memberikan kesan sebaliknya. Dia pria yang ramah, siapapun bisa melihatnya walau hanya sekilas.
Gadis itu hanya menatapnya sekilas dengan dingin lalu kembali melanjutkan permainan pianonya.
"Tidak apa-apa," jawabnya sedingin es, singkat dan tegas. Pria muda itu terkesiap dengan sikapnya yang dingin, tidak biasanya ada gadis yang bersikap seperti ini padanya. Biasanya para gadis tu selalu menjerit histeris bila melihatnya, bukan menatap dan bicara dengannya dengan nada sedingin ini. Sekilas dia bisa melihat sorot mata penuh kesedihan dari mata gadis itu. Gadis kembali memainkan lagu yang lain.
"Itu adalah simfoni keenam belas, benarkan?" tebak pria muda itu, mencoba mencairkan suasana sambil berjalan semakin mendekat.
"Benar," lagi, gadis itu hanya menjawab singkat.
"Kau seorang seniman?" tanya pria muda itu lagi, mencoba beramah tamah.
"Aku suka main musik," jawab si gadis muda lagi, masih dengan jawaban singkat. Pria muda itu tersenyum tipis mendengarnya.
"Aku juga suka main musik. Aku bisa main biola, piano, gitar, drm, harpa dan masih banyak yang lain," pria muda itu membanggakan dirinya. Gadis itu bukannya terpesona tapi justru memandangnya dengan tajam.
"Tidak bisakah kau berhenti bicara? Kenapa keu cerewet sekali? Apa kau tahu kaus udah mengganggu konsentrasiku?" tanya si gadis dingin lalu segera bangkit berdiri meninggalkan piano itu.
"Maaf. Aku hanya mencoba bersikap ramah. Badai salju di luar sana mungkin tidak akan reda sampai nanti malam dan hanya ada kita berdua di sini. Aku tidak mau kau takut padaku," ujar si pria muda menjelaskan.
Gadis itu hanya terdiam, tidak mengatakan apapun. Dan begitulah akhirnya, mereka terus duduk dalam diam dalam jarak yang berjauhan di sisi yang berseberangan di gereja itu. Pria muda itu hanya mengamatinya dalam diam di tengah cahaya lampu gereja yang remang-remang.
"Dia cantik, tinggi, dan seksi. Rambutnya yang hitam, panjang dan lurus semakin membingkai sempurna wajah cantiknya. Dia sempurna untuk seorang wanita, hanya satu yang kurang, dia begitu dingin dan tertutup. Sorot matanya bahkan lebih dingin dari salju yang turun di luar sana," ujar pria muda itu dalam hatinya seraya mengamati gadis itu dalam diam di tengah keremangan cahaya lampu.
"Peri Salju? Apa kau memang ada?" gumam gadis itu lirih, namun masih dapat ditangkap oleh pria muda itu. Perlahan gadis itu mulai berdiri lalu berjalan ke arah jendela, mengamati badai salju yang turun di luar sana, ekspresinya mendadak sedih. Dia menempelkan kedua tangannya di kaca jendela dengan setitik air jatuh dari matanya.
"Peri Salju? Di mana aku pernah mendengarnya? Kenapa sepertinya aku pernah mendengarnya di suatu tempat?" si pria muda itu menelengkan kepalanya mengingat. Dia merasa pernah mendengar ini sebelumnya. Kalimat "Peri Salju" itu seolah membangunkan kembali kenangan masa kecilnya yang selama ini tertidur lama.
To be continued...
"Aku suka main musik," jawab si gadis muda lagi, masih dengan jawaban singkat. Pria muda itu tersenyum tipis mendengarnya.
"Aku juga suka main musik. Aku bisa main biola, piano, gitar, drm, harpa dan masih banyak yang lain," pria muda itu membanggakan dirinya. Gadis itu bukannya terpesona tapi justru memandangnya dengan tajam.
"Tidak bisakah kau berhenti bicara? Kenapa keu cerewet sekali? Apa kau tahu kaus udah mengganggu konsentrasiku?" tanya si gadis dingin lalu segera bangkit berdiri meninggalkan piano itu.
"Maaf. Aku hanya mencoba bersikap ramah. Badai salju di luar sana mungkin tidak akan reda sampai nanti malam dan hanya ada kita berdua di sini. Aku tidak mau kau takut padaku," ujar si pria muda menjelaskan.
Gadis itu hanya terdiam, tidak mengatakan apapun. Dan begitulah akhirnya, mereka terus duduk dalam diam dalam jarak yang berjauhan di sisi yang berseberangan di gereja itu. Pria muda itu hanya mengamatinya dalam diam di tengah cahaya lampu gereja yang remang-remang.
"Dia cantik, tinggi, dan seksi. Rambutnya yang hitam, panjang dan lurus semakin membingkai sempurna wajah cantiknya. Dia sempurna untuk seorang wanita, hanya satu yang kurang, dia begitu dingin dan tertutup. Sorot matanya bahkan lebih dingin dari salju yang turun di luar sana," ujar pria muda itu dalam hatinya seraya mengamati gadis itu dalam diam di tengah keremangan cahaya lampu.
"Peri Salju? Apa kau memang ada?" gumam gadis itu lirih, namun masih dapat ditangkap oleh pria muda itu. Perlahan gadis itu mulai berdiri lalu berjalan ke arah jendela, mengamati badai salju yang turun di luar sana, ekspresinya mendadak sedih. Dia menempelkan kedua tangannya di kaca jendela dengan setitik air jatuh dari matanya.
"Peri Salju? Di mana aku pernah mendengarnya? Kenapa sepertinya aku pernah mendengarnya di suatu tempat?" si pria muda itu menelengkan kepalanya mengingat. Dia merasa pernah mendengar ini sebelumnya. Kalimat "Peri Salju" itu seolah membangunkan kembali kenangan masa kecilnya yang selama ini tertidur lama.
To be continued...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar