And
the story goes... Salju, seolah menjadi simbol cinta mereka berdua. Beberapa
tahun yang lalu, keduanya bertemu di tengah hutan gelap yang tertutup salju,
dan beberapa tahun kemudian, keduanya bertemu lagi di sebuah gereja kecil
karena menghindari badai salju yang turun di luar sana. Akankah takdir membawa
mereka kembali bersama ataukah kembali memisahkan mereka seperti sebelumnya?
Saat salju yang dingin menjadi saksi jatuhnya airmata...
“(Teaser) Winter Tears : Chapter 3”
Chapter 3 :
“Tidak. Jing Tian, kau sudah berjanji
pada Ibumu untuk menjalani hidup ini dengan gembira. Jika kau seperti ini,
Ibumu di Surga pasti takkan merasa tenang. Tersenyumlah! Jangan sampai
dinginnya salju ini membuat hatimu dingin juga,”
@@@@@@@
FLASHBACK...
“Apa yang kau lakukan di sini? Apa Suster Kepala yang menyuruhmu mencariku?” kenangan tentang seorang gadis kecil bermantel putih di dalam hutan yang tertutup salju perlahan mulai muncul.
“Aku tersesat. Tempat apa ini? Aku mau keluar. Apa yang kau lakukan di tempat sedingin ini?” seorang anak laki-laki balik bertanya padanya. Dia gadis kecil yang aneh, di saat anak-anak lainnya sedang merayakan Natal bersama di dalam rumah dan makan makanan yang enak, dia justru berada di dalam hutan yang dingin dan gelap.
“Aku sedang mencari Peri Salju. Peri Salju hanya muncul saat malam Natal dan akan mengabulkan permintaan anak yang selalu bersikap baik,” jawab si gadis kecil sambil tersenyum, saat menoleh, rambut hitamnya yang lurus dan tergerai sepanjang pinggang tampak berkibar ditiup angin musim dingin yang berhembus.
“PERI SALJU?” ulang si anak laki-laki bingung.
“Benar. Peri Salju,” jawab gadis kecil itu lagi.
“Kau dengar omong kosong itu dari mana? Lucu sekali?” cibir si anak laki-laki, menertawakannya.
“Anak orang kaya sepertimu, yang selalu mendapatkan apa yang mereka inginkan, memang tidak butuh Peri Salju untuk mengabulkan keinginanmu, benarkan? Tapi tidak begitu denganku. Ibuku meninggal dan ayahku membuangku. Kau tahu kenapa aku ingin menemukan si Peri Salju? Karena aku ingin dia membantuku membawa kembali Ayahku!” jawab gadis kecil itu, tiba-tiba menangis pelan.
Melihat airmatanya, perasaan bersalah mencengkeram si anak laki-laki. “Maaf. Aku benar-benar minta maaf,” si anak laki-laki meminta maaf karena merasa bersalah telah membuat gadis kecil itu menangis.
“Kau ingin keluar dari hutan ini kan?” tanya si gadis kecil tiba-tiba seraya menghapus airmatanya.
“Ikutilah jalan setapak itu dan berjalanlah lurus tanpa berhenti sampai kau melihat sebuah pondok kecil. Jika kau sudah sampai di pondok kecil itu maka kau sudah bisa melihat Panti Asuhanku. Bila masih bingung, kau pandanglah bintang itu, maka dia pasti akan membantumu menemukan jalan pulang,” lanjutnya lagi seraya menuding ke langit malam.
“Bintang?” ulang si anak laki-laki bingung.
“Bintang Polaris, bintang yang cantik di langit utara yang dijadikan penanda arah utara. Ikuti bintang itu maka kau akan bisa keluar dari hutan ini,” jawabnya lagi.
“Lalu kau?” tanya si anak laki-laki.
“Aku akan mencari Peri Salju dan aku tidak akan kembali sebelum menemukannya. Kau pergilah dulu! Sampai jumpa!” jawab si gadis kecil singkat lalu berjalan ke arah hutan.
“Tapi sekarang sudah malam, tidakkah sebaiknya kau cari dia besok pagi saja? Kita pulang bersama,“ tawar si anak laki-laki padanya.
“TIDAK! Peri Salju hanya muncul saat Natal, jika malam ini aku tidak menemukannya, aku harus menunggu tahun depan. Itu terlalu lama. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi besok? Bagaimana jika seandainya besok aku mati? Aku harus menemukan Peri Salju sekarang juga,” jawabnya keras kepala.
“Tapi...” Si anak laki-laki berusaha memprotes tapi gadis kecil itu memotong kalimatnya.
“Setidaknya aku sudah berusaha kan? Walau gagal aku tidak akan menyesal. Sampaikan terima kasih pada Ayahmu untuk semua kebaikannya. Kami menikmati pesta Natalnya. Dan baju-baju yang dibelikannya untuk kami juga sangat indah,” jawabnya lagi sambil tersenyum manis.
“Sama-sama. Boleh aku tahu namamu?” tanya anak laki-laki itu ingin tahu.
Gadis kecil itu tersenyum dan menjawab “Little Snow,” ujarnya lalu menghilang ke dalam hutan.
Begitu dia pergi, anak laki-laki itu menyadari sesuatu terjatuh dari tempat gadis kecil itu berdiri tadi. Dia memungut benda yang berkilauan itu dan menatapnya. Sebuah kalung berliontin bintang separuh yang mirip dengan miliknya sendiri tapi di belakang liontin itu terukir sebuah huruf Xue (雪) yang berarti “Salju”.
“Kenapa sangat mirip dengan milikku?” ujar si anak laki-laki seraya menatap heran kalung itu, kemudian dia teringat sesuatu, “Little Snow, kalungmu...” teriak si anak laki-laki tapi sepertinya si gadis kecil itu sudah tidak mendengar lagi
“Gadis yang aneh tapi sangat berani,” batin si anak laki-laki saat itu. Siapa yang menyangka gadis kecil berusia sekitar sepuluh tahun berani masuk ke dalam hutan sendirian malam-malam begini. Perlahan anak laki-laki itu berjalan mengikuti jalan setapak yang diberitahukan gadis kecil itu padanya tadi sambil sesekali menatap langit. Dan benar, tak lama kemudian, dia menemukan sebuah pondok kecil dan panti asuhan itupun mulai terlihat.
“Little Snow, terima kasih. Aku berhutang padamu,” ujar si anak laki-laki dalam hati seraya mencengkeram erat kalungnya.
“Untunglah kau sudah kembali, Jing Tian. Kami semua sangat cemas. Apa kau bertemu Xiao Xue?” tanya Ibu Kepala Panti padanya sambil melirik di balik punggung Jing Tian. Jing Tian mengangguk pelan “Dia yang memberitahuku jalan keluar, tapi dia tidak ingin keluar bersamaku karena ingin mencari Peri Salju,” jawab si anak laki-laki, Jing Tian, dengan jujur.
“Xiao Xue. Kenapa gadis itu sangat keras kepala? Berapa kali harus kukatakan padanya kalau Peri Salju itu tidak ada? Tahun lalu kami menemukannya hampir mati kedinginan dalam hutan,” sahut Ibu Kepala Panti dengan cemas.
“Suster, tolong telepon Tim Sar sekarang. Kita harus menemukan Xiao Xue sebelum dia mati membeku di dalam hutan sana,” perintahnya pada Suster yang lain, sambil berlari masuk ke dalam hutan dan tak memberi Jing Tian kesempatan mengembalikan kalung itu.
“Kalungnya...” ujar Jing Tian kecil tanpa mampu melanjutkan kalimatnya karena Suster Kepala sudah menghilang ke dalam hutan diikuti oleh tukang kebun dan para suster yang lain. Jing Tian memasukkan kalung itu ke dalam saku mantelnya, saat dia menyadari bahwa miliknya sendiri tak ada bersamanya.
“Eh...Mana kalungku?” batinnya bingung seraya panik mencari kalung pemberian ibunya di tengah timbunan salju.
“Jing Tian, apa yang kau lakukan?” tanya seorang wanita yang tampak seperti seorang wanita berkelas.
“Kalung yang Ibu berikan padaku hilang. Ibu, aku takut sekali. Akankah hilangnya kalung itu berarti pertanda buruk?” ujar Jing Tian kecil dengan cemas menatap ibunya yang hanya tersenyum lembut.
“Tidak akan. Tidak apa-apa. Ibu akan belikan lagi kalung yang lain untukmu. Ayo pulang!” ujar wanita berkelas itu seraya menggandeng tangan putranya yang terlihat tidak rela pergi dari sana. Dan benar saja, saat dalam perjalanan pulang dari Panti Asuhan itu, sebuah kecelakaan terjadi, dan kecelakaan itu menewaskan orang tua Jing Tian dan mengubah hidup Jing Tian sepenuhnya. Malam Natal, orang tua Jing Tian meninggal tepat di Malam Natal.
“Apa yang kau lakukan di sini? Apa Suster Kepala yang menyuruhmu mencariku?” kenangan tentang seorang gadis kecil bermantel putih di dalam hutan yang tertutup salju perlahan mulai muncul.
“Aku tersesat. Tempat apa ini? Aku mau keluar. Apa yang kau lakukan di tempat sedingin ini?” seorang anak laki-laki balik bertanya padanya. Dia gadis kecil yang aneh, di saat anak-anak lainnya sedang merayakan Natal bersama di dalam rumah dan makan makanan yang enak, dia justru berada di dalam hutan yang dingin dan gelap.
“Aku sedang mencari Peri Salju. Peri Salju hanya muncul saat malam Natal dan akan mengabulkan permintaan anak yang selalu bersikap baik,” jawab si gadis kecil sambil tersenyum, saat menoleh, rambut hitamnya yang lurus dan tergerai sepanjang pinggang tampak berkibar ditiup angin musim dingin yang berhembus.
“PERI SALJU?” ulang si anak laki-laki bingung.
“Benar. Peri Salju,” jawab gadis kecil itu lagi.
“Kau dengar omong kosong itu dari mana? Lucu sekali?” cibir si anak laki-laki, menertawakannya.
“Anak orang kaya sepertimu, yang selalu mendapatkan apa yang mereka inginkan, memang tidak butuh Peri Salju untuk mengabulkan keinginanmu, benarkan? Tapi tidak begitu denganku. Ibuku meninggal dan ayahku membuangku. Kau tahu kenapa aku ingin menemukan si Peri Salju? Karena aku ingin dia membantuku membawa kembali Ayahku!” jawab gadis kecil itu, tiba-tiba menangis pelan.
Melihat airmatanya, perasaan bersalah mencengkeram si anak laki-laki. “Maaf. Aku benar-benar minta maaf,” si anak laki-laki meminta maaf karena merasa bersalah telah membuat gadis kecil itu menangis.
“Kau ingin keluar dari hutan ini kan?” tanya si gadis kecil tiba-tiba seraya menghapus airmatanya.
“Ikutilah jalan setapak itu dan berjalanlah lurus tanpa berhenti sampai kau melihat sebuah pondok kecil. Jika kau sudah sampai di pondok kecil itu maka kau sudah bisa melihat Panti Asuhanku. Bila masih bingung, kau pandanglah bintang itu, maka dia pasti akan membantumu menemukan jalan pulang,” lanjutnya lagi seraya menuding ke langit malam.
“Bintang?” ulang si anak laki-laki bingung.
“Bintang Polaris, bintang yang cantik di langit utara yang dijadikan penanda arah utara. Ikuti bintang itu maka kau akan bisa keluar dari hutan ini,” jawabnya lagi.
“Lalu kau?” tanya si anak laki-laki.
“Aku akan mencari Peri Salju dan aku tidak akan kembali sebelum menemukannya. Kau pergilah dulu! Sampai jumpa!” jawab si gadis kecil singkat lalu berjalan ke arah hutan.
“Tapi sekarang sudah malam, tidakkah sebaiknya kau cari dia besok pagi saja? Kita pulang bersama,“ tawar si anak laki-laki padanya.
“TIDAK! Peri Salju hanya muncul saat Natal, jika malam ini aku tidak menemukannya, aku harus menunggu tahun depan. Itu terlalu lama. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi besok? Bagaimana jika seandainya besok aku mati? Aku harus menemukan Peri Salju sekarang juga,” jawabnya keras kepala.
“Tapi...” Si anak laki-laki berusaha memprotes tapi gadis kecil itu memotong kalimatnya.
“Setidaknya aku sudah berusaha kan? Walau gagal aku tidak akan menyesal. Sampaikan terima kasih pada Ayahmu untuk semua kebaikannya. Kami menikmati pesta Natalnya. Dan baju-baju yang dibelikannya untuk kami juga sangat indah,” jawabnya lagi sambil tersenyum manis.
“Sama-sama. Boleh aku tahu namamu?” tanya anak laki-laki itu ingin tahu.
Gadis kecil itu tersenyum dan menjawab “Little Snow,” ujarnya lalu menghilang ke dalam hutan.
Begitu dia pergi, anak laki-laki itu menyadari sesuatu terjatuh dari tempat gadis kecil itu berdiri tadi. Dia memungut benda yang berkilauan itu dan menatapnya. Sebuah kalung berliontin bintang separuh yang mirip dengan miliknya sendiri tapi di belakang liontin itu terukir sebuah huruf Xue (雪) yang berarti “Salju”.
“Kenapa sangat mirip dengan milikku?” ujar si anak laki-laki seraya menatap heran kalung itu, kemudian dia teringat sesuatu, “Little Snow, kalungmu...” teriak si anak laki-laki tapi sepertinya si gadis kecil itu sudah tidak mendengar lagi
“Gadis yang aneh tapi sangat berani,” batin si anak laki-laki saat itu. Siapa yang menyangka gadis kecil berusia sekitar sepuluh tahun berani masuk ke dalam hutan sendirian malam-malam begini. Perlahan anak laki-laki itu berjalan mengikuti jalan setapak yang diberitahukan gadis kecil itu padanya tadi sambil sesekali menatap langit. Dan benar, tak lama kemudian, dia menemukan sebuah pondok kecil dan panti asuhan itupun mulai terlihat.
“Little Snow, terima kasih. Aku berhutang padamu,” ujar si anak laki-laki dalam hati seraya mencengkeram erat kalungnya.
“Untunglah kau sudah kembali, Jing Tian. Kami semua sangat cemas. Apa kau bertemu Xiao Xue?” tanya Ibu Kepala Panti padanya sambil melirik di balik punggung Jing Tian. Jing Tian mengangguk pelan “Dia yang memberitahuku jalan keluar, tapi dia tidak ingin keluar bersamaku karena ingin mencari Peri Salju,” jawab si anak laki-laki, Jing Tian, dengan jujur.
“Xiao Xue. Kenapa gadis itu sangat keras kepala? Berapa kali harus kukatakan padanya kalau Peri Salju itu tidak ada? Tahun lalu kami menemukannya hampir mati kedinginan dalam hutan,” sahut Ibu Kepala Panti dengan cemas.
“Suster, tolong telepon Tim Sar sekarang. Kita harus menemukan Xiao Xue sebelum dia mati membeku di dalam hutan sana,” perintahnya pada Suster yang lain, sambil berlari masuk ke dalam hutan dan tak memberi Jing Tian kesempatan mengembalikan kalung itu.
“Kalungnya...” ujar Jing Tian kecil tanpa mampu melanjutkan kalimatnya karena Suster Kepala sudah menghilang ke dalam hutan diikuti oleh tukang kebun dan para suster yang lain. Jing Tian memasukkan kalung itu ke dalam saku mantelnya, saat dia menyadari bahwa miliknya sendiri tak ada bersamanya.
“Eh...Mana kalungku?” batinnya bingung seraya panik mencari kalung pemberian ibunya di tengah timbunan salju.
“Jing Tian, apa yang kau lakukan?” tanya seorang wanita yang tampak seperti seorang wanita berkelas.
“Kalung yang Ibu berikan padaku hilang. Ibu, aku takut sekali. Akankah hilangnya kalung itu berarti pertanda buruk?” ujar Jing Tian kecil dengan cemas menatap ibunya yang hanya tersenyum lembut.
“Tidak akan. Tidak apa-apa. Ibu akan belikan lagi kalung yang lain untukmu. Ayo pulang!” ujar wanita berkelas itu seraya menggandeng tangan putranya yang terlihat tidak rela pergi dari sana. Dan benar saja, saat dalam perjalanan pulang dari Panti Asuhan itu, sebuah kecelakaan terjadi, dan kecelakaan itu menewaskan orang tua Jing Tian dan mengubah hidup Jing Tian sepenuhnya. Malam Natal, orang tua Jing Tian meninggal tepat di Malam Natal.
End Of
Flashback...
Jing Tian akhirnya berhasil mengingat kenangan masa kecilnya saat dia tersesat di dalam hutan di malam Natal di tengah hujan salju yang dingin mencekam. Pertemua pertamanya dengan seorang gadis kecil yang aneh di tengah hutan yang berselimut salju, kalungnya yang hilang dan juga kecelakaan yang menewaskan orang tuanya.
"Andai kalungku tidak hilang, mungkin ayah dan ibu masih ada di sini bersamaku sekarang. Aku sudah bisa merasakan bahwa hilangnya kalung itu adalah sebuah pertanda," ujar Jing Tian dalam hati, sedih setiap kali mengingat peristiwa di malam Natal itu. Itulah sebabnya dia datang kemari hari ini, karena hari ini juga adalah hari peringatan kematian orang tua Jing Tian.
"Tidak. Jing Tian, kau sudah berjanji pada Ibumu untuk menjalani hidup ini denga gembira. Jika kau seperti ini, Ibumu di Surga pasti takkan merasa tenang. Tersenyumlah! Jangan sampai dinginnya salju ini membuat hatimu dingin juga," gumamnya lagi sambil berusaha kembali tersenyum dengan ceria. Tapi kenangan lain kembali melintas. Gadis salju itu, mungkinkah dia yang yang ada di hadapannya sekarang?
"Little Snow, Xiao Xue, apa itu kau?" batin Jing Tian sambil kembali memperhatikan gadis cantik yang berdiri di depan jendela dan memandang sedih salju yang turun di luar sana. Dia ingin menanyakan tentang hal itu, tapi dia tahu gadis itu pasti takkan mengatakan apapun.
"Benarkah kau Xiao Xue? Jika kau bukan XIao Xue, kenapa kau tahu soal Peri Salju itu?" batinnya ingin tahu.
"Jika aku bertanya, kau pasti takkan menjawab. Baik. Aku akan mencari tahu sendiri tentangmu. Benarkah kau gadis kecil yang menolongku malam itu? Jika benar, aku punya hutang padamu yang belum sempat kubayar. Terima kasih karena telah membawaku keluar dari dalam kegelapan," Jing Tian bertekad dia harus mencari tahu yang sebenarnya.
To be continued...
Jing Tian akhirnya berhasil mengingat kenangan masa kecilnya saat dia tersesat di dalam hutan di malam Natal di tengah hujan salju yang dingin mencekam. Pertemua pertamanya dengan seorang gadis kecil yang aneh di tengah hutan yang berselimut salju, kalungnya yang hilang dan juga kecelakaan yang menewaskan orang tuanya.
"Andai kalungku tidak hilang, mungkin ayah dan ibu masih ada di sini bersamaku sekarang. Aku sudah bisa merasakan bahwa hilangnya kalung itu adalah sebuah pertanda," ujar Jing Tian dalam hati, sedih setiap kali mengingat peristiwa di malam Natal itu. Itulah sebabnya dia datang kemari hari ini, karena hari ini juga adalah hari peringatan kematian orang tua Jing Tian.
"Tidak. Jing Tian, kau sudah berjanji pada Ibumu untuk menjalani hidup ini denga gembira. Jika kau seperti ini, Ibumu di Surga pasti takkan merasa tenang. Tersenyumlah! Jangan sampai dinginnya salju ini membuat hatimu dingin juga," gumamnya lagi sambil berusaha kembali tersenyum dengan ceria. Tapi kenangan lain kembali melintas. Gadis salju itu, mungkinkah dia yang yang ada di hadapannya sekarang?
"Little Snow, Xiao Xue, apa itu kau?" batin Jing Tian sambil kembali memperhatikan gadis cantik yang berdiri di depan jendela dan memandang sedih salju yang turun di luar sana. Dia ingin menanyakan tentang hal itu, tapi dia tahu gadis itu pasti takkan mengatakan apapun.
"Benarkah kau Xiao Xue? Jika kau bukan XIao Xue, kenapa kau tahu soal Peri Salju itu?" batinnya ingin tahu.
"Jika aku bertanya, kau pasti takkan menjawab. Baik. Aku akan mencari tahu sendiri tentangmu. Benarkah kau gadis kecil yang menolongku malam itu? Jika benar, aku punya hutang padamu yang belum sempat kubayar. Terima kasih karena telah membawaku keluar dari dalam kegelapan," Jing Tian bertekad dia harus mencari tahu yang sebenarnya.
To be continued...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar