Jumat, 25 Desember 2015

Winter Wish : Chapter 1 (Snow Angel Fanfiction Special Christmas)

Author : Liliana Tan

Starring :
TORO Energy as Ji Teng / TORO
Margaret Wang as Chi Xue Tung / Xue Lian
Shu Wei Energy as himself
Niu Nai Energy as Himself
Ah Di Energy as Himself
Kunda Energy as Himself

NB : SPECIAL CHRISTMAS.

“Winter Wish : Chapter 1 (Snow Angel Fanfiction Special Christmas)”





“Bila kau diberi kesempatan untuk membuat sebuah permohonan di Hari Natal, apakah yang akan kau minta? Jika itu adalah aku, aku tidak mengharapkan apa-apa selain melihat seberkas cahaya, sulitkah itu Tuhan?”

Chi Xue Tung, seorang gadis muda berbakat yang selama ini hidup dalam kegelapan dan kesepian. Dia tidak percaya pada cinta, pada akhir yang bahagia, pada impian yang menjadi kenyataan. Sejak kecelakaan yang merenggut cahaya dalam hidupnya dan juga nyawa ibunya tersayang, Xue Tung harus menjalani kejamnya kehidupan saat ayah kandungnya membuangnya dan tidak mengakuinya sebagai anak. “Memiliki seorang anak yang buta hanya akan membuat malu keluarga. Kau adalah kutukan bagi keluarga. Gara-gara kau, ibumu meninggal,” Xue Tung takkan pernah melupakan perkataan ayahnya malam itu. Dengan kejam, ayahnya menyuruh sopir mereka untuk mengantar Xue Tung ke Panti Asuhan, tempat dia dibesarkan selama ini. Ayahnya membiayai semua biaya hidup Xue Tung selama di Panti Asuhan itu tapi tak pernah sekalipun mengunjunginya. Dingin, sepi, dan gelap, itulah yang dirasakan Xue Tung selama 15 tahun hidupnya.

Sama seperti namanya yang berarti “Merasakan Salju”, itulah yang dirasakan Xue Tung selama ini. Hatinya mendadak menjadi sedingin salju, tak ada musim semi yang hangat, juga tak ada cahaya terang. Hanya ada kegelapan dan kesepian abadi. Hingga akhirnya dia bertemu seseorang yang memberi cahaya dalam hidupnya dan menyingkirkan kesepian dalam hatinya, seseorang yang ditemuinya saat Malam Natal, seseorang yang bahkan tak bisa dia lihat wajahnya.

“Bagiku, kau adalah gadis yang sangat special. Kau berani, tegar dan tak pantang menyerah. Jika seandainya aku diberi kesempatan untuk membuat sebuah permohonan, maka yang kuinginkan adalah aku sangat berharap kau bisa melihat wajahku sekali saja,” kenang Xue Tung pada ucapan anak laki-laki berumur 11 tahun.

“Tuhan, jika Kau memang ada, di Malam Natal ini aku ingin membuat permohonan sekali saja. Aku ingin bertemu dengannya, aku ingin melihat wajahnya. Bisakah Kau mengabulkannya?” Xue Tung berdoa di bawah pohon Natal seraya mengatupkan tangannya, memohon dengan segenap hatinya.

Akankah permohonannya menjadi kenyataan? Tapi bagaimana jika seandainya anak laki-laki itu tidak mengenalinya saat mereka bertemu lagi?

========

“Di mana aku? Tempat apa ini? Kenapa aku ada di sini?” seorang gadis kecil berusia sekitar 9 tahunan tampak berdiri dengan bingung di tengah hamparan salju yang mengelilinginya. Matanya menatap kosong ke depan, dia menelengkan kepalanya seolah berusaha mendengar sesuatu, saat tiba-tiba dia mendengar sebuah suara merdu yang berada di kejauhan, terbawa oleh hembusan angin malam.


一个人能说出怎么样的对白
Yi khe ren neng shuo chu cem mo yang te tuei pai
Apa yang harus kukatakan pada diriku sendiri saat aku seorang diri seperti ini?

空房间只剩我的无奈
Khung fang chien che sheng wo te wu nai
Yang tersisa dalam ruangan ini hanyalah ketidakberdayaanku

花谢了花又开
Hua sie le hua yu kai
Bunga-bunga berguguran namun kembali mekar

你却不在回来
Nǐ cuei pu cai huei lai
 Tapi kau takkan pernah kembali

静静的试着忘了爱
Ching ching te she chi wang le ai
Perlahan-lahan aku mulai melupakan cinta

这么冷的冬天
Che mo leng te thung thien
Di tengah musim salju yang begitu dingin...

我走在一个人的街上
Wo chou cai yi khe ren te chie shang
Aku berjalan seorang diri di jalanan yang sepi

天空飘下了雪
Thien khung piao sia le xue
Salju perlahan turun dari langit...

而我想起了你
Er wo siang chi le ni
Saat aku mulai memikirkanmu...

就在这个时候眼泪流下来
Ciu cai che khe she hou yen lei liu sia lai
Saat itulah airmata menetes turun dari mataku...


Gadis kecil itu terus mengikuti suara merdu itu hingga akhirnya suara nyanyian itu terhenti dan berganti dengan sindiran tajam, “Apa yang kau lakukan di sini? Mengagetkan orang, seperti hantu saja!” ujar seorang anak laki-laki berusia sekitar 11 tahunan. Gadis kecil itu terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis dan berkata pelan, “Maaf sudah mengganggumu. Aku mengikuti suara nyanyianmu hingga tak sadar sampai kemari. Apa kau juga mencari Peri Salju? Apa kau sendirian di sini?” tanya si gadis kecil, memandang lurus ke depan, ke arah hamparan salju yang ada di depannya, walau sebenarnya anak laki-laki itu tak ada di sana.

“Apa kau buta? Kau tidak bisa lihat kalau aku sendirian? Siapa itu Peri Salju? Kau pasti salah satu anak di Panti Asuhan itu kan? Legenda bodoh. Hanya orang bodoh yang percaya Legenda si Peri Salju. Aku tersesat. Itu sebabnya aku bernyanyi karena aku berharap akan ada seseorang yang mendengar suara nyanyianku dan menolongku keluar dari hutan ini,” jawabnya ketus.

DEG. Jantung gadis kecil itu berdenyut sakit saat mendengar kalimat tajam itu keluar dari mulut anak laki-laki itu. “Apa kau buta?” hanya 3 kata tapi begitu menyakitkan baginya. Dada gadis itu terasa sesak, ingin rasanya dia menangis setiap kali mendengar kata itu di telinganya, tapi dia mencoba bersikap tegar.

“Jangan menangis, Xue Tung. Ini bukan pertama kalinya kau mendengar ada orang yang mengataimu buta. Kau gadis yang kuat, jangan menangis di hadapannya,” ujar Xue Tung dalam hatinya. Dia tidak menjawab sepatah katapun dan lebih memilih membalikkan badannya dan pergi dari sana.

“Dasar tidak sopan!” Xue Tung mendengar anak laki-laki itu bergumam pada dirinya sendiri karena Xue Tung tidak merespon ucapannya. Tapi Xue Tung tidak peduli, dia sudah belajar untuk menutup telinganya dari semua komentar pedas yang akan menyakiti hatinya. Dengan mantap dia berusaha berjalan pergi dengan hanya mengandalkan indra pendengarannya, tapi ternyata menjadi seseorang yang tak mampu melihat memang menyebalkan. Xue Tung tak menyadari saat kakinya menginjak dahan pohon yang tumbang ke tanah dan tertutup oleh salju yang tebal.

“Hei, awas!” dia mendengar anak laki-laki itu berteriak memperingatkannya tapi terlambat, Xue Tung sudah terlebih dulu tersandung dan jatuh berguling dengan keras menuruni gunung salju dan jatuh berdebam dengan keras ke tanah.

“AAARRGGHH!” suara teriakannya sangat nyaring dan memekakkan telinga. Xue Tung merasakan kakinya serasa patah saat dia terguling jatuh ke bawah. Tak lama kemudian dia mendengar suara langkah kaki mendekatinya disertai dengan napas tersengal-sengal.

“Kau tidak apa-apa?” tanya si anak laki-laki tadi seraya mencoba membantunya untuk duduk.

“Dasar bodoh! Kau benar-benar buta ya? Apa kau tidak melihat dahan pohon yang tumbang itu?” anak laki-laki itu justru memarahinya, tapi kali ini ada kecemasan dalam suaranya.

“Aku tidak apa-apa! Terima kasih,” jawab Xue Tung lirih seraya meletakkan salah satu tangannya di tanah bersalju dan mencoba untuk berdiri.

“Aaarrgghh!” ujarnya kesakitan saat menyadari dia tidak mampu berdiri.
“Apa yang kau lakukan? Apa kau tidak melihat kakimu terluka dan berdarah?” semprot si anak laki-laki itu lagi.

Xue Tung terdiam, mencoba menahan rasa sakit di hatinya. Dia mengangkat sebelah tangannya dan mencoba menyentuh kakinya yang terluka dan berdarah, dia bisa merasakan sesuatu yang lengket mengalir di kaki kanannya, tapi dia tidak tahu jika itu adalah darah.

“Andai saja kita bisa menelpon ambulance,” ujar si anak laki-laki tiba-tiba, membuat Xue Tung tersadar.

“Menelpon ambulance,” kalimat itu terngiang di telinganya. Dan secercah senyuman muncul di bibir Xue Tung saat dia menyadarinya.

“Walkie Talkie. Aku punya walkie talkie. Suster Kepala memberiku Walkie Talkie agar aku bisa menghubunginya jika tersesat,” ujar Xue Tung lirih, lebih kepada dirinya sendiri.

“Walkie Talkie. Mana Walkie Talkie-ku?” Xue Tung meraba-raba saku mantelnya tapi tidak menemukan apa pun.

“Pasti terjatuh. Pasti terjatuh saat aku terjatuh tadi. Tidak! Harus kutemukan,” gumamnya lagi. Sekali lagi lebih kepada dirinya sendiri. Dengan mengabaikan rasa sakit di kaki kanannya, Xue Tung berlutut dan mulai meraba-raba hamparan salju di sekelilingnya, matanya tetap memadang kosong ke depan, sementara kedua tangannya sibuk meraba-raba tanah bersalju di sekitarnya. Anak laki-laki itu tersentak saat menyadari apa yang dilakukannya. Dia menyadari 1 hal, gadis kecil itu benar-benar tak bisa melihat.

Gadis kecil itu terus saja meraba-raba tanah bersalju di sekitarnya, padahal sesuatu yang dia cari ada tepat di sampingnya, tapi gadis itu seolah tak melihatnya. Matanya hanya memandang luruh ke satu arah. Hati anak laki-laki itu menjerit pilu. Rasa bersalah muncul dalam hatinya.

“Apa yang sudah kulakukan? Dia benar-benar tak bisa melihat, tapi aku malah bersikap kasar padanya,” ujar si anak laki-laki itu dalam hatinya, menyesal. Perlahan dia mengambil Walkie Talkie itu dan menggenggam tangan si gadis kecil itu erat, gadis kecil itu sedikit terkejut saat ada seseorang yang tiba-tiba menggenggam tangannya, “Ini Walkie Talkie-mu. Tak usah kau cari lagi,” ujarnya lebih lembut.

Xue Tung merasakan perubahan dalam suaranya yang tadinya ketus dan dingin. Dia tersenyum kecil, “Dia pasti sudah menyadari keadaanku saat ini,” batinnya sinis.

“Terima kasih,” sahut Xue Tung lalu mulai meraba-raba Walkie Talkie itu dan memencet sebuah tombol.

“Suster Kepala, ini aku. Aku tersesat di hutan dan kakiku terluka dan berdarah, Bisakah Anda meminta Tim Sar mencari kami sekarang? Aku tak tahu aku ada di mana,” ujar Xue Tung di Walkie Talkie-nya.

“Benar. Aku bersama seorang anak laki-laki. Kami tak sengaja bertemu di tengah hutan ini,” lanjutnya lagi.

“Apa? Anda ingin bicara padanya?” ujar Xue Tung lagi, dia mengangguk lalu memberikan Walkie Talkie-nya, tapi sebenarnya dia memberikannya ke arah yang salah.

“Aku ada di depanmu, bukan di sampingmu,” jawab si anak laki-laki lalu meraih Walkie Talkie-nya.

“Oh,” hanya itu yang keluar dari bibir Xue Tung. Setelah si anak laki-laki itu bicara dengan Suster Kepala, dia segera mengembalikan Walkie Talkie-nya pada Xue Tung.

“Terima kasih,” ujarnya, kali ini jauh lebih sopan dari sebelumnya.
“Dan maafkan kekasaranku. Aku tidak tahu jika kau...” kalimatnya langsung terhenti oleh ucapan Xue Tung yang sinis, “Kau tidak tahu jika aku buta kan? Dan sekarang begitu kau tahu, kau kasihan padaku. Benarkan?” lanjut Xue Tung dingin. Sekarang dialah yang berbalik bersikap sinis.

“Tidak. Bukan seperti itu. Aku tahu sikapku terlalu kasar. Tak peduli kau buta atau tidak, aku seharusnya tidak berkata seperti itu. Aku benar-benar menyesal, aku...” ujarnya lagi, tapi Xue Tung sekali lagi memotong kalimatnya.

“Apa dengan kau minta maaf maka aku akan bisa melihat lagi? Apa dengan kau minta maaf, rasa sakit hatiku karena ucapanmu yang kasar itu bisa menghilang? Kau minta maaf atau tidak, takkan ada yang berubah,” jawab Xue Tung lagi.

“Kau gadis yang unik. Kulihat umurmu mungkin tak lebih dari 8 atau 9 tahun, tapi kau sangat tegar dan berani, kau jauh lebih dewasa dari gadis seusiamu. Gadis lain seusiamu pasti akan mengeluh atau menangis kesakitan bila mereka ada di posisimu. Tapi kau, tak ada setetespun airmata yang mengalir. Walau kakimu terluka dan berdarah, kau tetap bersikap seolah tak ada apa-apa,” ujar si anak laki-laki seraya duduk di sampingnya.

“Aku Ji Teng, tulus meminta maaf. Kuharap kita bisa berteman,” lanjutnya lagi, terdengar tulus.

“Tak ada seorangpun yang tulus ingin berteman dengan gadis buta. Jangan buat aku tertawa. Bila ayah kandungku saja menganggapku merepotkan, apalagi kau, seseorang yang tidak kukenal,” sindir Xue Tung tajam, seraya mengeratkan mantelnya mencoba menahan rasa dingin di tubuhnya akibat hembusan angin musim dingin.

Ji Teng melihatnya dan mendadak dia punya sebuah ide di kepalanya. Dengan mengabaikan ucapan Xue Tung yang ketus, dia meraih tangan gadis itu dan menggendongnya di punggungnya.

“Apa yang kau lakukan?” tanya Xue Tung kaget.
“Menggendongmu turun gunung. Kita berdua bisa mati membeku di dalam hutan ini jika tidak segera keluar,” jawab Ji Teng seraya berusaha menggendongnya.

“Aku tidak mau. Aku tidak butuh rasa kasihanmu. Kau pergilah sendiri! Tim Sar pasti akan segera menemukanku,” jawab Xue Tung menolak, dia menampik tangan Ji Teng dengan kasar.

“Jangan keras kepala! Kakimu terluka,” Ji Teng mulai menaikkan nada suaranya.
“Apa kau ingin menolongku karena merasa bersalah padaku telah bersikap kasar sebelumnya?” sindir Xue Tung lagi.

“Aku tidak peduli apa yang kau katakan. Jika tidak segera keluar, kita bisa mati membeku dalam hutan,” ujar Ji Teng bersikeras, tak kalah keras kepalanya.

“Aku hidup ataupun mati, takkan ada yang peduli. Gadis buta sepertiku tak ada yang menginginkan aku. Bukankah lebih baik jika aku mati saja? Itu lebih baik daripada selalu merepotkan orang lain, benarkan? Satu-satunya orang yang peduli padaku sudah tak ada lagi di dunia ini,” mendadak suara Xue Tung terdengar sedih, setetes air jatuh dari sudut matanya yang tak nampak cahaya di sana. Ji Teng terdiam, hatinya ikut merasakan kesedihan. Dia sempat melihat airmata jatuh di pipi Xue Tung namun gadis itu dengan cepat menghapusnya.

“Dia menangis. Bukan karena luka di kakinya, tapi karena tak ada yang peduli padanya. Apakah rasa sakit akibat diabaikan jauh lebih sakit daripada luka di kakinya yang berdarah? Kau gadis yang unik, tapi sangat malang. Andai saja ada yang bisa kulakukan untuk menghiburmu. Maafkan aku. Maafkan sikapmu yang kasar padamu,” batin Ji Teng dalam hati lalu kembali menggendong gadis itu di punggungnya.

“Hei, turunkan aku!” Xue Tung memprotes seraya memukul-mukul pundak Ji Teng, memintanya menurunkannya.

“Diamlah! Atau kita akan jatuh bersama. Kau mau kakimu yang lain juga patah? Bukankah kau tidak ingin merepotkan orang? Jika kedua kakimu patah, kau akan makin merepotkan,” jawab Ji Teng cuek.

“Aku benci kau. Kau menyebalkan!” jawab Xue Tung dengan cemberut.
“Terserah. Benci aku jika kau mau,” jawab Ji Teng cuek, tapi senyuman kecil muncul di bibirnya saat menyadari Xue Tung sudah tak lagi memberontak, sebaliknya dia melingkarkan kedua lengannya di leher Ji Teng, memeluknya agar tidak terjatuh.

“Hei Nona kecil, siapa namamu?” tanya Ji Teng setelah keheningan beberapa saat. Tak ada jawaban dari Xue Tung.

“Hei, aku bertanya padamu,” Ji Teng menaikkan nada suaranya, tapi tetap tak ada jawaban dari Xue Tung.

“Jangan buat aku takut. Kau baik-baik saja kan?” tanya Ji Teng lagi dengan sedikit panik. Tak lama kemudian, tangan Xue Tung yang memeluk lehernya terkulai lemas, membuat Ji Teng semakin panik.

“Hei, gadis salju. Jawab aku! Jangan buat aku takut,” ujarnya lalu menurunkan Xue Tung perlahan, dan menyadari jika di tempat yang mereka lewati terdapat banyak sekali jejak merah. Darah, darah dari kaki Xue Tung berceceran di tanah bersalju, meninggalkan bercak-bercak merah bagaikan sirup strawberry di atas es krim yang putih.

Ji Teng mendadak panik saat menyadari kening Xue Tung menjadi panas. Dia demam, luka di kaki kanannya pasti menimbulkan infeksi ditambah dengan pendarahan yang tak juga berhenti sedari tadi.

“Gadis bodoh, kenapa kau tidak menangis? Kakimu terluka separah ini kenapa kau tidak menangis?” Ji Teng memaki kesal namun cemas, saat dia dengan nekat merobek celana Xue Tung untuk melihat luka di kaki kanannya. Darah terus mengalir tak henti dari sana, ternyata ada ranting yang tertancap di kakinya, membuat luka di kakinya menganga dan berdarah. Tapi anehnya gadis itu tidak meneteskan airmata atau berteriak kesakitan.

“Apa kau benar-benar mati rasa? Luka separah ini kenapa kau tidak menangis? Kupikir ini hanya luka kecil. Tapi lihat ini! Pendarahan di kakimu tak kunjung berhenti, Jika terus seperti ini, kau bisa mati kehabisan darah,” Ji Teng mengomel pada Xue Tung yang pingsan. Dia benar-benar dicengkeram kepanikan sekarang.

“Apa kau masih punya airmata? Gadis seusiamu pasti akan menangis kesakitan dengan luka separah ini, tapi kau?” Ji Teng tak tahu lagi harus bicara apa. Dia segera melepas syal di lehernya dan menggunakannya untuk membalut kaki Xue Tung yang berdarah.

“Dingin,” gumam Xue Tung setengah sadar di tengah demamnya yang semakin tinggi. Luka di kakinya benar-benar menimbulkan infeksi. Ji Teng segera melepaskan mantelnya dan menyelimutkannya di tubuh Xue Tung yang menggigil.

“Tenanglah. Aku akan membawa kita keluar dari sini,” ujar Ji Teng seraya memeluk tubuh Xue Tung erat. Kali ini dia menggendong Xue Tung di depan dadanya, bukan di punggungnya lagi. Dengan begini, dia bisa menggendong sekaligus memeluknya. Hujan salju mendadak turun semakin lebat, udara semakin dingin mencekam dan kaki kanan Xue Tung masih meninggalkan bercak darah di setiap tempat yang mereka lewati. Ji Teng berusaha keras mencari jalan keluar dari dalam hutan, tapi baginya semua jalan tampak sama.

Saat sedang putus asa, dia teringat dengan ucapan ibunya, “Jika kau tersesat dan tak tahu jalan pulang, lihatlah ke atas! Carilah bintang yang paling terang, POLARIS, bintang yang dijadikan penanda arah utara, dia akan membantumu mencari jalan pulang,” kenang Ji Teng pada ucapan ibunya. Ji Teng berdiri sejenak menatap ke langit malam, dan akhirnya dia melihat satu bintang yang paling terang melebihi jutaan bintang lainnya.

“Itu POLARIS. Kau lihat itu, gadis salju. Aku menemukan Polaris. Aku akan menyelamatkanmu. Aku pasti menyelamatkanmu,” Ji Teng berseru lega dan berjalan lebih cepat dengan menggunakan bintang itu sebagai penanda. Hingga akhirnya entah bagaimana caranya, mereka akhirnya tiba di tepi hutan.

“Kita keluar. Kau lihat! Kita sudah keluar. Buka matamu! Sadarlah!” Ji Teng menggoyang-goyangkan tubuh Xue Tung yang masih pingsan dengan gembira.

Ji Teng bisa melihat banyak orang berhilir mudik dengan Walkie Talkie di telinga mereka, mereka mengenakan jaket berwarna orange menyala. Tim Sar. Ji Teng yakin mereka adalah Tim Sar yang ditugaskan untuk mencari mereka.

“Kami di sini. Tolong kami! Gadis kecil ini terluka,” teriak Ji Teng lantang, dan tak lama kemudian beberapa orang Tim Sar menghampiri mereka dan meraih tubuh Xue Tung yang pingsan dan segera membawanya ke dalam mobil ambulance yang sudah disiapkan.

Sejak malam itu, Ji Teng rutin mengunjungi Xue Tung di Rumah Sakit, walau Xue Tung nampak tak peduli dengan kedatangannya.

“Kau datang lagi?” tanya Xue Tung dingin saat mendengar suara langkah seseorang mendekatinya.

“Hai, apa kau sudah merasa lebih baik hari ini, Xue Tung?” tanya Ji Teng sambil tersenyum ramah walaupun Xue Tung takkan bisa melihatnya.

“Dari mana kau tahu namaku?” Xue Tung balik bertanya dengan penasaran.
“Aku penolongmu, tentu saja aku harus tahu namamu,” jawab Ji Teng seraya membuka tirai jendela agar cahaya matahari dapat masuk ke dalam kamarnya.
“Suster Kepala yang memberitahumu?” tebak Xue Tung singkat.

“Kenapa tirainya tidak dibuka? Matahari akhirnya bersinar cerah setelah berhari-hari Taipei dilanda badai salju,” Ji Teng mengalihkan pembicaraan.

“Tirai itu ditutup atau dibuka, bagiku tak ada bedanya. Secerah apa pun matahari di luar sana tetap tak bisa menyinari duniaku yang gelap,” ujar Xue Tung dingin dan sedih lalu kembali membaringkan tubuhnya di kasur seraya menarik selimutnya.

DEG. Untuk sesaat, Ji Teng benar-benar lupa kalau Xue Tung tak bisa melihat. Dia spontan berpaling pada gadis itu dan menyadari jika raut wajah gadis itu berubah menjadi sedih.
“Maafkan aku. Aku benar-benar lupa kalau kau...” lagi-lagi gadis itu memotong kalimatnya dengan dingin, “Lupa kalau aku buta?” lanjutnya dingin.

“Aku ingin tidur. Terima kasih sudah menolongku. Tapi jika tidak ada lagi yang ingin kau lakukan, lebih baik kau pergi sekarang,” lanjutnya lagi, mengusir dengan sopan. Ji Teng menarik napas berat, gadis ini benar-benar sesuai dengan namanya, gadis salju yang dingin.

“Aku benar-benar tulus ingin berteman denganmu. Tapi sepertinya kau tidak suka padaku,” ujar Ji Teng dengan sedih, tapi saat dia akan melangkah keluar pintu, Xue Tung menahannya.

“Tunggu! Tahun Baru nanti, Suster Kepala akan mengadakan perayaan kecil, jika kau tidak keberatan, kau bisa datang ke Panti Asuhan kami. Mungkin kita bisa merayakan Tahun Baru bersama,” ujar Xue Tung sedikit tersentuh dengan ketulusan Ji Teng. Dia perlahan duduk di atas ranjangnya dan tersenyum kecil.

“Kau mengundangku? Benarkah? Apa itu berarti kita sudah berteman?” entah sejak kapan, Ji Teng sudah duduk di samping ranjangnya dan menggenggam tangan Xue Tung erat, membuat Xue Tung salah tingkah. Tiba-tiba saja dia merasakan detak jantungnya berdetak lebih cepat saat Ji Teng menggenggam tangannya.

“Jika kau tak keberatan,” jawab Xue Tung lirih seraya memalingkan wajahnya malu.
“Terima kasih. Aku pasti akan datang, teman,” ujar Ji Teng seraya memeluk Xue Tung spontan dan membelai rambut panjangnya. Detak jantung Xue Tung bergerak jauh lebih cepat dari biasanya. Kehangatan itu menjalar ke seluruh tubuhnya, Dengan canggung dia membalas pelukan hangat Ji Teng di tubuhnya.

Sejak itu pula, mereka semakin dekat. Ji Teng selalu menghabiskan hari-hari libur musim dinginnya di Panti Asuhan tempat Xue Tung tinggal. Xue Tung yang buta sebelumnya sama sekali tak memiliki teman, Ji Teng adalah temannya yang pertama dan juga satu-satunya.

“Kemarilah! Xue Tung, lihat! Manusia saljunya sudah jadi,” ujar Ji Teng dengan gembira lalu menggandeng tangan Xue Tung dan meletakkannya di kepala Manusia Salju yang dia buat.




“Auuww. Dingin sekali,” ujar Xue Tung seraya menarik tangannya spontan tak lama setelah Ji Teng meletakkan tangan kanan Xue Tung di atas kepala manusia salju itu.

“Ayo! Aku akan mengajarimu membuatnya,” ajak Ji Teng lalu membimbing tangan Xue Tung membuat sebuah gumpalan dari salju yang jatuh di tanah. Dan begitulah akhirnya, Ji Teng perlahan mengajari Xue Tung segala hal, membuat manusia salju, istana salju, bermain ice skeating, bermain piano, bernyanyi dan mereka melakukan segala hal bersama, tertawa dan bermain bersama, membuat Xue Tung merasa sangat bahagia. Kehadiran Ji Teng membuat dunia Xue Tung tak lagi dingin, perlahan tapi pasti dia mulai bisa tertawa lagi.

“Sia-sia saja. Tidak peduli seindah apa pun kita membuatnya, bila Musim Semi tiba, Istana Salju ini pasti akan hancur seketika,” tiba-tiba saja Xue Tung merasa sedih ketika membayangkan Istana Salju yang sudah mereka buat dengan susah payah hancur begitu saja bila Musim Semi telah tiba.

“Tidak peduli walaupun harus hancur berkali-kali, asalkan kau memintaku membuatnya, aku akan membuatkannya lagi untukmu. Kita akan membangun kembali Istana Salju ini bersama,” jawab Ji Teng penuh semangat.

Xue Tung tersenyum senang, “Benarkah? Kau berjanji kita akan membangunnya bersama?” ujar Xue Tung dengan ceria. Ji Teng berjalan mendekati gadis itu dan dan menggenggam tangannya dengan erat, “Aku berjanji. Tidak peduli kelak aku akan pergi sejauh apa pun, aku pasti akan kembali ke sisimu dan kita akan membangun Istana Salju ini bersama-sama,” janji Ji Teng tulus. Mendengar kalimat Ji Teng barusan, hati Xue Tung merasakan ketidakberesan. Ekspresi bahagia di wajahnya mendadak hilang dan berganti dengan cemas.

“Apa ada yang ingin kau katakan padaku?” tanya Xue Tung dengan suara berat. Xue Tung mendengar Ji Teng menarik napas lalu meletakkan sesuatu di tangan kanannya.

“Ini untukmu!” ujar Ji Teng pada Xue Tung yang menerimanya dengan bingung.
“Apa ini?” tanya Xue Tung seraya meraba kotak itu perlahan.
“Hadiah Natalku untukmu,” jawab Ji Teng, entah kenapa nada suaranya terdengar sangat sedih, dan di detik itu Xue Tung menyadari sesuatu yang buruk pasti akan terjadi.

“Tapi Natal sudah berlalu,” jawab Xue Tung lirih.
“Tidak apa-apa. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali kan?” jawab Ji Teng hangat.

“Bukalah!” ujarnya lagi, Xue Tung tersenyum kecil lalu mulai meraba kotak itu dan membukanya perlahan, dia meraba ke dalam kotaknya dan menyadari jika ada sebuah bola kristal di dalamnya.





“Bola Kristal?” ujar Xue Tung dengan mata berbinar senang saat menyentuhnya.
“Xue Tung, jika kau diberi kesempatan untuk membuat satu permohonan di Hari Natal, apa yang akan kau minta?” tanya Ji Teng tiba-tiba.

“Jika itu adalah aku, aku tidak mengharapkan apa-apa selain bisa melihat seberkas cahaya,” jawab Xue Tung dengan sedih.

“Lalu kau? Apa permintaanmu?” Xue Tung balik bertanya pada Ji Teng.
“Bagiku, kau adalah gadis yang sangat special. Kau berani, tegar dan tak pantang menyerah. Jika seandainya aku diberi kesempatan untuk membuat sebuah permohonan, maka yang kuinginkan adalah aku sangat berharap kau bisa melihat wajahku sekali saja,” ujar Ji Teng tulus, membuat Xue Tung tersentuh.

“Ji Teng...” Xue Tung merasakan firasat buruk setelah mendengar ucapan Ji Teng barusan.

“Xue Tung, mungkin setelah ini kita tidak akan bertemu lagi. Ayahku akan mengirimku belajar ke Amerika. Tapi jangan khawatir, aku berjanji akan segera kembali untuk menemuimu. Kelak saat aku kembali, aku berjanji aku akan membuat matamu melihat kembali. Aku akan mencari uang yang banyak untukmu agar kau bisa operasi. Agar impianku supaya kau bisa melihat wajahku bisa terkabul,” ujar Ji Teng seraya menggenggam tangan Xue Tung erat.

Xue Tung merasakan hatinya sangat perih. Sakit sekali. Setetes air jatuh dari matanya yang indah namun tidak bercahaya itu.
“Pergilah! Kejarlah impianmu. Aku akan tetap di sini, menunggumu kembali,” jawab Xue Tung tulus walau airmata mengalir di pelupuk matanya.

“Kau menangis? Karena aku?” tanya Ji Teng seraya menghapus airmata Xue Tung dengan jempolnya. Xue Tung memalingkan wajahnya dan dengan cepat menghapus airmatanya.

“Berjanjilah padaku kau akan jadi anak yang pintar. Atau aku takkan mau mengakuimu sebagai teman,” ujar Xue Tung, mencoba tegar.

“Kau yang tak pernah meneteskan airmata, bahkan saat kakimu terluka dan berdarah, kini kau menangis untukku. Terima kasih untuk airmatamu itu, kelak aku berjanji akan mengganti airmata itu dengan kebahagiaan seumur hidup,” janji Ji Teng dalam hatinya lalu menarik Xue Tung ke dalam pelukannya.

“Aku akan kembali. Aku pasti akan kembali untukmu,” janji Ji Teng dan mereka berduapun menangis pilu.

“Xue Tung, aku ingin kau menyimpan kalung ini sebagai pengenal saat kita bertemu lagi. Karena kau tak bisa melihatku maka akulah yang harus lebih dulu mengenalimu. Jika kau memakai kalung ini, aku akan tahu bahwa kaulah gadis yang selama ini menungguku,” ujar Ji Teng lalu melepas kalung dari lehernya dan memakaikannya di leher Xue Tung. Sebuah kalung dengan liontin berbentuk bunga Lotus.




“Apa pun yang terjadi, kau tak boleh melepaskan kalung ini. Hingga aku kembali, kau tak boleh melepaskannya. Aku akan kembali untukmu, juga untuk mengambil kembali kalung ini. Jaga kalung ini untukku, karena ini adalah peninggalan terakhir Ibuku,” pinta Ji Teng dengan sungguh-sungguh.

“Aku berjanji, aku akan menunggumu kembali bersama kalung ini. Kapan kau akan pergi?” tanya Xue Tung, suaranya terdengar tak rela.

“Besok pagi,” jawab Ji Teng sedih.
“Secepat itu?” hati Xue Tung semakin sakit, airmata mengalir lagi.

“Jangan menangis. Semakin cepat aku pergi, semakin cepat aku kembali. Berjanjilah kau akan menungguku,” ujar Ji Teng menghibur temannya.

“Oh ya, aku juga ingin kau berjanji padaku, saat aku datang, kau akan menyambutku dengan senyuman. Aku ingin kau lebih banyak tersenyum, karena kau sangat cantik bila tersenyum,” lanjut Ji Teng seraya menggenggam tangannya erat.

“Ji Teng...” Xue Tung merasakan hatinya sangat perih.
“Teruslah hidup dengan tersenyum. Tersenyumlah walau saat itu kau ingin menangis. Anggap saja kau melakukannya untukku. Karena mungkin kau takkan tahu, bila tiba-tiba saja aku sudah berdiri di hadapanmu,” ujar Ji Teng meminta janji.

Dia tahu Xue Tung gadis yang tertutup, dia tak mudah menunjukkan perasaannya. Walau sakitpun, dia akan berpura-pura tak merasakan apa-apa. Sulit baginya membuat Xue Tung tersenyum apalagi tertawa lepas, dan dia tahu saat dia pergi nanti, gadis ini pasti akan kembali menjadi Xue Tung yang dulu, Xue Tung yang dingin, mati rasa dan tertutup pada dunia luar, Ji Teng tak mau itu, dia ingin Xue Tung memiliki banyak teman. Dengan begitu dia takkan khawatir jika kelak dia tak ada di sisinya.

“Aku berjanji akan menjalani hidup ini dengan senyuman. Saat kau kembali, aku akan menyambutmu dengan senyumanku yang paling manis,” janji Xue Tung, berusaha tersenyum walau hatinya mulai merasa sepi.

“Itu baru gadisku yang baik,” jawab Ji Teng seraya mengacak-acak rambut Xue Tung dengan sayang.

“Dan saat aku kembali, aku akan membantumu menemukan si Peri Salju. Bukankah Peri Salju hanya muncul di Malam Natal? Tapi sekarang Natal sudah lewat, berarti kita harus menunggu Natal berikutnya,” hibur Ji Teng lagi.

“Aku tahu. Selamat tinggal,” jawab Xue Tung sedih.
“Tidak. Bukan selamat tinggal tapi sampai jumpa lagi,” ujar Ji Teng lalu memeluk Xue Tung untuk terakhir kali.

12 tahun telah berlalu, Xue Tung telah tumbuh menjadi gadis yang muda yang cantik. Walau tak bisa melihat tapi Xue Tung berbakat dalam memainkan piano. Selama 12 tahun ini, tak pernah sedetikpun Xue Tung berhenti memikirkan Ji Teng, teman masa kecilnya, satu-satunya teman yang dia miliki dan yang tulus berteman dengannya. Diapun selalu mengenakan kalung dengan liontin Lotus yang diberikan Ji Teng padanya, Xue Tung tetap percaya bahwa suatu hari nanti Ji Teng akan kembali untuknya.

To Be Continued...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar