Jumat, 25 Desember 2015

Winter Wish : Chapter 3 (Snow Angel Fanfiction Special Christmas)

Author : Liliana Tan

Starring :
TORO Energy as Ji Teng / TORO
Margaret Wang as Chi Xue Tung / Snow Lotus (Xue Lian)
Shu Wei Energy as himself
Niu Nai Energy as Himself
Ah Di Energy as Himself
Kunda Energy as Himself
Johny Yen as Chi Xing Feng
Cheryl Yang as Elaine

NB : SPECIAL CHRISTMAS.

“Winter Wish : Chapter 3 (Snow Angel Fanfiction Special Christmas)”






Esoknya, Alishan National Recreation Area Resort..
“Xue Tung, ini pianonya. Kau bisa berlatih di sini dulu. Xing Feng bilang dia akan menemuimu untuk makan siang. Tunggulah dia di sini,” ujar seorang wanita bertubuh tinggi dengan ramah pada Xue Tung.

“Elaine, jangan memanggilku Xue Tung. Aku di sini sebagai Xue Lian - Snow Lotus, bukan sebagai Xue Tung,” ujar Xue Tung lirih.

“Baiklah. Nona Xue Lian, kutinggalkan kau di sini untuk berlatih. Kau tunggulah salah satu dari kami datang untuk menjemputmu makan siang, okay?” jawab Elaine sambil tersenyum mengerti. Xue Tung mengangguk mengerti dan mulai meraba piano itu dan memainkan jari-jarinya dengan asyik, sebuah melodi yang indah namun sedih mulai mengalun lirih. Gadis itu sama sekali tak menatap tutsnya, tentu saja karena dia tak mampu melihat, tapi dia sangat hapal letak semua nada di tuts itu.




Dia tampak asyik memainkan jarinya sehingga tak sadar ada seseorang yang sedari tadi hanya terdiam mengamatinya. TORO menatap kagum pada gadis di hadapannya, tanpa sadar dia makin terpesona makin dalam. Perlahan dia mendekat, gadis itu tetap tak menyadari kehadirannya.

“Lagu yang indah, tapi entah kenapa melodinya terdengar sedih?” ujarnya tiba-tiba, sontak membuat gadis itu tersentak lalu menghentikan permainannya. Dia menelengkan kepalanya seolah berpikir dan akhirnya dia tersenyum manis.




“Aku tahu siapa kau. Kau yang waktu itu menabrakku dan mengantarku ke restoran kan? Tuan, apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya ramah, merasa senang karena bertemu orang yang dikenalnya. TORO tersenyum, gadis di depannya masih tetap saja ramah.

“Lotus karena dia cantik bagai bunga dan Snow karena dia dingin bagai salju,” kenangnya pada ucapan pelayan di restoran itu. Tapi dia hanya tersenyum tipis tak percaya.

“Apanya yang dingin bagai salju? Dia begitu hangat padaku sejak pertama kali bertemu. Dia selalu menunjukkan senyuman manis dan pancaran mata yang hangat, walau mata itu tak mampu melihat apa-apa,” batinnya sedih tapi secercah kebahagiaan muncul di hatinya mengingat mungkin hanya dia yang tidak diperlakukan dengan dingin oleh gadis ini.

“Tuan, tuan...apa kau masih di sini?” tanyanya lagi, membuyarkan lamunan TORO.
“Ah iya... Aku masih di sini. Maaf, aku begitu terpesona pada permainan pianomu sampai jadi lupa diri,” TORO beralasan.
“Apa kau sedang berlibur?” tanyanya lagi.
“Kau sendiri?” TORO balik bertanya dengan penasaran, masih tak menyangka dia akan bertemu gadis itu di sini.

Gadis itu tersenyum lalu mereka mulai mengobrol dengan akrab. Gadis itu menceritakan betapa beruntungnya dia karena diminta tampil dalam pertunjukan Natal dan Tahun Baru oleh General Manager Yong Chi Group.

“Selama ini aku selalu diremehkan, ini pertama kalinya aku merasa dihargai,” ujarnya dengan tersenyum manis.

“Kalau boleh tahu, siapa yang mengajarimu bermain piano?” tanya TORO seraya duduk di samping gadis itu di depan piano.
“Seorang teman lama...” jawabnya singkat tapi menunjukkan kesedihan.

“Melihat dari caramu bicara sepertinya dia sangat berarti dalam hidupmu,” goda TORO, walau dalam hatinya dia merasa ketakutan, takut jika gadis di sampingnya ini sudah memiliki penjaga hati. Xue Tung terdiam lalu tersenyum malu, semburat merah muncul di pipinya yang seputih salju.

“Dia temanku satu-satunya. Dia yang tak pernah lelah menghiburku, dia yang mengajariku segala hal. Bagiku, dia adalah orang yang sangat spesial,” jawab Xue Tung dengan bibir tersenyum bahagia setiap dia membicarakan orang itu. Hati TORO berdesir perih, dia tersenyum sinis pada dirinya sendiri.

“Gadis ini sudah memiliki tambatan hati. Apalagi yang kau harapkan, TORO?” batinnya sinis pada dirinya sendiri.
“Lalu di mana dia saat ini?” tanya TORO semakin penasaran.
“Ji Teng, dia sudah pergi,” jawab Xue Tung sedih.

DEG. Ji Teng. Nama itu sepertinya tak asing di telinga TORO, Di mana dia pernah mendengarnya? TORO menelengkan kepalanya mengingat, tapi tetap saja dia tak ingat apa-apa.

“Tapi dia berjanji padaku akan segera kembali. Sebelum dia pergi dia memintaku agar selalu tersenyum, karena aku tidak tahu kapan dia akan muncul kembali ke hadapanku. Jika dia melihatku tidak tersenyum, Ji Teng akan marah padaku,” lanjut Xue Tung dengan cemberut.

“Jadi JI Teng adalah satu-satunya alasanmu untuk tersenyum?” TORO berkata lirih, sebersit rasa sesak muncul di hatinya saat mengucapkan kalimat itu.
“Kau mencintainya kan?” tanya TORO lagi, semakin sakit.

Xue Tung terdiam sesaat, merenung lalu balik bertanya bingung.
“Apa itu yang namanya cinta? Aku tidak tahu cinta itu apa, aku hanya tahu aku merasa sangat bahagia setiap kali aku mengingatnya. Tidak peduli walau aku harus menunggu belasan tahun lamanya, asal percaya dia pasti akan kembali suatu hari nanti, aku sudah sangat bahagia. Aku bodoh kan?” ujar Xue Tung sambil tertawa geli.

“Tapi aku lebih bodoh lagi karena menceritakan semua ini padamu, pada seseorang yang baru kukenal. Padahal sebelumnya aku tak pernah bicara banyak pada orang yang tidak kukenal. Tapi denganmu, entah kenapa aku merasakan sesuatu yang berbeda,” lanjut Xue Tung, merasa dirinya sangat konyol.

Mendengar ucapannya, entah kenapa hati TORO menjadi sedikit lebih baik, dia mendadak merasa mendapatkan secercah harapan dan semangat.

“Benarkah? Kau merasa seperti itu? Sungguh aneh. Akupun merasakan hal yang sama, padahal sebelumnya aku tak pernah dekat dengan wanita,”  ujar TORO dengan salah tingkah, bagaikan remaja yang baru pertama kali jatuh cinta.

“Eh, aku belum tahu namamu, Tuan. Lalu bagaimana aku harus memanggilmu?” Xue Tung menoleh ke arah TORO namun tatapan matanya hanya memandang kosong ke satu arah. Mengingat gadis itu tak bisa melihat wajahnya, hati TORO mendadak merasakan sakit yang amat sangat.

“TORO,” jawabnya singkat.
“TORO? Apa kau personil boyband Energy? Kau TORO yang sama?” tanya Xue Tung setengah kaget.
“Benar,” jawabnya singkat.

“TIDAK! Aku berteman dengan seorang idola? Ini hebat sekali! Aku tak percaya. Boleh aku minta tanda tanganmu? Walaupun aku tidak bisa melihatnya sekarang, tapi suatu hari nanti aku pasti bisa melihatnya,” ujar Xue Tung tampak bersemangat.

“Aku tidak sabar menunggu hari di mana aku bisa melihat kembali. Kau tahu? Yong Chi Group menawarkan kontrak yang sangat mahal untukku, dengan itu aku bisa mengoperasi mataku, hebat kan? Saat aku bisa melihat kembali, orang yang ingin kulihat adalah Ji Teng, lalu kemudian kau, lalu kakakku, lalu Peri Salju...” ujar Xue Tung dengan senyum gembira di wajahnya yang cantik. Dia memegang lengan TORO yang duduk di sampingnya dan bercerita dengan gembira. Senyuman Xue Tung membuat TORO tanpa sadar ikut tersenyum.

“Kau sangat cantik bila tersenyum,” gumam TORO lirih, tanpa sadar menyentuh pipi Xue Tung dan membelainya lembut. Xue Tung tersentak. Kata-kata yang sama seperti yang pernah diucapkan Ji Teng padanya.

“Ji Teng,” ujar Xue Tung seraya menggenggam tangan TORO di pipinya sambil menangis.
“Apa kau Ji Teng?” tanya Xue Tung dengan sorot mata penuh harap. TORO tak mengerti apa yang terjadi, dia bingung harus menjawab apa. Melihat Xue Tung tampak begitu merindukan Ji Teng, hati TORO merasakan rasa sakit yang aneh.

“Kurasa kau terlalu merindukannya, benarkan? Tapi jika kau menginginkannya, kau bisa menganggapku sebagai Ji Teng,” ujar TORO lalu perlahan mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Xue Tung dengan dalam.

Terkejut sesaat lalu sebuah tamparan keras mendarat di pipi TORO disertai dengan kalimat tajam, “Beraninya kau menciumku? Kau pikir aku apa? Apa karena aku buta jadi kau pikir bisa melecehkan aku seenaknya? Kupikir kita berteman, ternyata aku salah menilaimu,” ujar Xue Tung sambil menangis terisak. Pria kurang ajar ini berani menciumnya, mencuri ciuman pertama yang dia jaga untuk Ji Teng-nya.

“Xue Lian, tunggu sebentar. Aku bisa menjelaskannya,” TORO mencoba menjelaskan masalahnya.

“Aku tidak mau mendengar. Kau pria kurang ajar yang sudah mencuri ciuman pertamaku. Ciuman pertama yang ingin kujaga untuk Ji Teng. Aku membencimu. Aku harap kita takkan pernah lagi bertemu,” ujar Xue Tung marah dengan terisak. Rasa bersalah mencengkeram TORO, untuk sesaat tadi, dia benar-benar terjerat dengan pesona Xue Tung dan melupakan tata krama.

“Aku minta maaf. Aku benar-benar minta maaf. Aku tidak sengaja. Aku tidak tahu kenapa bisa lepas kendali seperti itu,” TORO tampak putus asa menjelaskannya. Tapi Xue Tung tak mau mendengar.

“Aku bersyukur karena tak bisa melihat wajahmu. Dan kuharap selamanya aku tak perlu melihatmu,” lalu segera meraih tongkatnya dan bergegas pergi dari sana dengan airmata mengalir deras.

“SHIT! Kenapa aku tidak bisa mengendalikan diriku? Dia benar. Kau maniak, TORO! Kau pria brengsek! Gadis mana yang tidak marah dicium begitu saja oleh pria yang baru saja dikenalnya?” TORO mengutuk dirinya sendiri kesal saat melihat Xue Tung berlalu pergi dengan menangis. Dia ingin mengejar, tapi dia tahu itu percuma saja.

=====

“Aku benci padanya! Beraninya dia tiba-tiba menciumku seperti tadi! Dia pikir dia siapa? Apakah dia pikir aku wanita murahan? Apakah seorang artis idola berhak mencium siapa saja?” ujar Xue Tung kesal saat sudah berada di tengah hamparan salju di Alishan Resort. Dia menghapus airmatanya dengan cepat lalu berusaha mengenyahkan kenangan itu dari hadapannya.

Saat dia akan melangkah, dia mendengar seseorang berteriak padanya dengan lantang, “Nona, awas! Di belakangmu!” seru seorang pria muda dengan lantang, dan detik berikutnya Xue Tung merasakan tubuhnya dihantam sesuatu yang berat dan terhempas keras ke tanah.

“Maafkan aku!” ujar seorang pria muda dengan suara berat.
“Kau tiba-tiba saja muncul di hadapanku, aku tidak bisa menghentikannya,” lanjut pemuda itu merasa bersalah.

“Hei, apa yang kau lakukan? Kau bisa main ski, tidak?” seorang pria muda yang lain memarahinya. Dia adalah pemilik suara yang tadi memberinya peringatan.
“Tapi aku tak sengaja. Nona, aku minta maaf,” ujar si penabrak.

“Sudahlah. Tidak apa-apa! Aku yang tidak bisa melihatmu. Ini juga salahku. Lupakan saja!” jawab Xue Tung lirih, sedang malas berdebat. Dia merasa kaki kanannya terluka, dia menyentuh kaki kanannya dengan perlahan. Lagi, cairan lengket mengalir di kakinya yang terluka, tapi dia berusaha menahan sakitnya.

“Terima kasih. Maafkan aku!” ujar si penabrak sekali lagi.
“Sudah. Pergi sana. Hati-hatilah lain kali!” seru si pria pertama masih kesal.

“Kau tidak apa-apa?” tanya pria muda itu tampak cemas. Xue Tung menggelengkan kepalanya singkat, “Hanya terkilir. Bukan masalah besar,” jawab Xue Tung seraya menahan sakitnya.

“Mari kubantu berdiri,” ujarnya lagi seraya menggamit lengan Xue Tung tapi saat akan mencoba berdiri, Xue Tung merasakan sakit di kakinya dan spontan terjatuh kembali di tanah.
“Auuuww,” erangnya pelan.

“Kakimu terluka? Kau tak bisa berdiri? Kau menginap di kamar nomor berapa? Aku akan mengantarmu ke kamar,” tanya si pria muda dengan cemas.

Xue Tung menggeleng pelan seraya meraba-raba tanah bersalju di sekitarnya, mencari tongkatnya yang hilang saat terjatuh.
“Mana tongkatku?” gumamnya pada dirinya sendiri. Si pria muda tersentak saat melihat Xue Tung meraba-raba tanah di sekitarnya dan mencari tongkatnya dengan panik.

“Apa kau mencari ini?” seru si pria muda seraya meraih tangan kanan Xue Tung dan meletakkan tongkatnya di tangannya. Xue Tung tersenyum lega saat tongkatnya kembali.

“Terima kasih,” jawab Xue Tung lirih lalu berusaha berdiri dengan berpegangan pada tongkatnya, tapi tidak peduli berapa kalipun dia mencoba berdiri, dia selalu terjatuh lagi.

“Sial,” maki Xue Tung kesal pada kakinya sendiri, tapi tak ada airmata yang menetes dari matanya.

“Jangan keras kepala! Biar aku mengantarmu ke kamarmu,” ujar si pria muda itu lalu dengan cepat meraih tubuh Xue Tung dan menggendongnya di depan dada.

“Hei, aku tak mengenalmu. Cepat turunkan aku!” protes Xue Tung kesal saat tiba-tiba seorang pria tak dikenal menggendongnya begitu saja.

“Namaku Niu Nai,” jawabnya singkat sambil tetap menggendong Xue Tung dan berjalan meninggalkan area  bermain ski itu.

“Milk? Niu Nai yang berarti Milk kan? Lucu sekali,” Xue Tung mendadak tertawa kecil mendengar ada seorang pria yang menamakan dirinya “Susu”. Mendengar suara tawa Xue Tung yang renyah, entah kenapa hati Niu Nai terasa begitu hangat, dia memandang gadis cantik dalam pelukannya dan tersenyum lembut padanya, walau tahu gadis itu tidak bisa melihatnya.

“Yeah, right! My name is Milk. And you can call me Brother Milk,” jawab Niu Nai sambil terus menggendong Xue Tung berjalan ke arah hotel.

Saat Niu Nai akan bertanya pada Xue Tung berapa nomor kamarnya, seorang temannya berlari keluar dari hotel dan bertanya dengan lega, “Niu Nai, kenapa baru kembali? Kami semua mencarimu, kupikir...” kalimatnya langsung terhenti begitu menyadari siapa gadis dalam gendongan Niu Nai.

“SNOW LOTUS? Apa yang kalian lakukan?” tanya suara itu tercekat, kecemburuan terdengar dari nada suaranya.

“Jangan salah paham, TORO! Aku menolongnya saat gadis ini terjatuh di area ski. Kakinya sakit dan dia tidak bisa berjalan, jadi...” kalimat Niu Nai terpotong oleh seruan Xue Tung.

“TORO? Apa kau teman TORO dari Energy?” tanya Xue Tung kaget. Dia masih mengingat kejadian TORO mencium bibirnya beberapa saat yang lalu dan kekesalannya kembali muncul.

“TURUNKAN AKU SEKARANG!” ujar Xue Tung dingin. Niu Nai memandang gadis dalam pelukannya dengan tak rela.

“Kau tidak dengar apa katanya? Dia minta kau menurunkannya, Niu Nai!” TORO tampak sedikit senang karena Xue Tung meminta turun dari gendongan Niu Nai, yang tak punya pilihan lain selain menurunkannya. Tapi saat Niu Nai akan menurunkannya, TORO melihat bercak darah dia tanah bersalju di sepanjang jalan yang mereka lalui dan segera menyadari jika ada cairan merah merembes keluar dari celana jeans gadis itu.

“Kau berdarah?” tanya TORO kaget lalu spontan merebut tubuh Xue Tung dari Niu Nai dan mendudukkannya di salah satu kursi tunggu pengunjung yang ada di depan hotel.

“Apa yang kau lakukan? Setelah kau mencuri ciuman pertamaku sekarang kau ingin melecehkan aku, begitu?” sentak Xue Tung kesal saat menyadari TORO menaikkan celana jeansnya ke atas untuk melihat luka di kakinya. TORO sangat kaget melihat sebuah ranting pohon menancap di kaki kanannya dan membuat luka yang lumayan dalam di kaki kanannya.

“Kau terluka dan berdarah? Kenapa tidak menangis?” TORO tanpa sadar menaikkan suaranya, kecemasan tergambar dalam suaranya, membuat Niu Nai dan Xue Tung terkejut mendengarnya. Dalam keterkejutannya, sebuah kenangan melintas di otak Xue Tung. Dulu, dia merasa hal ini pernah terjadi. Dalam ingatannya yang samar, dia pernah mendengar seseorang menyerukan kepanikan dan kecemasan yang sama, hanya saja saat itu dia sedang dalam keadaan tak sadarkan diri.

“Gadis bodoh, kenapa kau tidak menangis? Kakimu terluka separah ini kenapa kau tidak menangis?” Xue Tung ingat Ji Teng memaki kesal namun cemas, saat dia dengan nekat merobek celana Xue Tung untuk melihat luka di kaki kanannya. Saat itu darah juga terus mengalir tak henti dari sana, ternyata ada ranting yang tertancap di kakinya, membuat luka di kakinya menganga dan berdarah. Saat itu, Xue Tung juga tidak meneteskan airmata atau berteriak kesakitan.

“Apa kau benar-benar mati rasa? Luka separah ini kenapa kau tidak menangis? Kupikir ini hanya luka kecil. Tapi lihat ini! Pendarahan di kakimu tak kunjung berhenti, Jika terus seperti ini, kau bisa mati kehabisan darah,” sekali lagi, dalam keadaan setengah sadar Xue Tung ingat Ji Teng mengomel pada dirinya yang pingsan. Awalnya Xue Tung hanya menganggap itu mimpi belaka, tapi akhirnya dia tahu bahwa itu bukan mimpi semata. Saat itu, Ji Teng benar-benar dicengkeram kepanikan sama seperti reaksi TORO sekarang.

“Apa kau masih punya airmata? Gadis seusiamu pasti akan menangis kesakitan dengan luka separah ini, tapi kau?” Kenangan itu masih berlanjut, saat Ji Teng melepas syal di lehernya dan menggunakannya untuk membalut kaki Xue Tung yang berdarah.

“Gadis bodoh, kenapa kau tidak menangis? Kakimu terluka separah ini kenapa kau tidak menangis? “Apa kau benar-benar mati rasa? Luka separah ini kenapa kau tidak menangis? Kupikir ini hanya luka kecil. Tapi lihat ini! Pendarahan di kakimu tak kunjung berhenti, Jika terus seperti ini, kau bisa mati kehabisan darah,” Xue Tung tersentak saat TORO mengucapkan kalimat yang sama seperti yang diucapkan Ji Teng padanya 12 tahun yang lalu. Xue Tung mendengar seseorang merobek kaosnya dan membalutkannya di kaki Xue Tung yang berdarah dengan cekatan namun tangannya gemetar.

“Ji Teng...” tanpa sadar, Xue Tung meneteskan airmata, bukan karena rasa sakit di kakinya, tapi kenangan Ji Teng yang sangat menyiksanya.

“Apa aku sudah menyakitimu? Maaf. Aku tak sengaja,” ujar TORO berubah lembut saat melihat Xue Tung mulai menangis, lalu mulai membalut luka di kakinya dengan lebih lembut.

“Apa benar itu kau? Jika itu kau, kenapa kau tidak mengingatku? Tapi jika itu bukan kau, kenapa kau mengucapkan kalimat yang pernah diucapkan oleh Ji Teng?” batin Xue Tung berperang dengan airmata masih mengalir dari pelupuk matanya yang indah.

“Apa yang kau lakukan, TORO? Kau membuatnya menangis. Tidak bisakah kau lebih lembut pada wanita? Kakinya terluka,” Xue Tung mendengar Niu Nai memarahi temannya yang hanya terdiam dan terus membalut kakinya.

“Katakan kau menginap di kamar nomor berapa, aku akan mengantarmu ke kamar,” TORO bertanya lembut setelah selesai membalut luka di kaki kanan Xue Tung dan duduk di sampingnya. Tapi bukannya menjawab, Xue Tung justru memeluk TORO erat sambil menangis terisak. Terkejut bukan kepalang, TORO sempat membeku saat Xue Tung memeluknya, sementara Niu Nai hanya terbengong tak percaya. Setelah sadar dari keterkejutannya, TORO membalas pelukan Xue Tung dan membelai rambutnya yang hitam panjang dengan sayang.

“Tidak apa-apa. Menangislah! Kau pasti kesakitan kan? Jangan khawatir. Kakimu pasti akan sembuh,” TORO yang mengira tangisan Xue Tung karena kakinya yang sakit mengucapkan kalimat itu dengan lembut, menenangkannya. Tapi bukan itu yang membuat Xue Tung menangis.

“Niu Nai, TORO, apa yang kalian lakukan di luar sini? Manajer sudah menunggu...” kalimat Shu Wei langsung terputus saat menyadari TORO berpelukan dengan seorang gadis di halaman depan Resort itu.

“Shu Wei...” Niu Nai membisikkan nama itu dengan terkejut, tak menyangka Shu Wei dan yang lainnya akan muncul di sana.

“Snow Lotus?” ujar Shu Wei lirih saat menyadari siapa gadis yang berpelukan dengan TORO.

TORO dengan perlahan melepaskan pelukannya saat mendengar Niu Nai mengucapkan nama Shu Wei dan dia melihat Shu Wei menatapnya dengan tak percaya dan penuh kecemburuan.

“Aku bisa menjelaskannya tapi biarkan aku mengantarkannya kembali ke kamarnya lebih dulu,” ujar TORO canggung.

Shu Wei terdiam seraya berkata, “Ke kamar? Jadi hubungan kalian sudah sejauh itu?” tanya Shu Wei salah paham.

“Shu Wei, kau salah paham!” TORO berusaha menjelaskannya. Dia menyadari Shu Wei menatapnya dengan sorot mata terluka.

“Brother Milk, TORO, apa yang terjadi?” tanya Xue Tung yang tampak bingung dan tak mengerti.
“Brother Milk?” ulang Shu Wei semakin bingung.

“Niu Nai, kau juga mengenalnya? Ada apa ini sebenarnya? Kalian berdua menikamku dari belakang?” tanya Shu Wei dengan tatapan mata terkhianati.

“Ini tidak seperti yang kau pikirkan. Sungguh! Biarkan TORO menjelaskannya lebih dulu, okay?” Niu Nai mencoba membuat temannya mengerti tapi sepertinya sia-sia saja.

“Tak perlu jelaskan apa pun. Aku sudah bisa melihatnya dengan jelas,” ujar Shu Wei sakit hati, lalu segera berbalik dan pergi.

“Antarkan dia ke kamarnya. Kami menunggumu di kamar,” ujar Niu Nai lalu berjalan masuk menyusul Shu Wei yang tampak sedih dan terluka.

“Aku tak mengerti apa yang terjadi. Ah Di, apa kau mengerti?” tanya Kun Da seraya menatap temannya bingung. Namun Ah Di hanya menggeleng pelan tanpa mengatakan apapun dan segera berjalan masuk ke hotel menyusul teman-temannya.

======

“Terima kasih sudah mengantarku ke kamar,” ujar Xue Tung lirih saat dengan perlahan TORO membaringkannya di tempat tidur dan membantunya senyaman mungkin.

“Apa kau punya perban dan obat merah?” tanya TORO khawatir seraya duduk di samping ranjang Xue Tung.

Xue Tung menggeleng pelan, “Aku baik-baik saja. Aku akan menelpon kakakku agar dia bisa kemari menjagaku,” tolak Xue Tung singkat.

“Soal ciuman itu, aku benar-benar minta maaf,” ujar TORO menyesal. 
Xue Tung terdiam, “Lupakan saja!” jawabnya singkat.

Hening sesaat lalu kemudian TORO berkata, “Baiklah. Sampai jumpa lagi,” ujarnya lirih lalu mulai beranjak pergi. Tapi saat dia akan membuka pintu kamar itu, dia mendengar sesuatu terjatuh dengan suara berdebam keras, disertai dengan erangan kecil “Arrgghh!”

Spontan TORO menutup kembali pintu kamarnya dan melihat Xue Tung terbaring di lantai kamar dengan jejak darah di lantai kamar. TORO segera berlari ke arahnya dengan cemas.
“Kau tidak apa-apa? Kenapa kau  nekat berjalan? Kakimu sedang terluka,” TORO menaikkan nada suaranya dengan cemas.

“Aku ingin menelpon kakakku dan ponselku ada di dalam tas yang ada di dalam lemari,” ujar Xue Tung seraya memegangi pergelangan kakinya.

“Kau bisa minta aku mengambilkannya untukmu kan?” ujar TORO cemas, lalu kembali menggendong Xue Tung naik ke tempat tidurnya, saat itulah Xue Tung menyadari kalungnya tak ada di lehernya.

“Kalungku. Mana kalungku?” serunya panik seraya meraba-raba tempat tidurnya sambil menangis.
“Kalung apa?” tanya TORO tak mengerti.

“Kalung pemberian Ji Teng untukku. Ji Teng akan marah padaku jika kalung itu hilang. Kalung itu adalah pemberian terakhir ibunya. Kalungku...” tangis Xue Tung panik. Untuk sejenak, TORO hanya bisa memandang bingung, gadis ini tidak menangis saat kakinya terluka, tapi dia menangis hanya karena kehilangan sebuah kalung.




“Itu hanya sebuah kalung,” ujar TORO singkat.
“TIDAK! Itu adalah kalung yang sangat penting bagiku. Dengan kalung itu, Ji Teng akan mengenaliku. Jika dia kembali, dia akan mengenaliku melalui kalung itu. Bagiku kalung itu memilki arti yang sangat penting yaitu bisa menemaniku jalan bersama. Aku harus menemukannya,” ujar Xue Tung berusaha bangkit lagi dari tempat tidurnya untuk mencari kalungnya yang hilang.

“Tunggu! Apa ini kalung yang kau cari?” tanya TORO seraya memungut sebuah benda berkilauan yang terjatuh di kaki tempat tidur dan mengambil serta menyodorkannya pada Xue Tung. Xue Tung menggenggam kalung itu dengan erat dan beruraian airmata.

“Terima kasih. Terima kasih kau telah mengembalikan Ji Teng padaku,” ujar Ji Teng lalu spontan memeluk TORO sambil menangis.

TORO menelan ludahnya pahit, “Ji Teng? Sepertinya tidak akan ada seorangpun yang bisa menggantikan posisi Ji Teng dalam hatimu, benarkan?” tanyanya pahit, rasa sesak muncul di dadanya saat pertanyaan itu meluncur dari mulutnya.

Perlahan Xue Tung melepaskan pelukannya dan berkata pelan, “Ji Teng adalah segalanya bagiku. Dia adalah kehilangan yang takkan pernah bisa kucari penggantinya. Dan jika kau ingin bertanya padaku cinta ini akan bertahan berapa lama, jawabnya adalah sepuluh ribu tahun lamanya,” jawab Xue Tung dengan mata penuh cinta seraya memeluk kalung pemberian Ji Teng dengan erat di dadanya.

“Dan untuk sesaat, aku mengira kau adalah dia. Tapi bagaimana bisa kau adalah dia jika kau bahkan tidak mengenali kalung yang kau berikan? TORO, andai kau adalah Ji Teng,” lanjut Xue Tung dalam hatinya, kecewa.

Faktanya, TORO memandang kalung itu tanpa berkedip, dia merasa dia pernah melihat kalung itu di suatu tempat, tapi dia tidak ingat di mana. Setelah membantu Xue Tung berbaring kembali di ranjangnya dan membalut lukanya dengan perban yang dia minta dari pihak Resort, TORO pun kembali ke kamarnya dengan lemas. Kalimat Xue Tung masih terngiang di telinganya. Saat TORO membuka pintu kamarnya, semua orang di kamar itu telah menunggunya dengan tatapan mata penasaran.

“Jadi, ada yang bersedia menjelaskannya pada kami apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Kun Da penasaran, seraya duduk bersandar dengan nyaman di sofa sambil memeluk bantal.

“Maafkan aku, Shu Wei! Aku tidak ingin membohongi siapapun. Sepertinya aku jatuh cinta pada gadis itu,” jawab TORO mengakui perasaannya. Dan BRUKKKK...Sebuah pukulan mendarat di wajah TORO dan spontan membuatnya jatuh tersungkur di lantai kamar seraya memegangi darah yang mengalir dari bibirnya.

“SHU WEI!” ujar Manajernya melerai. 
“Kenapa harus dia? Kau tahu aku mencintainya lebih dulu. Kenapa harus dia?” tanya Shu Wei terluka, dia benar-benar merasa ditikam dari belakang.

“Pukul aku jika kau mau. Aku tahu aku bersalah padamu. Tapi aku benar-benar tidak bisa mengendalikan perasaanku,” jawab TORO pasrah seraya bangkit berdiri dengan sempoyongan.

“Kalau begitu kau harus pukul aku juga,” ujar Niu Nai tiba-tiba seraya berdiri di depan Shu Wei dengan gaya menantang, membuat Shu Wei memandangnya dengan tak percaya.

“Ya Tuhan, ada apa dengan kalian bertiga? Dia hanya seorang gadis buta, kenapa kalian memperebutkan seorang gadis buta? Apa tidak ada wanita lain di dunia ini?” Sang Manajer terlihat frustasi dengan anak didiknya.

“JANGAN SEBUT DIA GADIS BUTA!” ujar Shu Wei, TORO dan Niu Nai serentak dengan ekspresi marah pada Manajer mereka. Tapi sedetik kemudian, mereka bertiga justru tertawa terbahak-bahak, tak menyangka mereka begitu kompak.

“Ada apa dengan kalian bertiga?” tanya Ah Di tampak bingung seraya memandang ketiga temannya bergantian.

“Kau tahu kawan? Kurasa tidak ada gunanya kita berkelahi di sini, karena tak ada satupun dari kita yang akan mendapatkan gadis itu,” jawab TORO tiba-tiba.
“Apa maksudmu?” Shu Wei terlihat penasaran.

“Karena sudah ada seseorang dalam hatinya. Dia adalah Ji Teng, cinta pertamanya,” jawab TORO lalu kemudian duduk di samping Kun Da dan mulai menceritakan semua yang dia ketahui soal Ji Teng pada mereka.

“Kalau begitu aku akan menghapus Ji Teng dari dalam hatinya,” ujar Niu Nai dengan penuh percaya diri.

“Kalau aku, aku sangat yakin tak ada seorangpun yang bisa menghapus Ji Teng dari dalam hatinya, jadi aku tidak ingin dia menghapus bayang-bayang Ji Teng, melainkan hanya ingin dia memberiku kesempatan agar aku dan Ji Teng bisa sama-sama berada dalam hatinya,” Shu Wei berkata dengan lebih pengertian kali ini, dia menyadari jika cinta itu tak bisa dipaksa jadi dia ingin melakukan semuanya dengan ketulusan.

“Bagaimana denganmu, TORO? Apa yang akan kau lakukan?” tanya Kun Da ingin tahu.
“Aku ingin membawa Ji Teng kembali ke sisinya,” jawab TORO mantap sambil tersenyum sedih.
“APA?” Shu Wei terlihat tak percaya.

“Bagiku, di dunia ini hanya ada 2 penyesalan. Pertama, aku jatuh cinta pada seorang gadis yang di dalam hatinya mencintai pria lain dan kedua, bila melihat orang yang kucintai tidak bahagia. Dan bila hanya Ji Teng yang bisa membuatnya bahagia, maka aku akan lakukan apa saja untuk mengembalikan Ji Teng padanya. To make her happy is my ultimate wish,” jawab TORO tulus walau sorot matanya terlihat sedih.

To Be Continued... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar