Author : Liliana Tan
Starring :
TORO Energy as Ji Teng / TORO
Margaret Wang as Chi Xue Tung / Snow Lotus (Xue Lian)
Shu Wei Energy as himself
Niu Nai Energy as Himself
Ah Di Energy as Himself
Kunda Energy as Himself
Johny Yen as Chi Xing Feng
Cheryl Yang as Elaine
NB : SPECIAL CHRISTMAS.
“Winter Wish : Chapter 3 (Snow
Angel Fanfiction Special Christmas)”
Esoknya, Alishan National Recreation Area Resort..
“Xue Tung, ini pianonya. Kau bisa berlatih di sini dulu.
Xing Feng bilang dia akan menemuimu untuk makan siang. Tunggulah dia di sini,”
ujar seorang wanita bertubuh tinggi dengan ramah pada Xue Tung.
“Elaine, jangan memanggilku Xue Tung. Aku di sini sebagai
Xue Lian - Snow Lotus, bukan sebagai Xue Tung,” ujar Xue Tung lirih.
“Baiklah. Nona Xue Lian, kutinggalkan kau di sini untuk
berlatih. Kau tunggulah salah satu dari kami datang untuk menjemputmu makan
siang, okay?” jawab Elaine sambil tersenyum mengerti. Xue Tung mengangguk
mengerti dan mulai meraba piano itu dan memainkan jari-jarinya dengan asyik,
sebuah melodi yang indah namun sedih mulai mengalun lirih. Gadis itu sama
sekali tak menatap tutsnya, tentu saja karena dia tak mampu melihat, tapi dia
sangat hapal letak semua nada di tuts itu.
Dia tampak asyik memainkan jarinya sehingga tak sadar ada
seseorang yang sedari tadi hanya terdiam mengamatinya. TORO menatap kagum pada
gadis di hadapannya, tanpa sadar dia makin terpesona makin dalam. Perlahan dia
mendekat, gadis itu tetap tak menyadari kehadirannya.
“Lagu yang indah, tapi entah kenapa melodinya terdengar
sedih?” ujarnya tiba-tiba, sontak membuat gadis itu tersentak lalu menghentikan
permainannya. Dia menelengkan kepalanya seolah berpikir dan akhirnya dia
tersenyum manis.
“Aku tahu siapa kau. Kau yang waktu itu menabrakku dan
mengantarku ke restoran kan? Tuan, apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya
ramah, merasa senang karena bertemu orang yang dikenalnya. TORO tersenyum,
gadis di depannya masih tetap saja ramah.
“Lotus karena dia cantik bagai bunga dan Snow karena dia
dingin bagai salju,” kenangnya pada ucapan pelayan di restoran itu. Tapi dia
hanya tersenyum tipis tak percaya.
“Apanya yang dingin bagai salju? Dia begitu hangat padaku
sejak pertama kali bertemu. Dia selalu menunjukkan senyuman manis dan pancaran
mata yang hangat, walau mata itu tak mampu melihat apa-apa,” batinnya sedih
tapi secercah kebahagiaan muncul di hatinya mengingat mungkin hanya dia yang
tidak diperlakukan dengan dingin oleh gadis ini.
“Tuan, tuan...apa kau masih di sini?” tanyanya lagi,
membuyarkan lamunan TORO.
“Ah iya... Aku masih di sini. Maaf, aku begitu terpesona
pada permainan pianomu sampai jadi lupa diri,” TORO beralasan.
“Apa kau sedang berlibur?” tanyanya lagi.
“Kau sendiri?” TORO balik bertanya dengan penasaran,
masih tak menyangka dia akan bertemu gadis itu di sini.
Gadis itu tersenyum lalu mereka mulai mengobrol dengan
akrab. Gadis itu menceritakan betapa beruntungnya dia karena diminta tampil
dalam pertunjukan Natal dan Tahun Baru oleh General Manager Yong Chi Group.
“Selama ini aku selalu diremehkan, ini pertama kalinya
aku merasa dihargai,” ujarnya dengan tersenyum manis.
“Kalau boleh tahu, siapa yang mengajarimu bermain piano?”
tanya TORO seraya duduk di samping gadis itu di depan piano.
“Seorang teman lama...” jawabnya singkat tapi menunjukkan
kesedihan.
“Melihat dari caramu bicara sepertinya dia sangat berarti
dalam hidupmu,” goda TORO, walau dalam hatinya dia merasa ketakutan, takut jika
gadis di sampingnya ini sudah memiliki penjaga hati. Xue Tung terdiam lalu
tersenyum malu, semburat merah muncul di pipinya yang seputih salju.
“Dia temanku satu-satunya. Dia yang tak pernah lelah
menghiburku, dia yang mengajariku segala hal. Bagiku, dia adalah orang yang
sangat spesial,” jawab Xue Tung dengan bibir tersenyum bahagia setiap dia
membicarakan orang itu. Hati TORO berdesir perih, dia tersenyum sinis pada
dirinya sendiri.
“Gadis ini sudah memiliki tambatan hati. Apalagi yang kau
harapkan, TORO?” batinnya sinis pada dirinya sendiri.
“Lalu di mana dia saat ini?” tanya TORO semakin
penasaran.
“Ji Teng, dia sudah pergi,” jawab Xue Tung sedih.
DEG. Ji Teng. Nama itu sepertinya tak asing di telinga
TORO, Di mana dia pernah mendengarnya? TORO menelengkan kepalanya mengingat,
tapi tetap saja dia tak ingat apa-apa.
“Tapi dia berjanji padaku akan segera kembali. Sebelum
dia pergi dia memintaku agar selalu tersenyum, karena aku tidak tahu kapan dia
akan muncul kembali ke hadapanku. Jika dia melihatku tidak tersenyum, Ji Teng
akan marah padaku,” lanjut Xue Tung dengan cemberut.
“Jadi JI Teng adalah satu-satunya alasanmu untuk
tersenyum?” TORO berkata lirih, sebersit rasa sesak muncul di hatinya saat
mengucapkan kalimat itu.
“Kau mencintainya kan?” tanya TORO lagi, semakin sakit.
Xue Tung terdiam sesaat, merenung lalu balik bertanya
bingung.
“Apa itu yang namanya cinta? Aku tidak tahu cinta itu
apa, aku hanya tahu aku merasa sangat bahagia setiap kali aku mengingatnya. Tidak
peduli walau aku harus menunggu belasan tahun lamanya, asal percaya dia pasti
akan kembali suatu hari nanti, aku sudah sangat bahagia. Aku bodoh kan?” ujar
Xue Tung sambil tertawa geli.
“Tapi aku lebih bodoh lagi karena menceritakan semua ini
padamu, pada seseorang yang baru kukenal. Padahal sebelumnya aku tak pernah
bicara banyak pada orang yang tidak kukenal. Tapi denganmu, entah kenapa aku
merasakan sesuatu yang berbeda,” lanjut Xue Tung, merasa dirinya sangat konyol.
Mendengar ucapannya, entah kenapa hati TORO menjadi
sedikit lebih baik, dia mendadak merasa mendapatkan secercah harapan dan
semangat.
“Benarkah? Kau merasa seperti itu? Sungguh aneh. Akupun
merasakan hal yang sama, padahal sebelumnya aku tak pernah dekat dengan
wanita,” ujar TORO dengan salah tingkah,
bagaikan remaja yang baru pertama kali jatuh cinta.
“Eh, aku belum tahu namamu, Tuan. Lalu bagaimana aku
harus memanggilmu?” Xue Tung menoleh ke arah TORO namun tatapan matanya hanya
memandang kosong ke satu arah. Mengingat gadis itu tak bisa melihat wajahnya,
hati TORO mendadak merasakan sakit yang amat sangat.
“TORO,” jawabnya singkat.
“TORO? Apa kau personil boyband Energy? Kau TORO yang
sama?” tanya Xue Tung setengah kaget.
“Benar,” jawabnya singkat.
“TIDAK! Aku berteman dengan seorang idola? Ini hebat
sekali! Aku tak percaya. Boleh aku minta tanda tanganmu? Walaupun aku tidak
bisa melihatnya sekarang, tapi suatu hari nanti aku pasti bisa melihatnya,”
ujar Xue Tung tampak bersemangat.
“Aku tidak sabar menunggu hari di mana aku bisa melihat
kembali. Kau tahu? Yong Chi Group menawarkan kontrak yang sangat mahal untukku,
dengan itu aku bisa mengoperasi mataku, hebat kan? Saat aku bisa melihat
kembali, orang yang ingin kulihat adalah Ji Teng, lalu kemudian kau, lalu
kakakku, lalu Peri Salju...” ujar Xue Tung dengan senyum gembira di wajahnya
yang cantik. Dia memegang lengan TORO yang duduk di sampingnya dan bercerita
dengan gembira. Senyuman Xue Tung membuat TORO tanpa sadar ikut tersenyum.
“Kau sangat cantik bila tersenyum,” gumam TORO lirih,
tanpa sadar menyentuh pipi Xue Tung dan membelainya lembut. Xue Tung tersentak.
Kata-kata yang sama seperti yang pernah diucapkan Ji Teng padanya.
“Ji Teng,” ujar Xue Tung seraya menggenggam tangan TORO
di pipinya sambil menangis.
“Apa kau Ji Teng?” tanya Xue Tung dengan sorot mata penuh
harap. TORO tak mengerti apa yang terjadi, dia bingung harus menjawab apa.
Melihat Xue Tung tampak begitu merindukan Ji Teng, hati TORO merasakan rasa
sakit yang aneh.
“Kurasa kau terlalu merindukannya, benarkan? Tapi jika
kau menginginkannya, kau bisa menganggapku sebagai Ji Teng,” ujar TORO lalu
perlahan mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Xue Tung dengan dalam.
Terkejut sesaat lalu sebuah tamparan keras mendarat di
pipi TORO disertai dengan kalimat tajam, “Beraninya kau menciumku? Kau pikir
aku apa? Apa karena aku buta jadi kau pikir bisa melecehkan aku seenaknya?
Kupikir kita berteman, ternyata aku salah menilaimu,” ujar Xue Tung sambil
menangis terisak. Pria kurang ajar ini berani menciumnya, mencuri ciuman
pertama yang dia jaga untuk Ji Teng-nya.
“Xue Lian, tunggu sebentar. Aku bisa menjelaskannya,”
TORO mencoba menjelaskan masalahnya.
“Aku tidak mau mendengar. Kau pria kurang ajar yang sudah
mencuri ciuman pertamaku. Ciuman pertama yang ingin kujaga untuk Ji Teng. Aku
membencimu. Aku harap kita takkan pernah lagi bertemu,” ujar Xue Tung marah
dengan terisak. Rasa bersalah mencengkeram TORO, untuk sesaat tadi, dia
benar-benar terjerat dengan pesona Xue Tung dan melupakan tata krama.
“Aku minta maaf. Aku benar-benar minta maaf. Aku tidak
sengaja. Aku tidak tahu kenapa bisa lepas kendali seperti itu,” TORO tampak
putus asa menjelaskannya. Tapi Xue Tung tak mau mendengar.
“Aku bersyukur karena tak bisa melihat wajahmu. Dan
kuharap selamanya aku tak perlu melihatmu,” lalu segera meraih tongkatnya dan
bergegas pergi dari sana dengan airmata mengalir deras.
“SHIT! Kenapa aku tidak bisa mengendalikan diriku? Dia benar. Kau maniak, TORO!
Kau pria brengsek! Gadis mana yang tidak marah dicium begitu saja oleh pria
yang baru saja dikenalnya?” TORO mengutuk dirinya sendiri kesal saat melihat
Xue Tung berlalu pergi dengan menangis. Dia ingin mengejar, tapi dia tahu itu
percuma saja.
=====
“Aku benci padanya! Beraninya dia tiba-tiba menciumku
seperti tadi! Dia pikir dia siapa? Apakah dia pikir aku wanita murahan? Apakah
seorang artis idola berhak mencium siapa saja?” ujar Xue Tung kesal saat sudah
berada di tengah hamparan salju di Alishan Resort. Dia menghapus airmatanya
dengan cepat lalu berusaha mengenyahkan kenangan itu dari hadapannya.
Saat dia akan melangkah, dia mendengar seseorang
berteriak padanya dengan lantang, “Nona, awas! Di belakangmu!” seru seorang
pria muda dengan lantang, dan detik berikutnya Xue Tung merasakan tubuhnya
dihantam sesuatu yang berat dan terhempas keras ke tanah.
“Maafkan aku!” ujar seorang pria muda dengan suara berat.
“Kau tiba-tiba saja muncul di hadapanku, aku tidak bisa menghentikannya,”
lanjut pemuda itu merasa bersalah.
“Hei, apa yang kau lakukan? Kau bisa main ski, tidak?”
seorang pria muda yang lain memarahinya. Dia adalah pemilik suara yang tadi
memberinya peringatan.
“Tapi aku tak sengaja. Nona, aku minta maaf,” ujar si
penabrak.
“Sudahlah. Tidak apa-apa! Aku yang tidak bisa melihatmu.
Ini juga salahku. Lupakan saja!” jawab Xue Tung lirih, sedang malas berdebat.
Dia merasa kaki kanannya terluka, dia menyentuh kaki kanannya dengan perlahan.
Lagi, cairan lengket mengalir di kakinya yang terluka, tapi dia berusaha
menahan sakitnya.
“Terima kasih. Maafkan aku!” ujar si penabrak sekali
lagi.
“Sudah. Pergi sana. Hati-hatilah lain kali!” seru si pria
pertama masih kesal.
“Kau tidak apa-apa?” tanya pria muda itu tampak cemas.
Xue Tung menggelengkan kepalanya singkat, “Hanya terkilir. Bukan masalah
besar,” jawab Xue Tung seraya menahan sakitnya.
“Mari kubantu berdiri,” ujarnya lagi seraya menggamit
lengan Xue Tung tapi saat akan mencoba berdiri, Xue Tung merasakan sakit di
kakinya dan spontan terjatuh kembali di tanah.
“Auuuww,” erangnya pelan.
“Kakimu terluka? Kau tak bisa berdiri? Kau menginap di
kamar nomor berapa? Aku akan mengantarmu ke kamar,” tanya si pria muda dengan
cemas.
Xue Tung menggeleng pelan seraya meraba-raba tanah
bersalju di sekitarnya, mencari tongkatnya yang hilang saat terjatuh.
“Mana tongkatku?” gumamnya pada dirinya sendiri. Si pria
muda tersentak saat melihat Xue Tung meraba-raba tanah di sekitarnya dan
mencari tongkatnya dengan panik.
“Apa kau mencari ini?” seru si pria muda seraya meraih
tangan kanan Xue Tung dan meletakkan tongkatnya di tangannya. Xue Tung tersenyum
lega saat tongkatnya kembali.
“Terima kasih,” jawab Xue Tung lirih lalu berusaha
berdiri dengan berpegangan pada tongkatnya, tapi tidak peduli berapa kalipun
dia mencoba berdiri, dia selalu terjatuh lagi.
“Sial,” maki Xue Tung kesal pada kakinya sendiri, tapi
tak ada airmata yang menetes dari matanya.
“Jangan keras kepala! Biar aku mengantarmu ke kamarmu,”
ujar si pria muda itu lalu dengan cepat meraih tubuh Xue Tung dan
menggendongnya di depan dada.
“Hei, aku tak mengenalmu. Cepat turunkan aku!” protes Xue
Tung kesal saat tiba-tiba seorang pria tak dikenal menggendongnya begitu saja.
“Namaku Niu Nai,” jawabnya singkat sambil tetap
menggendong Xue Tung dan berjalan meninggalkan area bermain ski itu.
“Milk? Niu Nai yang berarti Milk kan? Lucu sekali,” Xue
Tung mendadak tertawa kecil mendengar ada seorang pria yang menamakan dirinya
“Susu”. Mendengar suara tawa Xue Tung yang renyah, entah kenapa hati Niu Nai
terasa begitu hangat, dia memandang gadis cantik dalam pelukannya dan tersenyum
lembut padanya, walau tahu gadis itu tidak bisa melihatnya.
“Yeah, right! My name is Milk. And you can call me
Brother Milk,” jawab Niu Nai sambil terus menggendong Xue Tung berjalan ke arah
hotel.
Saat Niu Nai akan bertanya pada Xue Tung berapa nomor
kamarnya, seorang temannya berlari keluar dari hotel dan bertanya dengan lega,
“Niu Nai, kenapa baru kembali? Kami semua mencarimu, kupikir...” kalimatnya
langsung terhenti begitu menyadari siapa gadis dalam gendongan Niu Nai.
“SNOW LOTUS? Apa yang kalian lakukan?” tanya suara itu
tercekat, kecemburuan terdengar dari nada suaranya.
“Jangan salah paham, TORO! Aku menolongnya saat gadis ini
terjatuh di area ski. Kakinya sakit dan dia tidak bisa berjalan, jadi...”
kalimat Niu Nai terpotong oleh seruan Xue Tung.
“TORO? Apa kau teman TORO dari Energy?” tanya Xue Tung
kaget. Dia masih mengingat kejadian TORO mencium bibirnya beberapa saat yang
lalu dan kekesalannya kembali muncul.
“TURUNKAN AKU SEKARANG!” ujar Xue Tung dingin. Niu Nai
memandang gadis dalam pelukannya dengan tak rela.
“Kau tidak dengar apa katanya? Dia minta kau
menurunkannya, Niu Nai!” TORO tampak sedikit senang karena Xue Tung meminta
turun dari gendongan Niu Nai, yang tak punya pilihan lain selain menurunkannya.
Tapi saat Niu Nai akan menurunkannya, TORO melihat bercak darah dia tanah
bersalju di sepanjang jalan yang mereka lalui dan segera menyadari jika ada
cairan merah merembes keluar dari celana jeans gadis itu.
“Kau berdarah?” tanya TORO kaget lalu spontan merebut
tubuh Xue Tung dari Niu Nai dan mendudukkannya di salah satu kursi tunggu
pengunjung yang ada di depan hotel.
“Apa yang kau lakukan? Setelah kau mencuri ciuman
pertamaku sekarang kau ingin melecehkan aku, begitu?” sentak Xue Tung kesal
saat menyadari TORO menaikkan celana jeansnya ke atas untuk melihat luka di
kakinya. TORO sangat kaget melihat sebuah ranting pohon menancap di kaki
kanannya dan membuat luka yang lumayan dalam di kaki kanannya.
“Kau terluka dan berdarah? Kenapa tidak menangis?” TORO
tanpa sadar menaikkan suaranya, kecemasan tergambar dalam suaranya, membuat Niu
Nai dan Xue Tung terkejut mendengarnya. Dalam keterkejutannya, sebuah kenangan
melintas di otak Xue Tung. Dulu, dia merasa hal ini pernah terjadi. Dalam
ingatannya yang samar, dia pernah mendengar seseorang menyerukan kepanikan dan
kecemasan yang sama, hanya saja saat itu dia sedang dalam keadaan tak sadarkan
diri.
“Gadis
bodoh, kenapa kau tidak menangis? Kakimu terluka separah ini kenapa kau tidak
menangis?” Xue Tung ingat Ji Teng memaki kesal namun cemas, saat
dia dengan nekat merobek celana Xue Tung untuk melihat luka di kaki kanannya. Saat
itu darah juga terus mengalir tak henti dari sana, ternyata ada ranting yang
tertancap di kakinya, membuat luka di kakinya menganga dan berdarah. Saat itu,
Xue Tung juga tidak meneteskan airmata atau berteriak kesakitan.
“Apa kau benar-benar mati rasa? Luka
separah ini kenapa kau tidak menangis? Kupikir ini hanya luka kecil. Tapi lihat
ini! Pendarahan di kakimu tak kunjung berhenti, Jika terus seperti ini, kau
bisa mati kehabisan darah,” sekali lagi, dalam keadaan setengah sadar Xue
Tung ingat Ji Teng mengomel pada dirinya yang pingsan. Awalnya Xue Tung hanya
menganggap itu mimpi belaka, tapi akhirnya dia tahu bahwa itu bukan mimpi
semata. Saat itu, Ji Teng benar-benar dicengkeram kepanikan sama seperti reaksi
TORO sekarang.
“Apa kau
masih punya airmata? Gadis seusiamu pasti akan menangis kesakitan dengan luka
separah ini, tapi kau?” Kenangan itu masih berlanjut, saat Ji Teng melepas syal
di lehernya dan menggunakannya untuk membalut kaki Xue Tung yang berdarah.
“Gadis bodoh, kenapa kau tidak menangis? Kakimu terluka
separah ini kenapa kau tidak menangis? “Apa kau benar-benar mati rasa? Luka
separah ini kenapa kau tidak menangis? Kupikir ini hanya luka kecil. Tapi lihat
ini! Pendarahan di kakimu tak kunjung berhenti, Jika terus seperti ini, kau
bisa mati kehabisan darah,” Xue Tung tersentak saat TORO mengucapkan kalimat
yang sama seperti yang diucapkan Ji Teng padanya 12 tahun yang lalu. Xue Tung
mendengar seseorang merobek kaosnya dan membalutkannya di kaki Xue Tung yang
berdarah dengan cekatan namun tangannya gemetar.
“Ji Teng...” tanpa sadar, Xue Tung meneteskan airmata,
bukan karena rasa sakit di kakinya, tapi kenangan Ji Teng yang sangat
menyiksanya.
“Apa aku sudah menyakitimu? Maaf. Aku tak sengaja,” ujar
TORO berubah lembut saat melihat Xue Tung mulai menangis, lalu mulai membalut
luka di kakinya dengan lebih lembut.
“Apa benar itu kau? Jika itu kau, kenapa kau tidak
mengingatku? Tapi jika itu bukan kau, kenapa kau mengucapkan kalimat yang
pernah diucapkan oleh Ji Teng?” batin Xue Tung berperang dengan airmata masih
mengalir dari pelupuk matanya yang indah.
“Apa yang kau lakukan, TORO? Kau membuatnya menangis.
Tidak bisakah kau lebih lembut pada wanita? Kakinya terluka,” Xue Tung
mendengar Niu Nai memarahi temannya yang hanya terdiam dan terus membalut
kakinya.
“Katakan kau menginap di kamar nomor berapa, aku akan
mengantarmu ke kamar,” TORO bertanya lembut setelah selesai membalut luka di
kaki kanan Xue Tung dan duduk di sampingnya. Tapi bukannya menjawab, Xue Tung
justru memeluk TORO erat sambil menangis terisak. Terkejut bukan kepalang, TORO
sempat membeku saat Xue Tung memeluknya, sementara Niu Nai hanya terbengong tak
percaya. Setelah sadar dari keterkejutannya, TORO membalas pelukan Xue Tung dan
membelai rambutnya yang hitam panjang dengan sayang.
“Tidak apa-apa. Menangislah! Kau pasti kesakitan kan?
Jangan khawatir. Kakimu pasti akan sembuh,” TORO yang mengira tangisan Xue Tung
karena kakinya yang sakit mengucapkan kalimat itu dengan lembut,
menenangkannya. Tapi bukan itu yang membuat Xue Tung menangis.
“Niu Nai, TORO, apa yang kalian lakukan di luar sini?
Manajer sudah menunggu...” kalimat Shu Wei langsung terputus saat menyadari
TORO berpelukan dengan seorang gadis di halaman depan Resort itu.
“Shu Wei...” Niu Nai membisikkan nama itu dengan
terkejut, tak menyangka Shu Wei dan yang lainnya akan muncul di sana.
“Snow Lotus?” ujar Shu Wei lirih saat menyadari siapa
gadis yang berpelukan dengan TORO.
TORO dengan perlahan melepaskan pelukannya saat mendengar
Niu Nai mengucapkan nama Shu Wei dan dia melihat Shu Wei menatapnya dengan tak
percaya dan penuh kecemburuan.
“Aku bisa menjelaskannya tapi biarkan aku mengantarkannya
kembali ke kamarnya lebih dulu,” ujar TORO canggung.
Shu Wei terdiam seraya berkata, “Ke kamar? Jadi hubungan
kalian sudah sejauh itu?” tanya Shu Wei salah paham.
“Shu Wei, kau salah paham!” TORO berusaha menjelaskannya.
Dia menyadari Shu Wei menatapnya dengan sorot mata terluka.
“Brother Milk, TORO, apa yang terjadi?” tanya Xue Tung
yang tampak bingung dan tak mengerti.
“Brother Milk?” ulang Shu Wei semakin bingung.
“Niu Nai, kau juga mengenalnya? Ada apa ini sebenarnya?
Kalian berdua menikamku dari belakang?” tanya Shu Wei dengan tatapan mata terkhianati.
“Ini tidak seperti yang kau pikirkan. Sungguh! Biarkan
TORO menjelaskannya lebih dulu, okay?” Niu Nai mencoba membuat temannya
mengerti tapi sepertinya sia-sia saja.
“Tak perlu jelaskan apa pun. Aku sudah bisa melihatnya
dengan jelas,” ujar Shu Wei sakit hati, lalu segera berbalik dan pergi.
“Antarkan dia ke
kamarnya. Kami menunggumu di kamar,” ujar Niu Nai lalu berjalan masuk menyusul
Shu Wei yang tampak sedih dan terluka.
“Aku tak mengerti apa yang terjadi. Ah Di, apa kau
mengerti?” tanya Kun Da seraya menatap temannya bingung. Namun Ah Di hanya
menggeleng pelan tanpa mengatakan apapun dan segera berjalan masuk ke hotel
menyusul teman-temannya.
======
“Terima kasih sudah mengantarku ke kamar,” ujar Xue Tung
lirih saat dengan perlahan TORO membaringkannya di tempat tidur dan membantunya
senyaman mungkin.
“Apa kau punya perban dan obat merah?” tanya TORO
khawatir seraya duduk di samping ranjang Xue Tung.
Xue Tung menggeleng pelan, “Aku baik-baik saja. Aku akan
menelpon kakakku agar dia bisa kemari menjagaku,” tolak Xue Tung singkat.
“Soal ciuman itu, aku benar-benar minta maaf,” ujar TORO
menyesal.
Xue Tung terdiam, “Lupakan saja!” jawabnya singkat.
Hening sesaat lalu kemudian TORO berkata, “Baiklah.
Sampai jumpa lagi,” ujarnya lirih lalu mulai beranjak pergi. Tapi saat dia akan
membuka pintu kamar itu, dia mendengar sesuatu terjatuh dengan suara berdebam
keras, disertai dengan erangan kecil “Arrgghh!”
Spontan TORO menutup kembali pintu kamarnya dan melihat
Xue Tung terbaring di lantai kamar dengan jejak darah di lantai kamar. TORO
segera berlari ke arahnya dengan cemas.
“Kau tidak apa-apa? Kenapa kau nekat berjalan? Kakimu sedang terluka,” TORO
menaikkan nada suaranya dengan cemas.
“Aku ingin menelpon kakakku dan ponselku ada di dalam tas
yang ada di dalam lemari,” ujar Xue Tung seraya memegangi pergelangan kakinya.
“Kau bisa minta aku mengambilkannya untukmu kan?” ujar
TORO cemas, lalu kembali menggendong Xue Tung naik ke tempat tidurnya, saat
itulah Xue Tung menyadari kalungnya tak ada di lehernya.
“Kalungku. Mana kalungku?” serunya panik seraya
meraba-raba tempat tidurnya sambil menangis.
“Kalung apa?” tanya TORO tak mengerti.
“Kalung pemberian Ji Teng untukku. Ji Teng akan marah
padaku jika kalung itu hilang. Kalung itu adalah pemberian terakhir ibunya.
Kalungku...” tangis Xue Tung panik. Untuk sejenak, TORO hanya bisa memandang
bingung, gadis ini tidak menangis saat kakinya terluka, tapi dia menangis hanya
karena kehilangan sebuah kalung.
“Itu hanya sebuah kalung,” ujar TORO singkat.
“TIDAK! Itu adalah kalung yang sangat penting bagiku.
Dengan kalung itu, Ji Teng akan mengenaliku. Jika dia kembali, dia akan
mengenaliku melalui kalung itu. Bagiku kalung itu memilki arti yang sangat
penting yaitu bisa menemaniku jalan bersama. Aku harus menemukannya,” ujar Xue
Tung berusaha bangkit lagi dari tempat tidurnya untuk mencari kalungnya yang
hilang.
“Tunggu! Apa ini kalung yang kau cari?” tanya TORO seraya
memungut sebuah benda berkilauan yang terjatuh di kaki tempat tidur dan
mengambil serta menyodorkannya pada Xue Tung. Xue Tung menggenggam kalung itu
dengan erat dan beruraian airmata.
“Terima kasih. Terima kasih kau telah mengembalikan Ji
Teng padaku,” ujar Ji Teng lalu spontan memeluk TORO sambil menangis.
TORO menelan ludahnya pahit, “Ji Teng? Sepertinya tidak
akan ada seorangpun yang bisa menggantikan posisi Ji Teng dalam hatimu,
benarkan?” tanyanya pahit, rasa sesak muncul di dadanya saat pertanyaan itu
meluncur dari mulutnya.
Perlahan Xue Tung melepaskan pelukannya dan berkata pelan,
“Ji Teng adalah segalanya bagiku. Dia adalah kehilangan yang takkan pernah bisa
kucari penggantinya. Dan jika kau ingin bertanya padaku cinta ini akan bertahan
berapa lama, jawabnya adalah sepuluh ribu tahun lamanya,” jawab Xue Tung dengan
mata penuh cinta seraya memeluk kalung pemberian Ji Teng dengan erat di
dadanya.
“Dan untuk sesaat, aku mengira kau adalah dia. Tapi
bagaimana bisa kau adalah dia jika kau bahkan tidak mengenali kalung yang kau
berikan? TORO, andai kau adalah Ji Teng,” lanjut Xue Tung dalam hatinya,
kecewa.
Faktanya, TORO memandang kalung itu tanpa berkedip, dia
merasa dia pernah melihat kalung itu di suatu tempat, tapi dia tidak ingat di
mana. Setelah membantu Xue Tung berbaring kembali di ranjangnya dan membalut
lukanya dengan perban yang dia minta dari pihak Resort, TORO pun kembali ke
kamarnya dengan lemas. Kalimat Xue Tung masih terngiang di telinganya. Saat
TORO membuka pintu kamarnya, semua orang di kamar itu telah menunggunya dengan
tatapan mata penasaran.
“Jadi, ada yang bersedia menjelaskannya pada kami apa
yang sebenarnya terjadi?” tanya Kun Da penasaran, seraya duduk bersandar dengan
nyaman di sofa sambil memeluk bantal.
“Maafkan aku, Shu Wei! Aku tidak ingin membohongi
siapapun. Sepertinya aku jatuh cinta pada gadis itu,” jawab TORO mengakui
perasaannya. Dan BRUKKKK...Sebuah pukulan mendarat di wajah TORO dan spontan
membuatnya jatuh tersungkur di lantai kamar seraya memegangi darah yang
mengalir dari bibirnya.
“SHU WEI!” ujar Manajernya melerai.
“Kenapa harus dia?
Kau tahu aku mencintainya lebih dulu. Kenapa harus dia?” tanya Shu Wei terluka,
dia benar-benar merasa ditikam dari belakang.
“Pukul aku jika kau mau. Aku tahu aku bersalah padamu.
Tapi aku benar-benar tidak bisa mengendalikan perasaanku,” jawab TORO pasrah seraya
bangkit berdiri dengan sempoyongan.
“Kalau begitu kau harus pukul aku juga,” ujar Niu Nai
tiba-tiba seraya berdiri di depan Shu Wei dengan gaya menantang, membuat Shu
Wei memandangnya dengan tak percaya.
“Ya Tuhan, ada apa dengan kalian bertiga? Dia hanya
seorang gadis buta, kenapa kalian memperebutkan seorang gadis buta? Apa tidak
ada wanita lain di dunia ini?” Sang Manajer terlihat frustasi dengan anak
didiknya.
“JANGAN SEBUT DIA GADIS BUTA!” ujar Shu Wei, TORO dan Niu
Nai serentak dengan ekspresi marah pada Manajer mereka. Tapi sedetik kemudian,
mereka bertiga justru tertawa terbahak-bahak, tak menyangka mereka begitu
kompak.
“Ada apa dengan kalian bertiga?” tanya Ah Di tampak
bingung seraya memandang ketiga temannya bergantian.
“Kau tahu kawan? Kurasa tidak ada gunanya kita berkelahi
di sini, karena tak ada satupun dari kita yang akan mendapatkan gadis itu,”
jawab TORO tiba-tiba.
“Apa maksudmu?” Shu Wei terlihat penasaran.
“Karena sudah ada seseorang dalam hatinya. Dia adalah Ji
Teng, cinta pertamanya,” jawab TORO lalu kemudian duduk di samping Kun Da dan
mulai menceritakan semua yang dia ketahui soal Ji Teng pada mereka.
“Kalau begitu aku akan menghapus Ji Teng dari dalam
hatinya,” ujar Niu Nai dengan penuh percaya diri.
“Kalau aku, aku sangat yakin tak ada seorangpun yang bisa
menghapus Ji Teng dari dalam hatinya, jadi aku tidak ingin dia menghapus
bayang-bayang Ji Teng, melainkan hanya ingin dia memberiku kesempatan agar aku
dan Ji Teng bisa sama-sama berada dalam hatinya,” Shu Wei berkata dengan lebih
pengertian kali ini, dia menyadari jika cinta itu tak bisa dipaksa jadi dia
ingin melakukan semuanya dengan ketulusan.
“Bagaimana denganmu, TORO? Apa yang akan kau lakukan?”
tanya Kun Da ingin tahu.
“Aku ingin membawa Ji Teng kembali ke sisinya,” jawab
TORO mantap sambil tersenyum sedih.
“APA?” Shu Wei terlihat tak percaya.
“Bagiku, di dunia ini hanya ada 2 penyesalan. Pertama,
aku jatuh cinta pada seorang gadis yang di dalam hatinya mencintai pria lain
dan kedua, bila melihat orang yang kucintai tidak bahagia. Dan bila hanya Ji
Teng yang bisa membuatnya bahagia, maka aku akan lakukan apa saja untuk
mengembalikan Ji Teng padanya. To make her happy is my ultimate wish,” jawab
TORO tulus walau sorot matanya terlihat sedih.
To Be Continued...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar