Selasa, 23 Desember 2014

(Teaser) Rain And Tears : Chapter 3

Lanjut ke tester ketiga. Tetap dengan "Rain and Tears" yang bertabur hujan setiap hari, biar sesuai ma judulnya gitu hehehe =) Cocok banget kan untuk dinikmati di musim hujan seperti sekarang ini, makin kerasa deh feelnya xixixi =) 

Tahu gak readers, saat saya menulis ini saya sambil dengerin lagu jadulnya Jimmy Lin - Sin Yin (Awan Dihati), makanya karakter cowoknya namanya "Awan" kan alias "Yin". Berhubung ini temanya Hujan, so saya sengaja mencari nama yang mewakili semua fenomena alam yang menyertai terjadinya hujan kayak : Rainy yang berarti "hujan", Yin Feng yang berarti "Awan dan Angin", nanti juga di bagian tengah muncul karakter lain bernama "Yin Xi" yang sekali lagi, Yin dari kata "Awan" hehehe =) jadi biar feelnya kerasa gitu, dan gak sembarangan asal comot nama. 

So, Happy Reading for Chapter 3. Berharap kita berjodoh. Saya tunggu pemesanan melalui Twitter jika Anda memang tertarik. Tidak pun, tetap terima kasih sudah membuang waktu untuk membaca tester ini.


"Chapter 3 : Rainy Day"


Setengah berlari, Rainy menuju ke arah halte bus saat merasakan setitik demi setitik air yang menetes dari langit. Tepat saat kakinya menginjak lantai halte, gerimis telah berubah menjadi hujan. Sambil terus memandang rintik hujan yang turun, angan Rainy kembali melayang.

Hujan...Hal yang paling disukai oleh kakaknya, namun justru menjadi musuh terbesar dalam hidupnya. Tanpa terasa setetes air membasahi wajahnya, tentu saja bukan karena hujan.

Air itu turun dari mata beningnya. Hujan selalu memberikan kenangan tersendiri dalam hidupnya. Kenangan paling menyakitkan sekaligus paling membahagiakan yang takkan pernah di lupakan seumur hidupnya. 

“Aku ingat kakakku sangat menyukai hujan, tapi aku justru kehilangan dia ditengah hujan.” gumam Rainy seraya menghapus airmata di pipinya.

“Hei, kita bertemu lagi, Gadis ‘Hujan’? Apa kau sedang mencari inspirasi di tengah hujan?” tanya seorang laki-laki muda dari dalam mobil yang mendadak berhenti di depannya. 

Rainy memicingkan matanya, mencoba melihat pemilik mobil itu yang terhalang oleh tirai tipis air hujan. Dia. Laki-laki misterius yang ditemuinya di ruang seni waktu itu.

“Kau mau kuantar pulang? Atau mungkin kau sedang menunggu sopirmu menjemputmu?” tanyanya lagi saat melihat Rainy tak merespon. Rainy menggeleng pelan. 
“Aku tak suka diantar sopir, aku lebih suka pulang sendiri.” jawab Rainy pelan.

“Kalau begitu masuklah. Hujan begitu deras, kurasa busmu tidak akan datang.” tawarnya ramah, Rainy berpikir sejenak seraya memandang langit. Hujan yang turun saat ini memang tidak menampakkan tanda-tanda akan berhenti. 

Akhirnya tak punya pilihan, Rainy memilih menerima tawaran pria muda itu dan masuk ke dalam mobilnya. Tanpa mereka sadari beberapa orang gadis sedang mengamati mereka dengan pandangan iri.

“Hei, bukankah itu Lu Yin Feng, mahasiswa jurusan Hukum dan Ketua Senat kita? Dia Pangeran Kampus, mau apa Rainy masuk ke dalam mobilnya? Apa diam-diam mereka pacaran? Cindy, bukankah kau sahabat Rainy, apa kau tahu tentang hal ini?” tanya salah seorang gadis berbaju merah pada Cindy yang saat ini sedang menatap kesal pada sahabatnya. 

“Aku tidak tahu apa-apa. Kurasa itu hanya kebetulan.” jawab Cindy, menutupi kekesalannya.

“Kebetulan? Kemarin aku juga melihat Kak Feng masuk ke dalam ruang seni menemui Rainy. Apa yang kemarin juga kebetulan? Wah, terlalu banyak kebetulan.” sindir yang lain sinis, seorang gadis berambut ikal menatap kesal kearah mobil Yin Feng yang berlalu pergi. Semakin membuat Cindy menjadi kesal. 

“Memangnya kenapa kalau mereka benar pacaran? Kalian ini sirik sekali. Rainy Yang bagaikan seorang Putri, dia memiliki segalanya, cantik, kaya, populer, tentu saja mereka pasti jadi pasangan yang serasi jika Rainy menjadi kekasih Yin Feng. Di bandingkan dengan Rainy, kita bukan siapa-siapa karena kita memang tidak memiliki apa-apa.” ujar yang satu lagi membela, gadis berambut coklat itu memandang heran teman-temannya yang suka sekali mencampuri urusan orang.

“Hahh...Kenapa sepertinya Tuhan sangat tidak adil pada kita? Kenapa bisa ada orang yang sempurna seperti Rainy? Benar-benar membuat orang iri saja.” celetuk gadis berambut ikal sekali lagi, mengungkapkan kecemburuannya. 

“Sudahlah. Daripada terus saja iri pada Rainy, lebih baik kita pulang dan bersyukur saja. Kalian terus iri pun tidak akan mengubah apapun kan?” ujar si rambut coklat sekali lagi, seraya mengacungkan tangannya memanggil taksi. Beramai-ramai para gadis itu masuk ke dalam taksi karena merasa busnya akan datang terlambat di cuaca seperti ini.

Sementara yang lain sedang sibuk bercanda, Cindy terus saja menatap kosong ke arah jendela, ke arah rintik-rintik hujan yang jatuh dari langit. 

“Banyak orang bilang hari hujan membuat sedih, seseorang di suatu tempat mungkin sedang menangis. Benar Rainy, akulah orang itu.” batin Cindy pahit seraya perlahan menghapus airmata di pipinya mengenang ucapan Rainy.

=====

Hujan baru saja mereda ketika semburat pelangi muncul di angkasa. Seorang gadis terdiam menatapnya dari balik kaca jendela kamarnya. Berharap lukisan langit itu tidak cepat memudar. 

“Indah kan, Thien Yu?” tanya seorang gadis lain yang kini sudah ada disampingnya. Cindy hanya memanggil Rainy dengan nama aslinya bila mereka hanya berdua. Rainy mengangguk pelan tanpa menoleh.

“Ya.Pemandangan langit setelah hujan reda memang sangat indah. Walau kadang tak nampak pelangi, tapi aku merasa tenang hanya dengan melihat kabut sisa hujan, daun-daun dan tanah yang basah, juga aroma hujan yang khas. Itu sebabnya kenapa aku…” 

“Sangat menyukai hujan.” sela gadis yang satu lagi sambil tersenyum.

“Setiap hujan tiba, kau pasti duduk di dekat jendela kamarmu untuk memandang butiran hujan. Lalu setelah hujan itu reda, kau akan keluar menuju balkon, untuk memandang langit, menunggu pelangi, atau hanya sekedar mengangumi kabut yang menyelimuti rumah ini. Aku tahu semua kebiasaanmu. Kau menyukai kesendirian.” jelasnya panjang lebar, membuat Rainy terdiam. 

“Aku tak pernah menyangka, kau akan terus mengingat kebiasaanku itu.” ujar Rainy tersentuh sambil menatap sahabatnya, Cindy Huang Xin Ling.

“Kau memang sahabat terbaikku, Xin Ling. Tanpamu, aku tak merasa kesepian lagi.” lanjut Rainy dengan tulus. 

“Sahabat? Bukankah aku hanya anak seorang pelayan? Harusnya aku memanggilmu Nona, benarkan?” Cindy mendadak berubah menjadi sinis. Rainy terkejut melihat sikap Cindy berubah dalam sekejap.

“Kenapa kau bicara seperti itu? Aku tak pernah menganggapmu seorang pelayan. Kau sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri.” Rainy tampak terluka dengan jawaban Cindy yang seolah meragukan ketulusannya. 

“Tapi aku memang putri seorang pelayan. Ayahku bekerja sebagai sopir di keluarga ini, ibuku sebagai pelayan yang memasak untukmu setiap hari, kau adalah majikan di rumah ini, bukankah itu berarti aku adalah pelayanmu juga?” ujar Cindy mendadak sinis saat dia mengingat Rainy pulang bersama Yin Feng tadi siang.

“Aku tak mengerti kau bicara apa. Apa ada masalah?” Rainy mencoba mengerti perasaan sahabatnya. 

“Tidak ada. Maaf. Aku kemari karena Nyonya Besar, Ibu Anda, memintaku untuk memberitahu Anda bahwa makan malam sudah siap.” jawab Cindy pahit lalu berniat akan pergi saat tiba-tiba Rainy menarik tangannya.

“Ada apa? Katakan padaku. Kau sedang ada masalah?” tanya Rainy dengan sabar. Awalnya Cindy hanya menggeleng pelan, tapi saat menatap mata Rainy yang tak bisa dibantah akhirnya Cindy menjawab dengan pelan.

“Bukan apa-apa. Aku hanya merasa kau sangat beruntung. Aku hanya iri, itu saja. Kadang, aku ingin bisa menjadi sepertimu. Punya orang tua kaya, berbakat, cantik, pintar dan populer…” Cindy terdiam sejenak.

“Sudah kubilang hidupku tak sesempurna yang kau kira.” jawab Rainy untuk yang kesekian kalinya.

Iya, kau sudah mengatakannya berkali-kali. Aku tahu. Maaf. Ayo kita makan.” ujar Cindy, kembali lembut. Tatapan menyesal tampak di matanya. Rainy sudah begitu baik, tapi entah kenapa dia masih saja iri padanya. Kadang Cindy merasa dirinya sangat jahat. 

Xin Ling, apapun yang terjadi, bagiku kau adalah saudaraku, saudara yang tak pernah kumiliki. Aku menyayangimu sepenuh hati dan aku juga tak pernah sekalipun peduli pada statusmu. Bagiku, kau bukanlah pelayan tapi saudara.” Rainy mengingatkan sekali lagi dengan senyuman hangatnya.

“Sebagai saudara, jika aku meminta sesuatu padamu, apa kau akan mengabulkan permintaanku?” tanya Cindy lagi. Rainy mengangguk tanpa ragu. 

“Asal kau bahagia. Pasti akan kukabulkan, asalkan itu tidak melanggar hukum dan bukan kejahatan.” Rainy mengiyakan seraya memberikan syarat.

“Hei, aku tidak akan memintamu merampok demi aku kan?” jawab Cindy dan mereka pun melangkah keluar kamar Rainy sambil tertawa. 

Rainy menatap semua hidangan lezat yang disiapkan untuknya, semua itu adalah makanan favoritnya. Di meja makan itu, orang tua angkatnya telah menunggu dengan senyuman hangat mereka.

Begitu melihat Rainy tiba disana, spontan wanita setengah baya itu berdiri dan menghampirinya. Dia menggenggam tangan Rainy dengan hangat. 

“Sayang, Ibu sudah masakkan makanan favoritmu. Ayo makan.” ujarnya sayang, membuat Rainy meneteskan airmata terharu.

“Makanan favoritku?” ulang Rainy dan wanita setengah baya itu mengangguk mantap. 
“Benar. Makanan favoritmu, Yasang.” jawab wanita itu mantap seraya menuding piring yang berisi daging bebek yang ada di meja makan.

Yasang adalah makanan favorit Rainy, Yasang adalah daging bebek yang diasapkan lalu dikeringkan, mempunyai proses pengasapan yang khas, dengan saus khusus dengan menggunakan tebu sebagai kayu pengasapan sehingga proses pengasapannya sempurna, kemudian dikeringkan oleh angin. 

Rainy menatap makanan favoritnya di atas meja makan, lalu kembali menatap wanita yang dipanggilnya Ibu selama 16 tahun ini dengan penuh rasa haru dalam hatinya.

“Dia bukan Ibu kandungku, tapi dia begitu sayang padaku. Andai Ibu kandungku masih hidup, apa Ibu kandungku juga akan menyayangiku lebih dari ini?” batin Rainy pilu setiap mengingat peristiwa malam itu. 

“Ibu, terima kasih.” ujar Rainy lembut.
“Kau kenapa, sayang? Terjadi sesuatu di kampus?” tanya wanita yang dipanggilnya Ibu dengan cemas seraya menghapus airmata Rainy.

“Tidak. Semua baik-baik saja.” jawab Rainy sambil tersenyum hangat.
“Lalu kenapa kau menangis?” tanya wanita itu lagi, masih cemas. 

“Karena aku sangat merindukan Ibu dan Ayah.” jawab Rainy lembut. Wanita itu langsung menarik tubuh Rainy dan memeluknya sayang.

“Ohh...kau sungguh manis. Ibu juga sayang padamu, Nak.” ujarnya terharu, membuat semua pelayan yang sedang mempersiapkan makanan di ruangan itu ikut terharu. 

“Hei, masih ada Ayah di sini. Kenapa hanya ibumu yang kau peluk?” ujar seorang pria setengah baya dengan nada cemburu, spontan Rainy dan ibunya tertawa mendengarnya.

Rainy melirik Ibunya lalu melepaskan pelukan wanita itu dan berlari menghampiri ayahnya.
“Rainy juga sayang Ayah. Sayang sekali.” ujar Rainy manja dan mereka bertiga pun tertawa bahagia. Dari sudut ruangan itu, Cindy menatap keluarga bahagia itu dengan kesedihan di matanya.

“Sempurna. Betapa inginnya aku jadi sepertimu, Rainy. Andai ada yang bisa kulakukan agar bisa berada di posisimu. Jika ada yang bisa dilakukan untuk kita bertukar tempat, aku takkan ragu.batin Cindy pahit namun tak memperlihatkannya.

To be continued...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar