Selasa, 23 Desember 2014

(Teaser) Rain And Teaser : Chapter 2

Welcome To Taipei hehehe =) Berhubung setting novel "Rain and Tears" ini settingnya di Taipei, Taiwan so pasti saya akan mengajak Anda berjalan-jalan mengelilingi Taipei melalui Novel ini hehehe =) The first one is Sun Yat Sen Memorial Hall, Taipei - Taiwan. Hhmm...sebenarnya sih dalam Novel aslinya banyak bertaburan bahasa Mandarin juga, tapi dalam tester saya ganti bahasa Indonesia semua... 

"Chapter 2 : Memories Left Behind"


Tetes hujan berjatuhan dari ranting pohon di taman yang dilewati Rainy meskipun hujan sudah reda sedari tadi. Ingin menghilangkan kepenatan, Rainy memutuskan untuk pulang berjalan kaki dari kampusnya. Dalam perjalanan pulang, dia melewati sebuah taman kecil yang berlokasi tak jauh dari Sun Yat Sen Memorial Hall.

Sebuah taman yang indah, nyaman, bersih, dan aman. Gedung yang terletak di jantung kota Taipei ini dibangun untuk mengenang jasa Dr. Sun Yat Sen sebagai Bapak Proklamator Republik Of China. Sun Yat Sen Memoriall Hall dibangun pada tahun 1964, awalnya gedung ini berfungsi sebagai tempat untuk menampilkan peninggalan sejarah kehidupan Dr. Sun, tapi kemudian seiring berjalannya waktu gedung ini sering digunakan sebagai tempat untuk menyelenggarakan berbagai even besar seperti pameran tingkat nasional, juga acara movie award paling bergengsi di Taiwan, namun begitu, fungsi utama sebagai pusat konservasi sejarah tak pernah terabaikan.

Dikelilingi oleh taman yang asri lengkap dengan bench-bench yang terawat kebersihannya membuat tempat ini begitu mempesona tidak hanya sebagai tempat bersejarah tapi juga tempat rekreasi. 

Rainy berhenti sejenak dan mengamati anak-anak kecil yang berlarian riang di taman itu. Mereka terlihat begitu gembira. Mereka tertawa seraya berlarian kesana kemari, merepotkan orang tua mereka.

“Andai saja aku masih punya orang tua pasti akan lain ceritanya.” batin Rainy sedih sambil tersenyum pilu. Tapi dia berusaha tetap tersenyum. 

Rainy baru saja berniat pergi dari sana saat tiba-tiba suasana disekelilingnya berubah menjadi gelap, samar-samar terdengar suara rintik hujan, dan tak jauh di hadapannya, dia melihat seorang gadis kecil berlutut sambil menangis di hadapan dua sosok tubuh yang sudah tidak bernyawa.

Gadis kecil itu menangis pilu seraya memanggil-manggil kedua orang tuanya yang tergeletak bersimbah darah. Rainy membekap mulutnya saat melihat pemandangan mengerikan itu, airmata menetes pelan dari kedua matanya. 

Tak lama kemudian, gadis kecil itu berdiri dan berlari kearah yang lain, dia kembali berlutut di depan tubuh seorang anak laki-laki yang berlumuran darah seraya terus mengguncang-guncangkan tubuhnya dengan putus asa. Rainy memicingkan matanya, mencoba melihat lebih banyak lagi saat tiba-tiba seseorang menepuk lembut pundaknya dan membuyarkan lamunannya.

“Nak, kau tidak apa-apa? Wajahmu pucat sekali. Apa perlu kuantar ke dokter?” tanya seorang wanita tua yang baik hati. Rainy tersadar dan segera menggeleng pelan. 

“Tidak perlu. Aku baik-baik saja. Terima kasih.” ujar Rainy sopan lalu segera berlari pergi dari sana.

“Tak ada hujan. Langit sudah kembali cerah. Tak ada kecelakaan, juga tak ada gadis kecil yang menangis pilu menangisi keluarganya. Lalu apa yang kulihat tadi? Apa itu bagian dari kenanganku yang hilang?” batin Rainy sambil berjalan pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, Rainy segera menghampiri Ibunya dan meminta Ibunya untuk mengantarkannya ke Rumah Sakit sekarang juga.

“Apa kau sakit, sayang?” Seorang wanita berusia lima puluh tahunan, berambut hitam sebahu, bermata sipit dan memliki wajah khas asia, menatap Rainy dengan cemas sambil menarik tangannya duduk dan membelai rambutnya lembut.

Rainy menggeleng pelan. “Tidak apa-apa, Ibu. Aku hanya ingin bertemu dengan dokter itu. Dokter yang merawatku saat aku masih kecil dulu. Bisakah Ibu mengantarku sekarang? Aku mohon. Ada sesuatu yang ingin kutanyakan padanya.” Rainy memohon pada Ibu angkatnya.

“Kau tidak perlu lagi kembali ke tempat itu. Kau sudah sembuh, sayang.” ujar wanita setengah baya itu terlihat tak suka. 

“Kumohon, Ibu. Aku baik-baik saja. Kembali ke sana bukan berarti aku gila kan?”ujar Rainy kembali memohon.

“Kau tidak gila. Jangan pernah bilang kalau kau gila. Putri Ibu tidak gila.” seru wanita itu lalu menarik Rainy kedalam pelukannya dan memeluknya lembut. 

“Tapi aku berbeda. Mereka bilang aku bahkan tak mampu memandang cermin, aku tak mau bermain, aku tak mau bicara, yang kulakukan hanyalah duduk diam seraya memandang kosong kearah langit. Karena Ayah dan Ibulah aku bisa sembuh kembali. Jika Ibu sayang padaku dan ingin aku sembuh total, tolong antar aku kesana. Mimpi buruk itu selalu menghantuiku, Ibu. Aku hanya ingin tahu apakah yang kulihat itu hanya khayalanku atau benar-benar terjadi saat itu, karena aku tak ingat apapun.” ujar Rainy frustasi.

“Mereka mengatakan terjadi sesuatu yang mengerikan hari itu, tapi aku tak ingat apapun, bahkan hal yang paling kecil sekalipun. Mereka bilang aku mungkin mengalami shock, aku kehilangan sebagian ingatanku, sebagian kehidupan masa laluku pergi begitu saja. Tak ada yang kuingat tentang hari itu atau hari-hari sebelumnya.” Rainy terdiam sejenak, mencoba mengingat masa lalunya yang entah sekarang menghilang kemana. 

“Bagaikan melihat pantulan samar di air keruh kolam yang dalam, aku bisa melihat riak-riak air itu, tapi aku tidak tahu pasti apa yang terjadi hari itu, peristiwa itu ataupun orang-orang yang ada didalamnya. Mereka mengatakan suatu hari ingatanku akan pulih dengan sendirinya, tapi aku ingin bisa mengingat sekarang juga.” Rainy menatap Ibu angkatnya penuh harap, seraya menggenggam tangan wanita setengah baya itu, memohon padanya.

“Aku selalu melihat bayangan seorang anak laki-laki yang tergeletak bersimbah darah. Aku hanya ingin tahu dia nyata atau hanya khayalanku saja. Ibu, tolonglah aku.” Rainy terus memohon pada Ibu angkatnya. Akhirnya tak tega melihat putri kesayangannya terus memohon seperti itu, diapun menyetujuinya. 

“Baiklah. Tapi hanya sekali ini saja. Ibu benar-benar tak ingin melihatmu kembali ke sana.” ujar wanita setengah baya itu. Rainy tersenyum senang lalu spontan memeluknya hangat.

“Terima kasih. Aku sayang Ibu. Sayang sekali.” ucapnya tulus seraya memeluk ibunya manja, spontan membuat wanita itu meneteskan airmata haru. Terlihat jelas dia sangat menyayangi Rainy, walau tak ada hubungan darah diantara mereka, tapi dia menyayangi Rainy seperti putrinya sendiri, putri yang sudah lama pergi meninggalkannya.

“Ibu juga sayang padamu sayang. Sayang sekali.” ujarnya lembut sambil membalas pelukan Rainy.

=======

“Dokter, Anda bohong kan? Aku belum disembuhkan. Aku masih sakit. Seharusnya kalian tidak mengeluarkan aku dari sini.” ujar Rainy pahit saat menemui Dokter Ahli Jiwa yang dulu pernah merawatnya. 

“Luka di fisik, tak sama dengan luka di hati. Ini bukan masalah bisa disembuhkan atau tidak, tapi masalah kau bisa menghadapinya atau tidak. Kau bukan sakit, kau hanya trauma. Dan trauma yang kau alami bukanlah trauma biasa. Rasa sakit akibat kehilangan, seumur hidup tak akan mungkin bisa disembuhkan.” jawab Dokter itu dengan sabar.

“Kalau begitu kenapa kalian mengeluarkan aku? Kenapa kalian tidak terus merawatku? Kenapa tidak berusaha lebih keras menyembuhkan aku?” protes Rainy frustasi. 

“Saat pertama kali kau dibawa kemari, keadaanmu sangat parah. Kau tak mau bicara, kau tak mau makan, kau tak mau melakukan apa-apa. Kau hanya diam, kau menatap semua orang dengan pandangan kosong, seolah tak ada lagi tanda-tanda kehidupan dalam dirimu. Kau bahkan tak bisa mengenali dirimu sendiri. Tapi perlahan-lahan kau mulai memberikan reaksi terhadap sekitarmu. Walau kau tetap tak mau bicara, tapi kau mau melukis. Itu sudah merupakan kemajuan.” Dokter itu menjelaskan keadaan gadis itu saat pertama kali dia ditemukan dan dirawat di tempat ini.

“Saat kau mulai bicara, saat kau mulai berlarian seperti anak-anak pada umumnya. Saat itulah aku memutuskan bahwa kau sudah boleh dibawa pulang. Secara kedokteran kau sudah sembuh, tapi di dalam hatimu, hanya kau sendirilah yang tahu.” Dokter itu menjelaskan panjang lebar dengan sabar pada Rainy. Dan akhirnya Rainy menyadari bahwa semua ini bukan tergantung pada ilmu kedokteran atau pada siapapun melainkan tergantung pada dirinya sendiri.
To be continued...
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar