Suatu hari di bulan Desember. Judul chapternya pas banget
dengan saat di mana Author memposting ulang cerita ini di blog. Well,
settingnya emank di bulan Desember sih. Dalam suasana Natal yang penuh
kedamaian dan sukacita. Adakah yang tertarik dengan kisah si Putri Kembar yang
satu ini? Mumpung masih dalam masa promosi Akhir Tahun, tak bosannya saya
mengingatkan kalau ada promo akhir tahun dari yang awalnya seharga IDR 55.000
sekarang bisa dibeli di Play Store/Google Play dengan hanya IDR 11.000,00.
Murah kan? Kapan lagi coba bisa beli novel seharga hanya IDR 11.000 aja?
Anastasia – Princess In Disguise ini termasuk salah satu pemenang Wattys Awards
2016 loh. Jadi gak rugi deh dibeli, apalagi harganya murah banget kan? Hehehe
^.^ Jika Anda tertarik, cara pembeliannya sudah saya jelaskan di bawah cuplikan
novel ini ya... Happy Reading...
“(Teaser) Anastasia, Princess
In Disguise : Chapter 4“
Chapter 4 : Once Upon A December
Flashback...
Seorang gadis kecil berambut pirang lurus, berwajah
cantik dengan bola mata berwarna biru terang, berusia sekitar sembilan tahun
sedang duduk termenung di bawah pohon seraya memandang sedih ke arah langit
dengan airmata menetes pelan.
Saat itu adalah musim dingin di bulan ke-12, Desember.
Bulan yang seharusnya menjadi bulan favoritnya. Bulan Desember adalah bulan dia
dilahirkan, Desember juga hari perayaan Natal, dia menyukai butiran-butiran
salju yang turun di Bulan Desember. Sangat dingin namun indah dan lembut. Sama
seperti hatinya yang entah sejak kapan menjadi dingin, mungkin sejak ibunya
meninggal dua hari yang lalu. Dunianya serasa porak poranda, gadis yang awalnya
ceria mendadak menjadi pendiam dan pemurung.
“Ibu, kenapa Ibu harus tinggalkan aku sendiri? Ini tidak
adil. Bukankah Ibu bilang akan membantuku mencari Ayah kandungku?” ucap gadis
kecil itu sambil terisak pelan dan menghapus airmata yang menetes di pipinya.
Salju perlahan turun dari langit, membuat udara semakin
dingin mencekam. Angin musim dingin yang berhembus membuat kulitnya meremang,
dia segera mengeratkan mantel hitam yang dikenakannya, mencoba untuk mengalahkan
rasa dingin itu. Namun gadis itu sama sekali tidak berniat untuk beranjak.
“Ibu akan berubah
menjadi bintang, yang akan selalu membimbingmu mencari jalan pulang, jadi jangan menangis, sayang. Kalung itu adalah
jalan untukmu pulang.” kenang gadis kecil itu pada
ucapan terakhir ibunya sebelum wanita itu menghembuskan napas terakhirnya dua
hari yang lalu.
Spontan gadis kecil itu menggenggam sebuah kalung dengan
liontin bintang yang bertuliskan sebuah nama di belakangnya “Anastasia”.
Yah, itulah namanya.
Apa kalung itu adalah petunjuk untuk menemukan ayah
kandungnya? Entahlah. Dia juga tidak yakin. Tapi satu yang pasti, dia tahu
bahwa selama hidupnya Ibunya selalu menyembunyikan sesuatu darinya.
Dipandanginya kalung itu saat secara tak sengaja dia mendengar suara teriakan
dari arah yang tak jauh darinya.
“AARRGGGHHH!” suara anak laki-laki. Annie, begitu
biasanya Sang Ibu memanggilnya, segera berlari ke arah sumber suara dan dia
melihat seorang anak laki-laki yang kira-kira dua atau tiga tahun lebih tua
darinya jatuh tertimpa dahan sebuah pohon yang sepertinya cukup berat. Kaki
kanannya terjepit dahan pohon itu, tak mampu bergerak.
“Tolong aku! Bisakah kau membantuku memindahkan dahan
ini? Sakit sekali.” erangnya memelas seraya menatap Anastasia dengan mata
berkaca-kaca.
Tanpa banyak bicara, Anastasia segera menghampirinya dan
mencoba memindahkan dahan pohon yang cukup berat itu. Anatasia menarik napas.
Dia gagal di percobaan pertama. Bocah laki-laki itu semakin mengernyit sakit
saat dahan pohon itu kembali menggelincir mengenai kaki kanannya.
“Aaarggghhh!” erangnya kesakitan.
“Maafkan aku!” ujar Anastasia merasa bersalah. Peluh
berjatuhan di keningnya, dia sendiri kelelahan karena tak kuat memindahkan
dahan pohon itu saat sebuah ide terlintas di kepalanya.
“Aku punya ide. Tunggu sebentar!” ujarnya segera berlari
menjauh ke suatu tempat.
Dia berlari ke bawah pohon tempat dia duduk tadi dan
meraih seutas tali yang sempat ingin digunakannya untuk gantung diri, tapi
tidak jadi.
Dia segera kembali ke tempat bocah laki-laki itu terduduk
kesakitan dan segera mengikatkan tali tambang itu di dahan pohon yang menimpa
kaki bocah laki-laki itu sekuat mungkin lalu melemparnya ke dahan sebuah pohon
yang tak jauh di belakang mereka, mengikatnya kuat di sana.
Lalu perlahan-lahan dia menarik dahan pohon yang menimpa
kaki kanan bocah itu melalui tali tambang yang sudah diikat di pohon itu.
Awalnya berat, tapi perlahan namun pasti, dahan yang menimpa dahan pohon itu
kembali terangkat.
“Jika aku bilang ‘sekarang!’, kau bergeserlah ke samping
dengan cepat, ya! Aku tak mampu menahannya lebih lama lagi, ini sangat berat.”
ujar Anastasia dengan tangan berkeringat. Bocah itu mengangguk mengerti dan
menyerukan “Aku mengerti.” dengan lantang.
“Sekarang! Bergeserlah sedikit!” Anastasia memberi
instruksi.
Melihat dahan pohon itu terangkat dari kakinya, bocah itu
segera menyeret tubuhnya ke samping dengan susah payah, setelah merasa cukup
jauh, dia berteriak memberi tanda, “Sudah.” ujarnya lantang.
Anastasia mengangguk lalu segera melepaskan talinya dan
dahan pohon itu kembali terjatuh ke tanah dengan keras.
Anastasia hampir mati kelelahan. Tapi dia segera berlari
ke arah bocah laki-laki itu dan bertanya khawatir, “Kau tidak apa-apa?”
tanyanya cemas.
“Ah, kakimu berdarah. Ini buruk!” ujar Anastasia lalu
segera merobek gaunnya dan membalutkannya di kaki kanan si bocah laki-laki yang
hanya memandangnya tanpa berkedip.
“Dia cantik. Cantik
dan baik hati.” ujar si bocah laki-laki dalam hatinya.
“Kau bisa berdiri? Aku akan memapahmu ke rumahku. Di sana
kau bisa menghubungi keluargamu. Yang penting kita segera keluar dari hutan
ini.” suara Anastasia yang renyah membuyarkan lamunan si bocah laki-laki yang
hanya bisa menjawab gugup, “Kurasa bisa jika kau memapahku.” ujarnya canggung
dengan jantung memburu.
Anastasia mengangguk lalu melingkarkan lengannya di
pinggang bocah laki-laki itu sementara si bocah laki-laki itu meletakkan
tangannya di pundak gadis itu. Berdua, mereka berjalan tertatih-tatih keluar
dari dalam hutan itu.
“Terima kasih sudah membantuku. Suatu saat nanti aku akan
membalas kebaikanmu.” ujar si bocah laki-laki.
Anastasia tersenyum mendengar kalimatnya, “Ibuku bilang,
kita harus menolong orang tanpa pamrih.” jawabnya rendah hati, membuat bocah
laki-laki itu semakin kagum.
Anastasia merawat bocah laki-laki itu di rumahnya, rumah
yang ditinggalinya bersama Ibunya dan kini hanya menjadi rumahnya seorang
begitu ibunya meninggal.
“Kau tinggal sendirian?” tanya si bocah laki-laki bingung
karena tak melihat siapa pun di sana.
“Ibuku meninggal dua hari yang lalu.” jawab Anastasia
sedih.
“Kau tak punya keluarga lain?” tanya si bocah lagi.
“Hanya ibu satu-satunya keluargaku.” jawabnya dengan
murung. Oh, hati si bocah laki-laki semakin sakit.
“Dia gadis yang
baik tapi Sangat malang. Apa yang bisa kulakukan untuk membalas kebaikanmu?”
ujar si bocah laki-laki itu dalam hati.
“Siapa namamu?” tanya si bocah laki-laki itu sekali lagi.
“Annie.” jawab Anastasia seraya mengambilkan kotak obat
yang selama ini disimpan Ibunya dan membawanya ke tempat bocah laki-laki itu
terduduk tadi.
“Lalu Ayahmu di mana?” tanya bocah laki-laki itu lagi
seraya mengeryit kesakitan saat Anastasia membubuhkan tumbuh-tumbuhan obat di
kaki kanannya dan membalutnya lembut.
“Aku tak pernah mengenal Ayah kandungku. Ibu tak pernah
menceritakannya sepanjang hidupnya. Tapi sesaat sebelum Ibu meninggal, Ibu
menyuruhku mencari Ayah dengan petunjuk kalung ini.” jawabnya seraya
menunjukkan sebuah kalung berliontin bintang di lehernya.
“Boleh aku lihat?” tanya si bocah laki-laki seraya
menyodorkan tangan kanannya. Anastasia tersenyum lalu melepas kalung di
lehernya dan memperlihatkannya pada bocah laki-laki itu yang segera
mengamatinya dengan serius.
“Anastasia. Jadi itu nama panjangmu?” lagi, dia bertanya
dan gadis itu mengangguk pelan.
“Nama yang bagus. Anastasia berarti kebangkitan. Jadi
sesuai dengan namamu, kau harus segera bangkit dari keterpurukan atas
meninggalnya Ibumu.” hibur si bocah laki-laki sambil tersenyum.
“Bisakah? Aku tak punya siapa pun di dunia ini. Kurasa
tidak mudah untuk menemukan Ayah kandungku.” jawab Anastasia sedih.
“Sudah selesai.” lanjutnya, memberitahu bahwa dia telah
selesai mengobati luka bocah laki-laki itu.
“Terima kasih.” jawab si bocah laki-laki itu dengan malu.
“Kalung ini sangat bagus. Ini benar-benar emas putih
asli, ukiran nama di belakangnya menunjukkan bahwa kalung ini bukanlah kalung
sembarangan yang dijual di pasar-pasar. Bentuknya sangat unik, dan rantai
kalung ini pun bisa terbilang berat, ini kalung mahal. Mungkin saja ayah
kandungmu sebenarnya orang kaya atau bahkan bangsawan,” lanjut si bocah
laki-laki mengamati kalung itu dengan kagum. Dia sudah biasa melihat perhiasan
mahal seperti itu, jadi dia bisa membedakan mana yang asli dan mana yang palsu.
“Benarkah?” Anastasia bertanya dengan mata berbinar.
“Oh iya, aku belum tahu siapa namamu.” lanjutnya lagi
malu-malu.
Bocah laki-laki itu mengulurkan tangannya sambil
tersenyum hangat.
“Namaku Alvan. Terima kasih telah menolongku. Aku
berhutang nyawa padamu. Aku berjanji jika kau butuh bantuan, kau bisa mencariku
dan aku akan mengabulkan permintaanmu, apa pun itu.” jawab Alvan dan Anastasia
meraih uluran tangan itu dan mereka bersalaman sambil tersenyum.
“Benarkah? Termasuk mencari Ayah kandungku. Apa kau bisa
membantuku?” tanya Anastasia berharap dengan mata berbinar.
“Aku tidak bisa. Aku masih kecil. Tapi kurasa Ayahku
pasti bisa. Setelah aku sembuh nanti, aku akan meminta keluargaku untuk
menjemputku dan akan kuminta Ayahku untuk membawamu tinggal bersama kami dan
membantumu mencari Ayah kandungmu.” ujar si bocah laki-laki, Alvan sambil
tersenyum manis.
“Tapi bisakah aku tinggal bersamamu?” tanya Anastasia
ragu.
“Tentu saja. Kau tak punya siapa pun di sini. Sangat
berbahaya bagi seorang gadis kecil tinggal sendirian di desa terpencil ini.
Akan lebih aman bila kau bisa ikut bersama kami. Ayahku pasti takkan menolak,
karena bagaimanapun juga, aku sudah berhutang nyawa padamu, kan?” jawab Alvan
berjanji.
“Kalau begitu kaitkan jari dulu. Kau harus berjanji akan
menjemputku di sini dan membantuku mencari Ayah kandungku.” ujar Anastasia
mengulurkan kelingkingnya ke depan.
Alvan tersenyum lalu mengkaitkan kelingking mereka
sebagai perjanjian seraya berkata mantap, “Aku berjanji aku akan kembali untuk
menjemputmu.” ujarnya sambil tersenyum.
Tak terasa sudah satu minggu Alvan tinggal di rumah
mungil itu. Anastasia sangat senang karena dia memiliki seorang teman dan dia
tidak kesepian lagi sekarang. Selama seminggu ini, mereka makan dari bahan
makanan yang sudah disimpan oleh Ibu Anastasia sebelum dia meninggal.
Tapi sayangnya tidak peduli sebanyak apa pun bahan
makanan yang sudah disimpan oleh Ibunya, jika dimakan terus tentu suatu saat
pasti akan habis juga.
Alvan dan Anastasia menjadi teman baik. Mereka tertawa
dan bermain bersama. Membuat manusia salju, bermain ice skeating,
lempar-lemparan bola salju, memandang bintang saat malam, atau hanya sekedar
berjalan-jalan di tepi sungai sambil bergandengan tangan. Alvan merasa kaki
kanannya sudah sembuh, dan sudah saatnya dia pulang. Dia sudah mengirim burung
merpati dan memberitahu keberadaannya pada keluarganya agar mereka bisa segera
menjemputnya.
Hari itu, Anastasia duduk sambil termenung sedih saat
melihat beras yang disimpan Ibunya hanya tinggal sedikit. Alvan yang melihatnya
segera berjalan mendekatinya dan duduk di sampingnya.
“Kau kenapa?” tanya Alvan lirih.
“Bahan makanan sudah hampir habis. Bagaimana ini? Aku tak
punya uang untuk membeli bahan makanan. Aku ingin bekerja tapi adakah tempat
yang mau mempekerjakan gadis kecil berumur sembilan tahun?” tanya Anastasia
sedih dengan airmata mengalir pelan.
“Aku rindu Ibuku.” lanjutnya lagi. Alvan segera meraih
tubuh gadis itu dan memeluknya erat.
“Jangan khawatir. Kau tidak sendiri. Kalau Ayahku datang,
aku akan membawamu pergi bersamaku. Kita akan tinggal bersama jadi kau takkan
kesepian.” hibur Alvan dan kedua anak kecil itupun berpelukan hangat.
Tak lama kemudian terdengar pintu diketuk pelan. Dengan
mengusap airmatanya, Anastasia berjalan ke arah pintu dan membukanya dan dia
melihat dua orang pria berbadan besar berdiri di depan pintunya, dia sampai
harus mendongakkan kepalanya saat melihat kedua pria itu.
“Paman siapa?” tanya Anastasia dengan bingung. Salah satu
dari pria itu berlutut sehingga sama tinggi dengan gadis kecil itu.
“Gadis kecil, apa Ibumu ada?” tanyanya sopan.
Anastasia menggeleng pelan dan sedih, “Ibuku sudah
meninggal.” jawab Anastasia dengan airmata mengalir.
“Oh maaf.” sahut pria itu dengan kasihan.
“Kalau begitu apa Ayahmu ada?” tanyanya lagi.
Lagi-lagi Anastasia menggeleng pelan sambil tetap
menangis, “Aku tak punya Ayah.” jawabnya sedih.
“Ya ampun. Gadis kecil yang malang, lalu kau tinggal di
sini dengan siapa? Aku mencari seorang anak laki-laki berusia sebelas tahun
yang tinggal di sekitar sini. Mungkin kau tahu.” tanya pria itu dan Anastasia
akhirnya mengerti apa maksud kedatangan pria itu.
“Apa kalian mencari Alvan?” tanya Anastasia dengan polos.
“Alvan? Beraninya kau memanggilnya dengan nama? Apa kau
tidak tahu jika beliau adalah....” kalimat pria kedua terpotong oleh ucapan si
pria yang sedang berlutut itu.
“Sudahlah. Dia masih kecil. Tidak perlu begitu
perhitungan dengan seorang gadis kecil yang tak tahu apa-apa.” ujar si pria
yang berlutut dengan sabar.
“Benar, sayang. Kami mencari Alvan. Apa kau mengenalnya?”
tanya si pria yang berlutut itu dengan sabar.
Anastasia mengangguk lalu berkata riang, “Tunggu
sebentar, Paman. Akan kupanggilkan!” jawabnya lalu segera berlari ke dalam
rumah. Beberapa menit kemudian dia kembali dengan Alvan berjalan di sampingnya.
“Paman.” ujar Alvan senang dan berjalan ke arah
mereka.
“Akhirnya kami menemukan Anda, Pa....” kalimat pria yang
berlutut tadi dihentikan oleh Alvan.
“Iya. Annie telah menyelamatkan aku saat aku tersesat dan
terluka di dalam hutan. Aku berhutang nyawa padanya, Paman. Bisakah dia ikut kita pulang? Annie tak punya
siapa-siapa lagi.” pinta Alvan pada pria pertama lalu memberinya tanda agar
lebih menunduk.
“Dia tak tahu siapa aku. Panggil saja aku Tuan Muda,
mengerti?” perintah Alvan yang hanya dijawab dengan anggukan kepala mengerti.
“Baik, Pa...Eh, Tuan Muda.” jawabnya patuh dan Alvan
tersenyum. Pria pertama lalu membisikkan kalimat yang sama di telinga temannya.
“Bagaimana? Apa kita bisa pulang sekarang? Jika iya, aku
akan minta Annie berkemas.” ujar Alvan penuh harap seraya menggenggam tangan
Anastasia.
Kedua pria hanya bisa saling pandang dan dengan raut
wajah menyesal berkata, “Maafkan hamba, Pa...Eh, Tuan Muda, tapi tanpa seijin
Ayah Anda, kami tak berani membuat keputusan. Bagaimana jika kita pulang dulu
ke rumah lalu rundingkan ini dengan Ayah Anda, baru jika beliau setuju maka
kita bisa menjemputnya di sini.” usul si pria pertama.
“Aku sudah tahu akan seperti ini.” gerutu Alvan.
“Tidak apa-apa. Kau pulanglah dulu dan minta ijin pada
Ayahmu. Aku akan menunggumu di sini.” jawab Anastasia pengertian.
“Tapi....” Alvan tampak tak rela. Tapi Anastasia berkeras
meyakinkannya kalau dia baik-baik saja.
“Aku baik-baik saja. Pergilah. Cepat pergi dan cepat
kembali.” ujar Anastasia sambil tersenyum manis. Alvan terdiam berpikir lalu
kemudian dia memberi perintah pada kedua bawahannya untuk lebih dulu membeli
bahan makanan untuk Anastasia yang akan cukup dimakannya hingga dia kembali
lagi.
Kedua pria itu segera melesat pergi dan kembali dengan
membawa banyak sekali bahan makanan yang mereka beli di pasar dan meletakkannya
di lemari penyimpanan makanan. Ada daging sapi, daging ayam, keju, susu, mie
kering, telur, beras, gula, garam, minyak dll.
“Ini banyak sekali. Kau tak perlu melakukan ini, Alvan?”
ujar Anastasia dengan sungkan.
“Tidak apa-apa. Bukankah tadi kau bilang bahwa persediaan
makananmu hampir habis. Setidaknya ini cukup untuk persediaan makan selama
sebulan. Aku tidak tahu berapa lama aku bisa membujuk Ayah, tapi aku berjanji,
berhasil atau gagal, dalam satu bulan aku akan kembali untukmu, My Forever Friend.” janji Alvan.
“Teman selamanya.” sahut Anastasia sambil tersenyum
seraya mengulurkan kelingkingnya.
“Benar. Kita teman selamanya.” ujar Alvan menegaskan lalu
mengkaitkan kelingking mereka dan kemudian memeluk Anastasia sambil menangis.
“Aku akan merindukanmu. Kau tunggu aku, ya. Aku pasti
kembali untukmu.” ujar Alvan seraya memeluk Anastasia dengan erat.
“Aku akan menunggumu. Selamanya menunggumu. Aku akan
menunggu hingga bunga menjadi layu.” janji Anastasia dengan airmata menetes
pelan.
Lalu setelah mengucapkan janji bahwa mereka akan bertemu
lagi, kedua pria itupun membawa Alvan pergi dari sana. Anastasia mengantar
kepergian temannya sambil menangis, dia tampak tak rela, karena dengan perginya
Alvan, dia akan kembali sendirian.
Hujan salju turut mengiringi kepergian Alvan yang tampak
tak rela meninggalkan gadisnya. Dia berulang kali menoleh ke belakang dan
melambaikan tangannya disertai janji, “Aku
akan kembali.
”Menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti
minggu dan minggu berganti bulan, Satu bulan sudah berlalu, persediaan makanan
yang diberikan Alvan untuknya juga mulai habis. Anastasia termenung sedih
menatap salju yang turun di akhir bulan Desember, saat tiba-tiba pintunya
diketuk dengan keras.
“Alvan.” Anastasia berseru senang dan berlari membuka
pintunya dengan penuh harapan, berharap bahwa itu adalah Alvannya. Tapi begitu
kecewanya dia saat yang muncul di hadapannya adalah Kepala Desa beserta seorang
wanita dan tiga orang pria berbadan besar.
“Annie sayang, karena kau yatim piatu dan tak punya
siapa-siapa, mulai sekarang kau akan tinggal bersama mereka.” ujar si kepala desa
seraya menunjuk pada empat orang yang berdiri di belakangnya.
“Siapa mereka?” tanya Anastasia dengan polos.
“Mereka adalah orang-orang dari Panti Asuhan. Mulai
sekarang kau akan tinggal bersama mereka. Di sana, kau akan bertemu dengan
teman-teman sebayamu yang bernasib sama denganmu jadi kau takkan sendirian lagi
sekarang.” bujuk kepala desa itu.
Anastasia terhenyak dan diam. Panti Asuhan. Pergi dari
rumah tempat dia tinggal selama sembilan tahun lamanya? Tempat yang penuh
dengan kenangan Ibunya dan tempat di mana Alvan berjanji akan menjemputnya?
TIDAK. Anastasia menolak keras.
Tapi tidak peduli sekeras apa pun dia menolak, keempat
orang dewasa itu tetap memaksanya pergi dari sana, dengan alasan dia tidak
punya siapa pun yang akan akan menjaganya. Akhirnya karena tak mampu
memberontak, Anastasia pun ikut mereka ke Panti Asuhan itu, meninggalkan semua
kenangannya di tempat ini.
“Ibu, aku akan kembali.” ujar Anastasia berjanji seraya
memandang rumah mungilnya dari dalam kaca kereta kuda yang membawanya pergi.
“Alvan, aku berharap kita akan bertemu lagi suatu hari
nanti.” tambahnya perih.
End Of
Flashback...
To be continued...
NOTE : WINNER OF WATTYS AWARDS 2016 for Category
“Hidden Gems” alias “Permata Yang Tersembunyi” (Cerita Kurang Dikenal). Untuk
bisa membaca hingga setengah novel, Anda bisa memfollow akun Wattpad saya :
@lilianatan1708 tapi untuk membaca hingga TAMAT, Anda harus membeli versi
novelnya hehehe ^.^
@@@@@@@
* Promo Tahun Baru E-Book Version Only IDR 11 Ribu
Hai hai hai... Bagi yang suka dengan cerita Anastasia –
Princess In Disguise, yang kantongnya bolong tapi pengen ngebaca kelanjutannya,
ada promo besar nih di akhir tahun. Tapi hanya berlaku untuk E-Book ya. Dari
yang awalnya seharga Rp 55.000 sekarang hanya jadi Rp 11.000 loh... Tunggu
apalagi? Yuk buruan dibeli mumpung lagi ada promo nih...
Harga Asli : IDR 55.000
Harga Promo : IDR 11.000
Tinggal buka
Google Play/Play Store lalu ketik nama “Liliana Tan” ==> Pilih “Judulnya” ==> Lalu klik “Beli” dan anda bisa memilih membayar dengan
Debet/Kredit/potong pulsa.
Note : Promo HANYA BERLAKU HINGGA AKHIR TAHUN !!!
Terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar