Lanjut ke tester ketiga. Tetap dengan "Rain and Tears" yang bertabur hujan setiap hari, biar sesuai ma judulnya gitu hehehe =) Cocok banget kan untuk dinikmati di musim hujan seperti sekarang ini, makin kerasa deh feelnya xixixi =)
Tahu gak readers, saat saya menulis ini saya sambil dengerin lagu jadulnya Jimmy Lin - Sin Yin (Awan Dihati), makanya karakter cowoknya namanya "Awan" kan alias "Yin". Berhubung ini temanya Hujan, so saya sengaja mencari nama yang mewakili semua fenomena alam yang menyertai terjadinya hujan kayak : Rainy yang berarti "hujan", Yin Feng yang berarti "Awan dan Angin", nanti juga di bagian tengah muncul karakter lain bernama "Yin Xi" yang sekali lagi, Yin dari kata "Awan" hehehe =) jadi biar feelnya kerasa gitu, dan gak sembarangan asal comot nama.
So, Happy Reading for Chapter 3. Berharap kita berjodoh. Saya tunggu pemesanan melalui Twitter jika Anda memang tertarik. Tidak pun, tetap terima kasih sudah membuang waktu untuk membaca tester ini.
"Chapter 3 : Rainy Day"
Setengah berlari, Rainy menuju
ke arah halte bus saat merasakan setitik demi setitik air yang menetes dari
langit. Tepat saat kakinya menginjak lantai halte, gerimis telah berubah
menjadi hujan. Sambil terus memandang rintik hujan yang turun, angan Rainy
kembali melayang.
Hujan...Hal yang paling disukai
oleh kakaknya, namun justru menjadi musuh terbesar dalam hidupnya. Tanpa terasa
setetes air membasahi wajahnya, tentu saja bukan karena hujan.
Air itu turun dari mata beningnya.
Hujan selalu memberikan kenangan tersendiri dalam hidupnya. Kenangan paling
menyakitkan sekaligus paling membahagiakan yang takkan pernah di lupakan seumur
hidupnya.
“Aku ingat kakakku sangat
menyukai hujan, tapi aku justru kehilangan dia ditengah hujan.” gumam Rainy
seraya menghapus airmata di pipinya.
“Hei, kita bertemu lagi, Gadis
‘Hujan’? Apa kau sedang mencari inspirasi di tengah hujan?” tanya seorang
laki-laki muda dari dalam mobil yang mendadak berhenti di depannya.
Rainy memicingkan matanya,
mencoba melihat pemilik mobil itu yang terhalang oleh tirai tipis air hujan.
Dia. Laki-laki misterius yang ditemuinya di ruang seni waktu itu.
“Kau mau kuantar pulang? Atau
mungkin kau sedang menunggu sopirmu menjemputmu?” tanyanya lagi saat melihat
Rainy tak merespon. Rainy menggeleng pelan.
“Aku tak suka diantar sopir, aku
lebih suka pulang sendiri.” jawab Rainy pelan.
“Kalau begitu masuklah. Hujan
begitu deras, kurasa busmu tidak akan datang.” tawarnya ramah, Rainy berpikir
sejenak seraya memandang langit. Hujan yang turun saat ini memang tidak
menampakkan tanda-tanda akan berhenti.
Akhirnya tak punya pilihan, Rainy
memilih menerima tawaran pria muda itu dan masuk ke dalam mobilnya. Tanpa
mereka sadari beberapa orang gadis sedang mengamati mereka dengan pandangan
iri.
“Hei, bukankah itu Lu Yin Feng,
mahasiswa jurusan Hukum dan Ketua Senat kita? Dia Pangeran Kampus, mau apa
Rainy masuk ke dalam mobilnya? Apa diam-diam mereka pacaran? Cindy, bukankah
kau sahabat Rainy, apa kau tahu tentang hal ini?” tanya salah seorang gadis
berbaju merah pada Cindy yang saat ini sedang menatap kesal pada
sahabatnya.
“Aku tidak tahu apa-apa. Kurasa
itu hanya kebetulan.” jawab Cindy, menutupi kekesalannya.
“Kebetulan? Kemarin aku juga
melihat Kak Feng masuk ke dalam ruang seni menemui Rainy. Apa yang kemarin juga
kebetulan? Wah, terlalu banyak kebetulan.” sindir yang lain sinis, seorang
gadis berambut ikal menatap kesal kearah mobil Yin Feng yang berlalu pergi.
Semakin membuat Cindy menjadi kesal.
“Memangnya kenapa kalau mereka
benar pacaran? Kalian ini sirik sekali. Rainy Yang bagaikan seorang Putri, dia
memiliki segalanya, cantik, kaya, populer, tentu saja mereka pasti jadi
pasangan yang serasi jika Rainy menjadi kekasih Yin Feng. Di bandingkan dengan
Rainy, kita bukan siapa-siapa karena kita memang tidak memiliki apa-apa.” ujar
yang satu lagi membela, gadis berambut coklat itu memandang heran
teman-temannya yang suka sekali mencampuri urusan orang.
“Hahh...Kenapa sepertinya Tuhan
sangat tidak adil pada kita? Kenapa bisa ada orang yang sempurna seperti Rainy?
Benar-benar membuat orang iri saja.” celetuk gadis berambut ikal sekali lagi,
mengungkapkan kecemburuannya.
“Sudahlah. Daripada terus saja
iri pada Rainy, lebih baik kita pulang dan bersyukur saja. Kalian terus iri pun
tidak akan mengubah apapun kan?” ujar si rambut coklat sekali lagi, seraya
mengacungkan tangannya memanggil taksi. Beramai-ramai para gadis itu masuk ke
dalam taksi karena merasa busnya akan datang terlambat di cuaca seperti ini.
Sementara yang lain sedang sibuk
bercanda, Cindy terus saja menatap kosong ke arah jendela, ke arah
rintik-rintik hujan yang jatuh dari langit.
“Banyak orang bilang hari hujan
membuat sedih, seseorang di suatu tempat mungkin sedang menangis. Benar Rainy,
akulah orang itu.” batin Cindy pahit seraya perlahan menghapus airmata di
pipinya mengenang ucapan Rainy.
=====
Hujan baru saja mereda ketika semburat pelangi muncul di angkasa.
Seorang gadis terdiam menatapnya dari balik kaca jendela kamarnya. Berharap
lukisan langit itu tidak cepat memudar.
“Indah kan, Thien Yu?” tanya seorang gadis lain yang kini sudah ada
disampingnya. Cindy hanya memanggil Rainy
dengan nama aslinya bila mereka hanya berdua. Rainy mengangguk pelan tanpa menoleh.
“Ya.Pemandangan langit setelah hujan reda memang sangat indah. Walau kadang tak nampak pelangi, tapi aku merasa tenang hanya dengan melihat kabut sisa hujan, daun-daun dan tanah yang basah, juga aroma hujan yang khas. Itu
sebabnya kenapa aku…”
“Sangat menyukai hujan.” sela gadis yang satu lagi sambil tersenyum.
“Setiap hujan tiba, kau pasti duduk di dekat jendela kamarmu untuk memandang butiran hujan. Lalu setelah hujan itu reda, kau akan
keluar menuju balkon, untuk memandang langit, menunggu pelangi, atau hanya sekedar mengangumi kabut yang
menyelimuti rumah ini. Aku tahu semua kebiasaanmu. Kau menyukai kesendirian.”
jelasnya panjang lebar, membuat Rainy terdiam.
“Aku tak pernah menyangka, kau akan terus mengingat
kebiasaanku itu.” ujar Rainy tersentuh sambil menatap sahabatnya, Cindy Huang Xin Ling.
“Kau memang sahabat terbaikku, Xin Ling. Tanpamu,
aku tak merasa kesepian lagi.” lanjut Rainy dengan tulus.
“Sahabat? Bukankah aku hanya anak seorang pelayan?
Harusnya aku memanggilmu Nona, benarkan?” Cindy mendadak berubah menjadi sinis. Rainy terkejut melihat sikap Cindy berubah dalam
sekejap.
“Kenapa kau bicara seperti itu? Aku tak pernah
menganggapmu seorang pelayan. Kau sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri.” Rainy
tampak terluka dengan jawaban Cindy yang seolah meragukan ketulusannya.
“Tapi aku memang putri seorang pelayan. Ayahku bekerja
sebagai sopir di keluarga ini, ibuku sebagai pelayan yang memasak untukmu
setiap hari, kau adalah majikan di rumah ini, bukankah itu berarti aku adalah
pelayanmu juga?” ujar Cindy mendadak sinis saat dia mengingat Rainy pulang bersama Yin Feng tadi siang.
“Aku tak mengerti kau bicara apa. Apa ada masalah?”
Rainy mencoba mengerti perasaan sahabatnya.
“Tidak ada. Maaf. Aku kemari karena Nyonya Besar, Ibu
Anda, memintaku untuk memberitahu Anda bahwa makan malam sudah siap.” jawab Cindy pahit lalu berniat
akan pergi saat tiba-tiba Rainy menarik tangannya.
“Ada apa? Katakan padaku. Kau sedang ada masalah?” tanya Rainy dengan
sabar. Awalnya Cindy hanya menggeleng pelan, tapi saat menatap mata Rainy yang tak bisa
dibantah akhirnya Cindy menjawab dengan pelan.
“Bukan apa-apa. Aku hanya merasa kau sangat beruntung.
Aku hanya iri, itu saja. Kadang, aku ingin bisa menjadi sepertimu. Punya orang
tua kaya, berbakat, cantik, pintar dan populer…” Cindy terdiam sejenak.
“Sudah kubilang hidupku tak sesempurna yang kau kira.” jawab Rainy untuk yang kesekian kalinya.
“Iya, kau
sudah mengatakannya berkali-kali. Aku tahu.
Maaf. Ayo kita makan.” ujar Cindy, kembali lembut. Tatapan menyesal tampak di matanya. Rainy sudah begitu
baik, tapi entah kenapa dia masih saja iri padanya. Kadang Cindy merasa dirinya
sangat jahat.
“Xin Ling, apapun yang terjadi, bagiku kau adalah saudaraku,
saudara yang tak pernah kumiliki. Aku menyayangimu sepenuh hati dan aku juga
tak pernah sekalipun peduli pada statusmu. Bagiku, kau bukanlah pelayan tapi
saudara.” Rainy mengingatkan sekali lagi dengan senyuman hangatnya.
“Sebagai saudara, jika aku meminta sesuatu padamu, apa
kau akan mengabulkan permintaanku?” tanya Cindy lagi. Rainy mengangguk tanpa ragu.
“Asal kau bahagia. Pasti akan kukabulkan, asalkan itu
tidak melanggar hukum dan bukan kejahatan.” Rainy mengiyakan seraya memberikan syarat.
“Hei, aku tidak akan memintamu merampok demi aku kan?”
jawab Cindy dan mereka pun melangkah keluar kamar Rainy sambil tertawa.
Rainy menatap semua hidangan lezat yang disiapkan
untuknya, semua itu adalah makanan favoritnya. Di meja makan itu, orang tua
angkatnya telah menunggu dengan senyuman hangat mereka.
Begitu melihat Rainy tiba disana, spontan wanita
setengah baya itu berdiri dan menghampirinya. Dia menggenggam tangan Rainy
dengan hangat.
“Sayang, Ibu sudah masakkan makanan favoritmu. Ayo makan.”
ujarnya sayang, membuat Rainy meneteskan airmata terharu.
“Makanan favoritku?” ulang Rainy
dan wanita setengah baya itu mengangguk mantap.
“Benar. Makanan favoritmu,
Yasang.” jawab wanita itu mantap seraya menuding piring yang berisi daging
bebek yang ada di meja makan.
Yasang adalah makanan favorit Rainy, Yasang adalah daging
bebek yang diasapkan lalu dikeringkan, mempunyai proses pengasapan yang khas,
dengan saus khusus dengan menggunakan tebu sebagai kayu pengasapan sehingga
proses pengasapannya sempurna, kemudian dikeringkan oleh angin.
Rainy menatap makanan favoritnya
di atas meja makan, lalu kembali menatap wanita yang dipanggilnya Ibu selama 16
tahun ini dengan penuh rasa haru dalam hatinya.
“Dia bukan Ibu kandungku, tapi dia begitu sayang
padaku. Andai Ibu kandungku masih hidup, apa Ibu kandungku juga akan
menyayangiku lebih dari ini?” batin Rainy pilu setiap mengingat peristiwa malam
itu.
“Ibu, terima kasih.” ujar Rainy lembut.
“Kau kenapa, sayang? Terjadi sesuatu di kampus?” tanya wanita yang
dipanggilnya Ibu dengan cemas seraya menghapus airmata Rainy.
“Tidak. Semua baik-baik saja.” jawab Rainy sambil
tersenyum hangat.
“Lalu kenapa kau menangis?” tanya wanita itu
lagi, masih cemas.
“Karena aku sangat merindukan Ibu dan Ayah.” jawab Rainy lembut.
Wanita itu langsung menarik tubuh Rainy dan memeluknya sayang.
“Ohh...kau sungguh manis. Ibu juga sayang padamu, Nak.” ujarnya terharu,
membuat semua pelayan yang sedang mempersiapkan makanan di ruangan itu ikut
terharu.
“Hei, masih ada Ayah di sini. Kenapa hanya ibumu yang
kau peluk?” ujar seorang pria setengah baya dengan nada cemburu, spontan Rainy
dan ibunya tertawa mendengarnya.
Rainy melirik Ibunya lalu melepaskan pelukan wanita
itu dan berlari menghampiri ayahnya.
“Rainy juga sayang Ayah. Sayang sekali.” ujar Rainy manja dan
mereka bertiga pun tertawa bahagia. Dari sudut ruangan itu, Cindy menatap keluarga
bahagia itu dengan kesedihan di matanya.
“Sempurna. Betapa inginnya aku jadi sepertimu, Rainy. Andai ada yang
bisa kulakukan agar bisa berada di posisimu. Jika ada yang bisa dilakukan untuk kita bertukar tempat, aku takkan ragu.” batin Cindy pahit namun tak memperlihatkannya.
To be continued...
To be continued...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar