Welcome To Taipei hehehe =) Berhubung setting novel "Rain and Tears" ini settingnya di Taipei, Taiwan so pasti saya akan mengajak Anda berjalan-jalan mengelilingi Taipei melalui Novel ini hehehe =) The first one is Sun Yat Sen Memorial Hall, Taipei - Taiwan. Hhmm...sebenarnya sih dalam Novel aslinya banyak bertaburan bahasa Mandarin juga, tapi dalam tester saya ganti bahasa Indonesia semua...
"Chapter 2 : Memories Left Behind"
Tetes hujan berjatuhan dari ranting pohon di taman
yang dilewati Rainy meskipun hujan sudah reda sedari tadi. Ingin menghilangkan kepenatan,
Rainy memutuskan untuk pulang berjalan kaki dari kampusnya. Dalam perjalanan pulang, dia melewati
sebuah taman kecil yang berlokasi tak jauh dari Sun Yat Sen Memorial Hall.
Sebuah taman yang indah, nyaman, bersih, dan aman. Gedung yang terletak
di jantung kota Taipei ini dibangun untuk mengenang jasa Dr. Sun Yat Sen sebagai Bapak Proklamator Republik Of China. Sun Yat Sen
Memoriall Hall dibangun pada tahun 1964, awalnya gedung ini berfungsi sebagai tempat
untuk menampilkan peninggalan sejarah kehidupan Dr. Sun, tapi kemudian seiring berjalannya waktu gedung
ini sering digunakan sebagai tempat untuk menyelenggarakan berbagai even besar
seperti pameran tingkat nasional, juga acara movie award paling bergengsi di
Taiwan, namun begitu, fungsi utama sebagai pusat konservasi sejarah tak pernah terabaikan.
Dikelilingi oleh taman yang asri lengkap dengan
bench-bench yang terawat kebersihannya membuat tempat ini begitu mempesona
tidak hanya sebagai tempat bersejarah tapi juga tempat rekreasi.
Rainy berhenti sejenak dan mengamati anak-anak kecil
yang berlarian riang di taman itu. Mereka terlihat begitu gembira. Mereka
tertawa seraya berlarian kesana kemari, merepotkan orang tua mereka.
“Andai saja aku masih punya orang tua pasti akan lain
ceritanya.” batin Rainy sedih sambil tersenyum pilu. Tapi dia berusaha tetap tersenyum.
Rainy baru saja berniat pergi
dari sana saat tiba-tiba suasana disekelilingnya berubah menjadi gelap,
samar-samar terdengar suara rintik hujan, dan tak jauh di hadapannya, dia melihat
seorang gadis kecil berlutut sambil menangis di hadapan dua sosok tubuh yang
sudah tidak bernyawa.
Gadis kecil itu menangis pilu
seraya memanggil-manggil kedua orang tuanya yang tergeletak bersimbah darah.
Rainy membekap mulutnya saat melihat pemandangan mengerikan itu, airmata
menetes pelan dari kedua matanya.
Tak lama kemudian, gadis kecil
itu berdiri dan berlari kearah yang lain, dia kembali berlutut di depan tubuh
seorang anak laki-laki yang berlumuran darah seraya terus mengguncang-guncangkan
tubuhnya dengan putus asa. Rainy memicingkan matanya, mencoba melihat lebih
banyak lagi saat tiba-tiba seseorang menepuk lembut pundaknya dan membuyarkan
lamunannya.
“Nak, kau tidak apa-apa? Wajahmu
pucat sekali. Apa perlu kuantar ke dokter?” tanya seorang wanita tua yang baik
hati. Rainy tersadar dan segera menggeleng pelan.
“Tidak perlu. Aku baik-baik saja.
Terima kasih.” ujar Rainy sopan lalu segera berlari pergi dari sana.
“Tak ada hujan. Langit sudah
kembali cerah. Tak ada kecelakaan, juga tak ada gadis kecil yang menangis pilu
menangisi keluarganya. Lalu apa yang kulihat tadi? Apa itu bagian dari
kenanganku yang hilang?” batin Rainy sambil berjalan pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah, Rainy segera menghampiri Ibunya dan meminta Ibunya untuk mengantarkannya
ke Rumah Sakit sekarang juga.
“Apa kau sakit, sayang?” Seorang wanita berusia lima puluh tahunan, berambut hitam sebahu, bermata sipit dan memliki wajah khas asia, menatap Rainy dengan cemas sambil
menarik tangannya duduk dan membelai rambutnya lembut.
Rainy menggeleng pelan. “Tidak
apa-apa, Ibu. Aku hanya ingin bertemu dengan dokter itu. Dokter yang merawatku
saat aku masih kecil dulu. Bisakah Ibu mengantarku sekarang? Aku mohon. Ada
sesuatu yang ingin kutanyakan padanya.” Rainy memohon pada Ibu angkatnya.
“Kau tidak perlu lagi kembali ke
tempat itu. Kau sudah sembuh, sayang.” ujar wanita setengah baya itu terlihat
tak suka.
“Kumohon, Ibu. Aku baik-baik
saja. Kembali ke sana bukan berarti aku gila kan?”ujar Rainy kembali memohon.
“Kau tidak gila. Jangan pernah
bilang kalau kau gila. Putri Ibu tidak gila.” seru wanita itu lalu menarik
Rainy kedalam pelukannya dan memeluknya lembut.
“Tapi aku berbeda. Mereka bilang
aku bahkan tak mampu memandang cermin, aku tak mau bermain, aku tak mau bicara,
yang kulakukan hanyalah duduk diam seraya memandang kosong kearah langit.
Karena Ayah dan Ibulah aku bisa sembuh kembali. Jika Ibu sayang padaku dan
ingin aku sembuh total, tolong antar aku kesana. Mimpi buruk itu selalu
menghantuiku, Ibu. Aku hanya ingin tahu apakah yang kulihat itu hanya
khayalanku atau benar-benar terjadi saat itu, karena aku tak ingat apapun.”
ujar Rainy frustasi.
“Mereka mengatakan terjadi
sesuatu yang mengerikan hari itu, tapi aku tak ingat apapun, bahkan hal yang
paling kecil sekalipun. Mereka bilang aku mungkin mengalami shock, aku
kehilangan sebagian ingatanku, sebagian kehidupan masa laluku pergi begitu
saja. Tak ada yang kuingat tentang hari itu atau hari-hari sebelumnya.” Rainy
terdiam sejenak, mencoba mengingat masa lalunya yang entah sekarang menghilang
kemana.
“Bagaikan melihat pantulan samar
di air keruh kolam yang dalam, aku bisa melihat riak-riak air itu, tapi aku
tidak tahu pasti apa yang terjadi hari itu, peristiwa itu ataupun orang-orang
yang ada didalamnya. Mereka mengatakan suatu hari ingatanku akan pulih dengan
sendirinya, tapi aku ingin bisa mengingat sekarang juga.” Rainy menatap Ibu
angkatnya penuh harap, seraya menggenggam tangan wanita setengah baya itu,
memohon padanya.
“Aku selalu melihat bayangan
seorang anak laki-laki yang tergeletak bersimbah darah. Aku hanya ingin tahu
dia nyata atau hanya khayalanku saja. Ibu, tolonglah aku.” Rainy terus memohon
pada Ibu angkatnya. Akhirnya tak tega melihat putri kesayangannya terus memohon
seperti itu, diapun menyetujuinya.
“Baiklah. Tapi hanya sekali ini
saja. Ibu benar-benar tak ingin melihatmu kembali ke sana.” ujar wanita
setengah baya itu. Rainy tersenyum senang lalu spontan memeluknya hangat.
“Terima kasih. Aku sayang Ibu.
Sayang sekali.” ucapnya tulus seraya memeluk ibunya manja, spontan membuat
wanita itu meneteskan airmata haru. Terlihat jelas dia sangat menyayangi Rainy,
walau tak ada hubungan darah diantara mereka, tapi dia menyayangi Rainy seperti
putrinya sendiri, putri yang sudah lama pergi meninggalkannya.
“Ibu juga sayang padamu sayang.
Sayang sekali.” ujarnya lembut sambil membalas pelukan Rainy.
=======
“Dokter, Anda bohong kan? Aku
belum disembuhkan. Aku masih sakit. Seharusnya kalian tidak mengeluarkan aku
dari sini.” ujar Rainy pahit saat menemui Dokter Ahli Jiwa yang dulu pernah
merawatnya.
“Luka di fisik, tak sama dengan
luka di hati. Ini bukan masalah bisa disembuhkan atau tidak, tapi masalah kau
bisa menghadapinya atau tidak. Kau bukan sakit, kau hanya trauma. Dan trauma
yang kau alami bukanlah trauma biasa. Rasa sakit akibat kehilangan, seumur
hidup tak akan mungkin bisa disembuhkan.” jawab Dokter itu dengan sabar.
“Kalau begitu kenapa kalian
mengeluarkan aku? Kenapa kalian tidak terus merawatku? Kenapa tidak berusaha
lebih keras menyembuhkan aku?” protes Rainy frustasi.
“Saat pertama kali kau dibawa
kemari, keadaanmu sangat parah. Kau tak mau bicara, kau tak mau makan, kau tak
mau melakukan apa-apa. Kau hanya diam, kau menatap semua orang dengan pandangan
kosong, seolah tak ada lagi tanda-tanda kehidupan dalam dirimu. Kau bahkan tak
bisa mengenali dirimu sendiri. Tapi perlahan-lahan kau mulai memberikan reaksi
terhadap sekitarmu. Walau kau tetap tak mau bicara, tapi kau mau melukis. Itu
sudah merupakan kemajuan.” Dokter itu menjelaskan keadaan gadis itu saat
pertama kali dia ditemukan dan dirawat di tempat ini.
“Saat kau mulai bicara, saat kau
mulai berlarian seperti anak-anak pada umumnya. Saat itulah aku memutuskan
bahwa kau sudah boleh dibawa pulang. Secara kedokteran kau sudah sembuh, tapi
di dalam hatimu, hanya kau sendirilah yang tahu.” Dokter itu menjelaskan
panjang lebar dengan sabar pada Rainy. Dan akhirnya Rainy menyadari bahwa semua
ini bukan tergantung pada ilmu kedokteran atau pada siapapun melainkan
tergantung pada dirinya sendiri.
To be continued...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar